Senin, 30 Mei 2016

Life is Sawang Sinawang


Dalam sebuah kesempatan, saya berkenalan dan mengobrol dengan seorang pegawai Bank Indonesia, bukan pegawai biasa tetapi sudah berpangkat pejabat eselon dan pendapatnya selalu didengarkan di instansi tersebut. Kesederhanaan dan keluwesan menjadikan beliau mudah bergaul dengan semua orang, semua umur dan semua status sosial. Karena itu beliau menjadi orang yang sangat memahami keadaan riil orang-orang di sekitarnya.
Banyak hal yang kami bicarakan, mulai membahas Kota Solo, membahas pilgub Jakarta hingga sharing mengenai pandangan hidup. Jujur saya banyak belajar dari beliau, pengalaman hidup beliau selama lima puluh tahun cukup menginspirasi saya dalam menata hidup supaya tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Karena setiap keputusan menghasilkan sebuah konsekuensi, dan setiap keputusan menentukan arah hidup kita ke masa depan, apakah itu menjadi baik atau buruk? Menjadi benar atau salah? Menjadi mudah atau sulit?
Ada satu hal yang cukup menarik untuk saya bagi, yaitu mengenai hidup yang sawang sinawang. Jujur saja saya mengalami kesulitan dalam menerjemahkan sawang sinawang dalam Bahasa Indonesia, apalagi Bahasa Inggris. Mungkin padanan yang agak nyerempet adalah “rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau”.
Kadang kala kita sering iri melihat kehidupan orang lain, selalu ingin menjadi seperti mereka dan selalu ingin memiliki kehidupan seperti mereka. Jutaan anak muda Indonesia ingin menjadi seorang selebritis yang selalu menjadi sorotan media dan mereka rela melakukan segala cara untuk mencapainya. Tidak aneh juga, siapa sih yang tidak ingin bergaya hidup glamor, bergaul dengan orang-orang terkenal, pokoknya hidup yang fine dining & wine tasting seperti di televisi.
Sebagian besar karyawan juga pasti ingin menempati posisi tertinggi di tempat mereka bekerja dan menjadi bos karena melihat para bos dengan leluasa memerintah karyawannya, gajinya lebih besar, fasilitas yang mewah dan kehidupan yang menyenangkan. Ya memang sifat dasar manusia juga sih yang tidak ingin hidup susah. Sebagian besar mahasiswa bercita-cita bekerja di sebuah kantor dan berstatus orang kantoran karena melihat orang kantoran punya gaji yang memadai, selalu memakai pakaian yang enak dilihat, bekerja didepan meja, di gedung yang megah dan bisa menyebutkan nama sebuah instansi/perusahaan ketika orang bertanya “bekerja dimana?”
Sementara di sebuah dimensi yang berkebalikan arah, para selebritis berjuang dengan darah dan airmata supaya tetap bisa muncul di televisi dan jangan sampai publik melupakannya demi menjaga gengsi dan gaya hidup, walaupun para selebritis itu sadar betul bahwa banyak anak muda calon selebritis di luar sana yang sedang bersiap-siap melengserkan popularitasnya. Ada juga para bos atau direktur yang ingin segera pensiun atau bahkan mengundurkan diri karena tekanan pekerjaan dan hal-hal yang sudah dikorbankan seperti kesehatan, keluarga dan kehidupan sosial yang tidak bisa diganti dengan gaji yang besar dan fasilitas yang mewah. Sementara itu, sejuta orang kantoran di dalam gedung-gedung ber-AC memalingkan wajahnya dari komputer dan menatap jauh ke luar jendelanya berharap bisa bekerja bebas di luar, melakukan hal-hal yang mereka suka tanpa terikat waktu dan tidak terkurung di kantor.
Orang biasa ingin menjadi selebritis yang terkenal dan selalu tampil di televisi, sementara para selebritis berharap kembali mengulang waktu dan menjadi orang biasa yang tidak kenal dengan namanya gengsi-gengsian. Para karyawan ingin menjadi bos yang terhormat di saat para bos ingin bekerja di rumah, dekat dengan keluarga dan bebas tekanan jabatan. Dan para mahasiswa berjuang di kampus supaya nanti bisa menyebutkan nama sebuah instansi/perusahaan ketika orang bertanya “bekerja dimana?” di waktu orang-orang kantoran ingin berwiraswasta atau ber-freelancer, bekerja bebas sesuai passion, tidak terikat jam kantor dan tidak terkurung di gedung megah ber-CCTV.
Mungkin saat ini hanya segelintir anak muda yang ingin menjadi petani yang tinggal pedesaan, mereka memilih bercita-cita menjadi orang hits di kota besar. Padahal di kota-kota besar, banyak sekali para bos dan pejabat yang berharap mereka adalah petani sederhana di pedesaan yang begitu menikmati menanam sayur dan memetik buah di kebun, dan menikmati udara segar tanpa polusi.
Bapak pejabat Bank Indonesia ini menceritakan bahwa selama bertahun-tahun menempati jabatan strategis di Jakarta sudah berkali-kali beliau mengajukan mutasi ke kota Solo atau Jogja, tapi karena tanggung jawabnya yang besar di kantor pusat manjadikan hal tersebut tidak pernah terlaksana hingga mendekati masa pensiun. Pengajuan mutasi ke kota Solo atau Jogja ini bukannya tanpa alasan, beliau menjelaskan bahwa dua kota ini amatlah indah dan menyenangkan. Orang-orang mudah diajak bekerjasama dan tidak gampang emosi, sehingga tekanan macam apapun akan terasa ringan dan bisa dinikmati. Berbeda dengan Jakarta, orang-orangnya begitu self-centered sehingga semua tekanan terasa semakin berat, karena itulah sebagian besar pejabat BI ingin dipindah ke Solo atau Jogja. Namun demikian beliau juga tahu betul bahwa banyak orang Solo yang ingin bekerja di Jakarta karena terlihat begitu keren dan high salary. 
Semua cerita beliau mengingatkan saya akan sebuah ayat Alquran, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak” (Al Baqarah 216).
Kadangkala kita melihat hidup orang lain begitu enak dan indah, karena ya memang yang enak dan indah itulah yang terlihat oleh kita, hingga kita sendiri tidak sadar bahwa kita juga dilihat orang lain memiliki hidup yang menyenangkan dan sempurna, hingga orang lain ingin hidup seperti kita.
Itulah sawang sinawang, segala sesuatu yang terlihat sesungguhnya hanyalah “kelihatannya”