Selasa, 27 Desember 2016

Pride and Prejudice




Playlist : Musik lembut



Pulang ke Malang membuat saya bisa sering bertemu dan berkumpul dengan teman-teman lama, teman-teman masa remaja dan juga the old gank entah itu untuk business meeting atau sekedar ngobrol ngalor-ngidul. Ada 6 orang yang bisa dibilang teman-teman dekat saya di masa itu, tiga diantara perempuan (one is little bit masculine woman lol), kami bertujuh dulu hampir tiap hari nongkrong bareng, mulai dari nongkrong yang positif sampe yang tidak terlalu positif (namanya juga remaja) tapi semuanya masih dalam batas kewajaran (menurut ukuran remaja jaman itu). Walaupun jaman sudah berubah dan keadaanpun juga sudah berubah, tapi kalau sudah berkumpul rasanya masih sama seperti bertahun-tahun yang lalu, bebas mengobrol, bebas curhat, bebas meledek dan saling mencela tanpa perasaan takut ada yang tersinggung, yah you know lah sadisnya guyonan jawa timuran. … I feel like my east Javanese spirit is coming back… lol.

Pada saat kumpul-kumpul, ada sebuah obrolan yang awalnya sekedar bercandaan, tapi berubah menjadi agak lebih serius ketika membicarakannya, yaitu tentang pasangan hidup…. exactly. Diantara enam teman saya, baru ada satu orang yang sudah berkeluarga dan ada satu orang lagi yang tahun depan akan berkeluarga, sisanya single as a pringle. Padahal kalau dilihat, mereka nggak jelek-jelek amat, yang cewek-cewek faham cara berpenampilan, sedangkan yang cowok-cowok juga nggak ada culun dan garing. Apa ini kutukan karena dulu kita pernah ngasih wafer tango di mulut patung Gajah Mada di Gunung Bromo?

Akhirnya terbukalah sebuah forum curhat mengenai ke-single-an masing-masing. Semuanya mendengarkan curhatan satu sama lain. Dari semua curhatan, saya berkesimpulan ada dua hal yang menyebabkan teman-teman saya kesulitan dalam mendapatkan tambatan hati. Yang pertama adalah karena terlalu banyak memilih dan yang kedua adalah karena terlalu mengkhawatirkan seperti apa masa depan nanti. 

Saya teringat sebuah novel klasik yang pernah saya baca waktu kuliah yang berjudul “Pride and Prejudice”, saya dipaksa dosen untuk membaca novel ini selain novel The Great Gatsby demi lulus mata kuliah Book Report, meskipun sebetulnya saya bukan tipe orang yang suka membaca cerita melankolis. Novel klasik ini sangat bagus meskipun bahasanya agak njlimet dan vocabulary yang archaic karena masih ada pengaruh tata bahasa Inggris kuno, maklum novel ini ditulis tahun 1813 di London. Tokoh utama dalam cerita Pride and Prejudice adalah Elizabeth Bennet dan Fitzwilliam Darcy.  Elizabeth adalah seorang gadis yang sangat cantik dan cerdas, dia juga sangat baik hati karena lebih memikirkan kepentingan keluarganya di atas kebahagiaan dirinya sendiri, tapi Elizabeth sangat mudah berprasangka buruk kepada orang lain, sangat skeptis dan selalu menilai orang dari apa yang dia lihat saja. Sementara Mr. Darcy adalah pemuda yang berasal dari keluarga terhormat, tampan dan kaya raya, tapi status sosialnya yang begitu tinggi membuat dia menjadi sangat angkuh dan pilih-pilih.

 Elizabeth dan Mr. Darcy pertama kali bertemu dalam sebuah pesta dansa, dan keduanya langsung jatuh hati satu sama lain. Meskipun Mr. Darcy sangat ingin mengenal lebih dekat Elizabeth, namun dia merasa terlalu gengsi jika harus mendekati Elizabeth yang berasal dari keluarga menengah. Pada dasarnya Mr. Darcy sudah menentukan kriteria-kriteria gadis yang cocok untuk dirinya, dan Elizabeth sungguh sangat jauh dari semua kriteria yang sudah dia buat. Sementara Elizabeth sendiri begitu berkenalan dengan Mr. Darcy dan melihat dia sebagai seseorang yang angkuh, langsung membuat berbagai prasangka buruk dan pikirannya dipenuhi dengan pikiran skeptis, meskipun Elizabeth sendiri juga tidak bisa memungkiri bahwa dia telah jatuh hati kepada Mr. Darcy. 

Mr. Darcy sebetulnya tidak seburuk yang Elizabeth kira, karena Mr. Darcy diam-diam juga memiliki perasaan yang lembut dan selalu memperhatikan Elizabeth. Hubungan keduanya semakin lama semakin buruk karena berbagai kesalah pahaman yang disebabkan oleh keangkuhan Mr. Darcy (Pride) dan sangkaan buruk Elizabeth (Prejudice). Meskipun dalam hati keduanya memiliki perasaan cinta yang semakin lama semakin kuat.

Akhir dari cerita ini adalah “nyambung-nyahubungan antara Elizabeth dengan Mr. Darcy, setelah Mr. Darcy mulai meruntuhkan semua kegengsiannya dan Elizabeth mulai berpikiran positif terhadap Mr. Darcy dan masa depan hubungan mereka. Concisely, it’s happy ending.

Berdasarkan penelitian University of Missouri tahun 2008, ada beberapa kecenderungan yang menyebabkan seseorang dengan pendidikan tinggi (diploma ke atas) mengalami kesulitan dalam menemukan pasangan, yang ditengarai menjadi penyebab paling tinggi adalah high expectation standart. Yah semua orang mungkin memang memiliki  kriteria tertentu seperti yang dibuat oleh Mr. Darcy. Setiap laki-laki mungkin menginginkan pasangan yang cantik, seksi, pintar dandan, enak diajak ngobrol, gaul, layak dipamerkan ke teman-temannya dan berbagai kriteria lain. Sementara para wanita cenderung mengharapkan pasangan yang tampan, kaya, atletis, punya pekerjaan keren, sanggup menghidupi dia dengan segala lifestyle nya.  (Mohon tidak digeneralisasi)

Ternyata high expectation standart yang diharapkan dari calon pasangan merupakan barrier paling tinggi dalam memulai sebuah hubungan. Kalau boleh saya sebut hal tersebut saya istilahkan sebagai “Pride” atau gengsi. Karena pride inilah yang menghalangi kita untuk melihat ketulusan orang-orang di luar standart untuk dekat dengan kita. Semua orang boleh saja mengharapkan pasangan sempurna seperti orang-orang keren yang sering kita lihat dan kita “love” di instagram. Tapi perlu diingat semakin tinggi standart yang kita tentukan, maka semakin sulit juga hal tersebut terpenuhi (seperti teori ekonomi ­supply and demand). Tapi tidak ada yang melarang juga sih kalau mau berusaha keras. Tetapi sesempurna orang yang terlihat di instagram pastilah juga memiliki kelemahan yang tidak terlihat atau malah sengaja ditutupi (seperti teori Character Psychoanalytic  oleh Karen Horney yang mengatakan bahwa seseorang cenderung mengekspos kelebihan yang dia miliki untuk menutupi kekurangan yang besar ).

Hal paling tinggi kedua menurut jurnal University of Missouri tahun 2008 adalah prasangka buruk terhadap setiap orang yang terlihat ingin dekat dengan kita dan juga prasangka buruk terhadap sebuah hubungan di masa depan. Hal ini kadang disebabkan oleh pengalaman masa lalu yang buruk, baik itu dialami oleh diri sendiri maupun orang lain. Seperti Elizabeth Bennet yang pernah merasa takut dimanfaatkan oleh Mr. Darcy. Kadang kita terlalu memikirkan banyak resiko yang akan dihadapi jika menjalin sebuah hubungan, seperti ada sebuah perasaan insecure. Prejudice semacam ini semakin bertambah buruk jika kita memiliki teman dekat yang pernah mengalami perceraian atau patah hati yang dalam, yang bisa membuat kita berpikir ulang untuk memulai sebuah hubungan serius. Selain itu prejudice terhadap ikatan masa depan seperti takut tidak lagi bebas, takut memiliki banyak tanggung jawab, takut memenuhi kebutuhan yang pasti akan lebih banyak juga menghambat seseorang untuk berkomitmen terhadap sebuah hubungan. 

Seperti moral value Pride and Prejudice, maka kita perlu meruntuhkan segala keangkuhan/kegengsian yang kita miliki, kita manusia yang tidak sempurna, maka sudah sepantasnya kita juga menerima orang lain yang tidak sesempurna seperti yang kita inginkan. Berburuk sangka kepada orang lain hanya akan membuat kita kehilangan banyak teman dan kesempatan, dalam filosofi jawa dikatakan “janma tan kena kinira  apa yang terlihat dari seseorang saat ini sesungguhnya tidak bisa mewakili kedalaman jiwa-nya, ketulusan hati-nya dan besarnya masa depannya. Mengkhawatirkan masa depan seperti halnya kita tidak percaya kepada Tuhan, apapun bisa terjadi di masa depan, bahkan hal-hal yang saat ini menurut kita mustahil sekalipun.

Saya ingin menceritakan kisah seorang teman dekat saya, semoga dia berkenan diceritakan kisahnya. Namanya Okta, sosok ini dipenuhi dengan pikiran-pikiran positif dan selalu optimis akan masa depan. Sebelum hijrah ke Jakarta, dia punya pengalaman buruk tentang sebuah hubungan, mulai dari patah hati, hubungan beda keyakinan sampai dengan hubungan yang digantung. Tapi sikap yang optimis dan sumarah membuat dia melewati semuanya dengan tanpa beban, toh hidup sudah ada yang mengatur. Okta ini juga bukan tipe orang yang punya banyak kriteria mengenai pasangan hidup. Dia tidak membebani hidupnya dengan kriteria calon pasangannya nanti harus begini, harus begitu, harus punya ini, harus punya itu, dia los-kan semuanya dengan penuh kesadaran. Alhasil, tidak lama setelah tinggal di Jakarta, dia menemukan seseorang yang betul-betul pas dengannya dan menikah beberapa saat kemudian. Happily ever after.

Pride & Prejudice seperti sebuah dinding antar perasaan. Selama pride kita masih tinggi dan prejudice kita masih penuh, maka semuanya nampak sangat kabur, tidak ada kejelasan. Bagai menatap air keruh, kita tidak pernah bisa melihat dasarnya. 

Selamat menyambut tahun baru wahai jiwa-jiwa yang baru!
Malang , 27 Desember 2016
R. Shantika Wijayaningrat



Selasa, 29 November 2016

Negativity Can Only Affect You If You Are On The Same Frequenci, So Vibrate Higher


Pernahkah anda merasakan bahwa anda merasa tidak nyaman jika berada di dekat seseorang? anda tidak tahu mengapa, tapi anda merasa bahwa seseorang di sebelah anda memiliki aura yang tidak menyenangkan, walaupun mungkin anda tidak mengenalnya.
Atau dalam kesempatan yang lain, anda merasa senang atau nyaman jika ada satu orang tertentu berada dalam satu ruangan dengan anda? anda juga tidak tahu mengapa tapi anda merasa orang tersebut memiliki kharisma yang membuat suasana menjadi lebih nyaman, lebih tenang, lebih hangat atau lebih hidup.
Kemajuan zaman saat ini, tidak hanya bertatap muka dengan seseorang secara langsung dapat mengubah mood anda, hanya melihat seseorang tersebut di dunia maya atau sosial media pun bisa membikin mood anda berubah.
Akhir-akhir ini suasana medsos dunia agak menghangat menyusul terpilihnya Donald Trump sebagai presiden terpilih Amerika Serikat, yang menuai banyak pro dan kontra, semua saling adu argumentasi dan melempar bukti-bukti, bahkan bagi mereka yang bukan warga Negara Amerika Serikat sekalipun. Tapi bagi kita orang Indonesia, berbicara mengenai Pilkada DKI Jakarta sudah menjadi pemicu perang di sosmed, tidak hanya antar pendukung cagub, tapi sudah merambah hingga menebar kebencian melalui isu-isu SARA. Yah tidak bisa dipungkiri Pilkada DKI kali ini panasnya sudah menyamai Pilpres RI 2014 lalu. Tidak hanya orang Jakarta yang terpecah belah, sampai orang-orang di provinsi lain sekalipun ikut-ikutan adu kepala, padahal ada beberapa diantara mereka juga menyelenggarakan Pilkada di daerah mereka sendiri di waktu yang bersamaan, tapi mereka malah ikut ngotot-ngototan mengomentari Pilkada DKI dengan segala daya dan pikiran.
Saya mungkin bukan seorang sosmed addict, tapi saya selalu menyempatkan diri melihat beberapa sosmed yang saya miliki pada waktu luang, dan saya amati selama dua bulan ini, sosmed seperti facebook, twitter dan instagram sudah seperti menjadi medan perang argumentasi mengenai Pilkada DKI, mungkin cuma tinggal Path yang tidak bisa dipakai untuk perang argumentasi umum. Beberapa orang mengaku suka emosi dan badmood setelah melihat timeline sosmed mereka. Dalam beberapa kasus bahkan ada yang sampai saling mem-blokir, meng-unfollow dan meng-unfriend teman-teman sosmednya sendiri. I have to say… WOW!!!
Ternyata dampak psikologis Pilkada DKI cukup besar bagi masyarakat kita, bayangkan saja, seseorang yang memulai harinya dengan “cerah ceria” langsung berubah 180 derajat begitu membuka facebook dan twitter (ya walaupun nggak semuanya sih…) dan mood yang buruk pasca melihat isi sosmed terus mempengaruhinya hingga menjelang tidur di malam hari. Dan itu terulang lagi keesokan harinya, selama berhari-hari. Atau sampai setelah Pilkada malahan….
Tidak berlebihan sekiranya kalau saya mengatakan bahwa sosmed sedang dipenuhi energy negative saat ini. Banyak postingan atau tautan yang diposting sebagai reaksi atas postingan yang lain. Segala sesuatu terlihat seperti serba simpang siur.
Saya ingin sekali mengatakan kepada mereka yang sering emosi atau badmood pasca melihat sosmed untuk segera me-log out sosmed mereka dan tidak pernah lagi sign in hingga mereka merasa siap untuk menerima situasi. Tapi tentu itu bukanlah hal yang bijaksana, karena sejatinya banyak juga hal positif yang bisa di dapatkan dari sosmed, terutama mereka yang berbisnis menggunakan sosmednya.

To Be Continued ............

Senin, 31 Oktober 2016

Solo dan Jogja; The S̶i̶s̶t̶e̶r̶ Brother Cities


“Kayanya ntar gw mau nikah pake adat Jawa aja deh”
“Adat Jawanya, mau gaya Solo apa Jogja?”
“Loh… emang beda ya?”

Bagi masyarakat umum, Solo dan Jogja hanyalah sebuah perbedaan geografis, tak ada yang berbeda, sama-sama suku Jawa, bahasanya sama, makanannya sama, batiknya sama, sama-sama ada keraton, sama-sama kota budaya, tarian, gamelan, wayang, pakaian adat, keris, tata kota hampir tidak ada perbedaan, setidaknya anggapannya seperti itu. Kota Kembar That’s the stereotype.

Tapi bagi orang Solo dan Jogja sendiri, meskipun sama-sama Jawa namun perbedaan itu adalah sebuah kebanggaan yang mencirikan karakter masing-masing kota beserta masyarakatnya. Dan bagi mereka yang concern dalam bidang budaya, perbedaan Solo dan Jogja tidak terlepas dari sejarah yang begitu panjang dan kompleks selama ratusan tahun.

Emang Solo sama Jogja lebih tua mana sih? Orang Solo akan mengatakan lebih tua Solo, sedangkan orang Jogja mengatakan Keraton Solo asalnya dari Jogja. Nah loh… bingung kan?.

Secara historis, Keraton Solo (Kasunanan) mulai dibangun tahun 1745 oleh Paku Buwono II, sedangkan Keraton Jogja (Kasultanan) mulai dibangun tahun 1755 oleh Hamengku Buwono I yang tidak lain adalah adik dari Paku Buwono II. Pendirian Keraton Kasultanan Yogyakarta sendiri merupakan hasil dari perjanjian Giyanti yang memecah Kerajaan Mataram yang ber ibukota di Solo menjadi dua. Karena itulah orang Solo mengatakan bahwa Solo lebih tua daripada Jogja. Eits… tunggu dulu Kerajaan Mataram yang beribukota di Solo waktu itu merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati di Kota Gedhe – Jogja tahun 1587, itulah yang mendasari orang Jogja mengatakan bahwa Keraton Solo asalnya dari Jogja. It will be an endless discussion right?or civil war maybe… lol.

Berbicara perbandingan, maka harus berbicara sudut pandang, jika dari sudut pandang orang Solo maka mereka akan menonjolkan kotanya sendiri beserta adat budayanya, begitu juga orang Jogja. Maka kita akan berbicara dari sudut pandang orang luar Solo dan Jogja, tapi bukan dari sudut pandang orang luar Jawa, karena mereka memiliki sense yang berbeda mengenai adat budaya Jawa.

Dimulai dari bahasa, hampir tidak ada yang bisa dibedakan dari bahasa Jawa gaya Solo dan Jogja, kecuali beberapa terminologi seperti kata “Nuwun sewu” untuk orang Solo yang numpang lewat dan “Nderek langkung” untuk orang Jogja yang numpang lewat, maknanya kurang lebih sama, sama-sama mohon diperkenankan untuk melakukan sesuatu.

Pakaian adat, ada banyak perbedaan dalam cara dan gaya berpakaian gaya Solo dan Jogja. Secara historis, pakaian Jogja lebih tua daripada Solo karena yang dipakai orang Jogja merupakan busana asli orang Kerajaan Mataram jaman dahulu, sedangkan pakaian gaya Solo merupakan gubahan Paku Buwono III dan disempurnakan oleh Paku Buwono X supaya tidak terlihat sama dengan orang-orang Jogja.
Keluarga Keraton Kasunanan Surakarta
 
Keluarga Keraton Kasultanan Yogyakarta



Batik Solo didominasi oleh warna-warna soga atau coklat muda dan krem, sedangkan batik Jogja didominasi warna putih yang benar-benar putih. Untuk motif batik Solo terkesan lebih halus dan rumit, sedangkan batik Jogja terkesan lebih tegas dan gagah.
Batik Parang Jogja
Batik Parang Solo


Ketika mengenakan nyamping atau kain jarik, orang Solo menyembunyikan bagian sered atau garis kain terluar ke dalam wiru (lipatan), sedangkan orang Jogja malah sengaja menampakannya. Konon penggunaan wiru sendiri dimulai oleh orang Solo dan orang Jogja baru mengikuti kemudian. Khusus perempuan yang memakai jarik motif parang, perempuan Solo memakai motifnya menyerong dari kanan atas – kiri bawah, sedangkan perempuan Jogja dari kiri atas kanan bawah.
Pakaian Jawi Jangkep Solo

Pakaian Jawi Jangkep Jogja


Pemakaian Kain Parang Solo
Pemakaian Kain Parang Jogja

Pakaian pengantin sangat menyolok perbedaannya, mulai dari motif kain yang dikenakan hingga perhiasan dan tata rias yang dipakai. Gaya Solo terlihat lebih simple namun elegan sedangkan gaya Jogja terlihat lebih glamor dan semarak.
Pengantin Solo (Basahan)
Pengantin Jogja (Paes Ageng)


Keris (warangka/sarung keris) gaya Solo terlihat lebih mewah dan anggun, sedangkan gaya Jogja lebih simple dan maskulin.

Warangka Keris Gayaman Solo (Kiri) & Jogja (Kanan)
Warangka Keris Ladrang Solo (Kiri) & Jogja (Kanan)

Wayang kulit gaya Solo selama ratusan tahun telah berevolusi dan terus dimodifikasi hingga tercipta wayang kulit yang begitu mewah dan anggun. Sedangkan wayang gaya Jogja masih tetap asli seperti wayang kulit zaman Kerajaan Mataram yang terkesan sederhana dan sakral.


Jika kita melihat tarian gaya Solo dan Jogja maka kita akan merasakan sebuah ekspresi yang berbeda walaupun jenis tarian dan gerakan yang ditarikan adalah sama. Tema-tema tarian klasik Solo kebanyakan bertema romantik dan ditarikan dengan sedikit cita rasa sensual yang elegan. Sedangkan tarian klasik gaya Jogja kebanyakan bertema heroik dan memiliki sebuah alur cerita dimana terdapat sebuah ekspresi konflik sebagai klimaksnya. Sama-sama menari srimpi, namun ekspresi yang hasilkan akan berbeda. Untuk kostum jelas beda.
Srimpi Pandelori Keraton Yogyakarta (atas)
Srimpi Sangupati Keraton Surakarta (bawah)

Pada dasarnya sangat sedikit sekali perbedaan dalam teknik memainkan gamelan, namun perbedaan yang menonjol adalah sense atau ekpresi yang dibangun oleh repertoar gending-gendingnya. Musik gamelan Solo lebih banyak bersifat meditatif dan romantis terutama komposisi ladrang dan ketawang, peran instrument bonang barung sangat menonjol sehingga kesan yang ditimbulkan begitu halus dan kalem, irama seseg (tempo cepat) hanya berfungsi sebagai klimaks. Sedangkan musik gamelan gaya Jogja lebih banyak bersifat heroik, entertain dan menggugah semangat terutama komposisi lancaran dan soran, peran instrument wilahan sangat menonjol untuk menghasilkan kesan bersemangat dan heroik. Gending biasa dibuka dengan irama seseg (tempo cepat) dan diakhiri dengan irama seseg juga, sedangkan irama tamban (tempo lambat) hanya ada di tengah-tengah saja. Silahkan simak :
Ladrang Prabu Mataram dari Keraton Yogyakarta (atas
Ladrang Bremara dari Keraton Surakarta (bawah


Untuk tampilan luar gamelannya juga cukup mencolok perbedaannya, tampilan gamelan gaya Solo biasanya diberi ukiran tembus dua sisi (krawangan) dengan ukiran naga di beberapa instrument. Sedangkan tampilan gamelan gaya Jogja biasanya lebih sederhana dan ukiran hanya satu sisi, dengan ukiran manuk beri (sejenis garuda) di beberapa instrument. Di luar itu, jenis –jenis instrument yang dimainkan adalah sama kecuali penggunaan bedhug untuk gamelan-gamelan yang berasal dari Keraton Jogja yang jarang ada di gamelan dari Keraton Solo.
Gamelan Jogja



Gamelan Solo
Untuk makanan, sebetulnya jenis makanan tradisional asli Solo lebih banyak macamnya daripada Jogja, hal ini karena di masa lalu Keraton Solo memperbolehkan masyarakat untuk meniru dan memodifikasi makanan-makanan yang disajikan di keraton. Tetapi yang banyak didiskusikan adalah nasi gudeg apakah itu berasal dari Solo atau Jogja. Nasi gudeg Solo biasanya bercitarasa gurih dan basah, dengan sambel krecek (kulit sapi) dan irisan ayam atau telur yang ditambahkan beserta kuahnya dan tidak lupa areh (semacam yogurt santan) sebagai pelengkap. Sedangkan nasi gudeg Jogja biasanya bercitarasa manis dan kering, dengan sambel krecek dan irisan ayam atau telur yang ditambahkan tanpa kuah, dan biasanya blondo (ampas minyak kelapa) sebagai pelengkap. 
Sebetulnya masih banyak lagi hal-hal yang cukup menarik untuk dibandingkan antara Solo dengan Jogja, termasuk bagian-bagian rumah, peletakan kamar mandi dan sumur, tatacara upacara adat, sesajen, penggunaan payung, penggunaan gelar keraton, bahkan sampai bentuk kijing (batu nisan) di makam raja-raja Imogiri pun juga berbeda. (Sampai segitunya ya…?) Mungkin bisa kita bahas di next article. Mungkin juga termasuk Mangkunegaran dengan Paku Alaman.
            Yang pasti perbedaan antara Solo dan Jogja yang kita lihat saat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah persaingan antar keraton selama berabad-abad. Jika kita membaca Babad Giyanti, Babad Prayut dan Babad Mangkubumi maka nampak sekali selama berabad-abad rivalry antar keraton dan antar raja sudah seperti perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Namun demikian di setiap akhir perjalanan hidup para raja di Solo maupun Jogja, pada akhirnya akan dikumpulkan di tempat peristirahatan yang sama, di puncak bukit Imogiri.

Malang, 31 Oktober 2016
R. Shantika Wijayaningrat


Sumber Acuan:
Babad Tanah Jawi
Babad Giyanti
Babad Prayut
Babad Mangkubumi
Pictures by Google