Sabtu, 29 Januari 2011

KOTA SOLO DAN LIMA KEKUATAN PENJAGA

     Beberapa waktu yang lalu (16 Januari 2010) saya dan teman-teman kos berwisata ke Cemoro Sewu, Gunung Lawu yang berada di ketinggian 3265 meter di atas permukaan laut . Waktu itu kabut tebal dan angin kencang menyelimuti daerah Tawangmangu-Cemoro Lawang hingga ke Cemoro Sewu. Suasana sepi begitu terasa ketika kami sampai di pos pendakian Gunung Lawu di Cemoro Sewu, Pos ini ditutup karena cuaca yang tidak menentu. Restoran dan penginapan disekitar pos pun yang biasanya ramai, kini sepi dan suasananya cenderung mencekam. Hanya beberapa warga nampak berjaga di sekitar Jalan Raya Tawangmangu-Sarangan. Pos Cemoro Sewu ini merupakan salah satu pos awal jalur pendakian ke puncak Gunung Lawu selain melalui jalur Cemoro Lawang. Kedua jalur tersebut nantinya bertemu di titik Hargo Dalem, tempat yang dianggap misterius dan menjadi tempat upacara labuhan yang biasanya diselenggarakan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat, Solo. Saya teringat mengenai cerita kesakralan Gunung Lawu dalam pandangan spiritual masyarakat Jawa. Gunung ini dipercaya sebagai salah satu paku yang membuat pulau Jawa tetap pada tempatnya karena pada jaman dahulu dipercaya bahwa pulau Jawa adalah pulau yang terapung yang selalu diombang-ambingkan oleh ombak.

     Gunung Lawu juga memiliki peranan penting dalam kesatuan kosmologis Kota Solo yang terletak sekitar 30 km di arah barat. Gunung Lawu dipercaya sebagai tempat muksa sekaligus kediaman Kanjeng Sunan Lawu (dipercaya sebagai salah satu putra Brawijaya V, Raja Majapahit). Kanjeng Sunan Lawu inilah yang kemudian mengadakan perjanjian dengan raja-raja Kerajaan Mataram Surakarta (beribukota di Solo) untuk menjaga negara dari berbagai bencana dan malapetaka yang berasal dari arah timur. Disisi lain, dengan hal yang sama raja-raja Mataram Surakarta juga mengadakan perjanjian dengan Bathari Kalayuwati yang berkedudukan di Hutan Krendawahana (sekitar 20 km utara Kota Solo) untuk menjaga Kota Solo dari arah utara. Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton dan Eyang Sapujagat di sebelah barat (Gunung Merapi) dan yang paling istimewa tentunya Kanjeng Ratu Kencanasari atau Kanjeng Ratu Kidul di sebelah selatan (Samudra Hindia).

Ksmologi Hindu
Kesatuan Kosmologis
     Agaknya mungkin kesatuan kosmologis Jawa yang biasa disebut dengan keblat papat lima pancer merupakan adaptasi dari sistem kosmologis Hindu –agama masyarakat Jawa sebelum kedatangan Islam-, dalam agama Hindu dikenal dewa-dewa yang berjaga di empat penjuru mata angin yang disebut sebagai dewa-dewa lokapala. Dewa-dewa ini terdiri dari Shiva di tengah, Isvara di timur, Mahadeva di barat, Vishnu di utara dan Brahma di selatan.

Kosmologi China
     Berbeda dengan agama Hindu yang berasal dari India, agama China kuno juga memiliki tata kesatuan kosmologis tersendiri. Secara kosmologis China dilindungi oleh lima kekuatan yang ada pada lima penjuru mata angin yang disebut Si Xiang.Lima kekuatan ini bukanlah berwujud dewa-dewa seperti dalam agama Hindu, melainkan berwujud makhluk-makhluk mitologis yang mewakili lima unsur kekuatan dunia. Naga Hijau di timur mewakili unsur kayu, Burung Merah di selatan mewakili unsur api, Harimau Putih di selatan mewakili unsur logam, Kura-kura Hitam di utara mewakili unsur air, dan yang terakhir adalah Naga Kuning di tengah yang mewakili unsur tanah. Kelima unsur ini memiliki pengaruh terhadap keharmonisan kehidupan manusia dan aspek-aspek dalam kehidupan tersebut, termasuk rejeki, kesehatan, jodoh, keharmonisan rumah tangga, kemakmuran pertanian, kekuatan kerajaan dan lain-lain.

Shi-Tenno
     Agama Shinto di Jepang sedikit banyak mengadopsi tata kosmologis China, Jepang memiliki Shi-tenno Jikokuten atau empat raja yang melindungi Jepang dari roh-roh jahat pembawa malapetaka yang berasal dari empat penjuru mata angin. Keempat raja terdiri dari di timur, Zochoten di selatan, Komokuten di barat dan Tamonten di utara. Keempat raja ini dipimpin oleh satu raja yang berkedudukan di tengah yaitu Taishakuten. Keempat raja ini selalu dilambangkan dengan sosok lelaki yang berdiri menginjak Jyaki atau roh jahat.

Kota Solo Itu Unik….

     Konsep kosmologis Kota Solo ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan konsep kosmologis kebudayaan China, Jepang bahkan Hindu sekalipun. Dalam kosmologis Jawa, kelima pelindung di kelima penjuru mata angin diwakili oleh roh-roh yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama Hindu. Bahkan Bethari Kalayuwati yang berjaga dari utara sekalipun, digambarkan secara berbeda dengan Dewi Durga istri Dewa Siwa. Bethari Kalayuwati digambarkan sebagai sosok roh bukan sosok dewi istri seorang dewa. Padahal selama ini Bethari Kalayuwati dikorelasikan dengan Dewi Durga istri Dewa Siwa.
Sunan Lawu yang bekedudukan di timur digambarkan sebagai manusia sakti yang mengalami muksa (meninggalkan dunia fana menuju keabadian bersama jasad manusiawinya). Begitu pula Kanjeng Ratu Kidul di selatan yang digambarkan sebagai seorang putri bangsa manusia yang menjadi ratu makhluk halus setelah bertapa selama bertahun-tahun. Sementara Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton yang berkedudukan di barat digambarkan secara misterius sebagai sosok yang sulit dilacak asal-usulnya. Semua penjaga diatas mengingatkan kembali akan kuatnya pengaruh budaya pra-hindu yaitu animisme –kepercayaan terhadap roh-.


Kosmologi Kota Solo: Tmur-Gunung Lawu, Utara-Hutan Krendawahana, Barat-Gunung Merapi, Selatan-Samudra Hindia
     Lantas siapa yang berkedudukan di tengah ? Dalam sistem kosmologis Kota Solo yang berperan sebagai pancer yang melengkapi sedulur papat adalah Sang Raja atau yang beri gelar Sinuhun Pakubuwono (gelar resmi raja-raja Surakarta, Solo adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Pakoe Boewono Senopati Ing Alogo… dan seterusnya). Pancer atau raja ini memiliki peran sentral dalam membina keharmonisan hubungan antara dunia manusia dengan keempat penjaga yang berkedudukan di keempat arah mata angin. Karena itulah sang raja dianggap bertanggungjawab dalam hal mengadakan persembahan untuk menghormati hubungan harmonis yang dibina antara dunia manusia dengan dunia kasat mata. Mungkin tidak ada hubungannya, namun menarik jika disambungkan bahwa di China, Kaisar dianggap sebagai Sang Naga Kuning yang mewakili unsur bumi termasuk manusia.
Hutan Krendawahana

Samudra Hindia
     Di Kota Solo sendiri, Keraton Surakarta Hadiningrat mengadakan sejumlah upacara yang bertujuan untuk menghormati hubungan baik antara dunia manusia dengan dunia kasat mata. Sesaji Mahesa Lawung yang diadakan setahun sekali misalnya, adalah sarana untuk memperingati perjanjian sakral antara Sinuhun Pakubuwono sebagai Pancer dengan Bethari Kalayuwati sebagai utara agar semua yang masuk dalam lingkup kosmologis Kota Solo terhindar dari bencana dan malapetaka. Begitu pula dengan arah mata angin yang lain yang diperingati dengan upacara-upacara labuhan. Kelima elemen kosmologis Jawa ini yaitu, Sunan Lawu, Bethari Kalayuwati, Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton, Kanjeng Ratu Kidul dan Sinuhun Paku Buwono memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga tercipta suasana kosmologis yang harmonis. Jika terjadi suatu bencana atau malapetaka maka dianggap telah terjadi ketidakseimbangan antara elemen-elemen di atas .
Gunung Lawu
Gunung Merapi

     Pada masyarakat pedesaan di Lumajang, Jawa Timur –tempat nenek saya tinggal-, dikenal adanya sesajen pecok bakal dan jenang mancawarna yaitu makanan –tidak benar-benar bisa dimakan- yang dibuat sedemikian rupa dan biasanya diletakkan diperempatan jalan atau tempat yang dianggap keramat pada hari-hari tertentu (seperti selasa kliwon, jumat kliwon dan jumat legi). Yang unik adalah jenang mancawarna, yaitu bubur beras yang dibuat dengan lima warna yang mewakili lima arah mata angin, hitam di utara, putih di timur, merah di selatan, kuning di barat dan hijau di tengah. Dalam satu versi, kelima warna ini mewakili lima nafsu manusia yaitu amarah, aluamah dan lain-lain yang lebih mengarah kepada sufisme islam, sementara di versi yang lain kelima warna ini mewakili sedulur papat lima pancer , empat saudara dan yang kelima sebagai pusat. Sesaji ini dibuat dengan harapan agar desa tersebut selalu terhindar dari bencana dan malapetaka yang disebabkan oleh keempat saudara yang ada di keempat penjuru mata angin tersebut. Agaknya mungkin di pedesaan Jawa Timur yang jauh dari pengaruh Mataram Islam (Surakarta dan Ngayogyakarta) memiliki pandangan yang lebih dekat dengan Hindu Jawa – Hindu Bali bahwa sesaji diberikan kepada roh jahat yang membawa malapetaka supaya jangan lagi membawa bencana.
     Anda yang tinggal di kota Solo dan sekitarnya harusnya merasa beruntung memiliki lima penjaga disetiap arah mata angin yang tidak kalah dengan para penjaga mitologis Kota Tokyo yang sudah terkenal dalam film-film kartun Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar