Rabu, 25 April 2018

Let's Go Nyadran 2


From Previous Post Let's Go Nyadran 1

Sedangkan bagi kerabat keraton, baik itu di Solo maupun Jogja, tradisi nyadran meskipun lebih sederhana yaitu hanya berziarah dan mendoakan para leluhur, namun seperti yang saya sebut diawal menjadi tidak terlalu sederhana mengingat lokasi makam yang diziarahi terpencar di beberapa kota. Ada 2 jenis nyadran yang biasa dilakukan oleh kerabat keraton, yaitu sebut saja nyadran full dan nyadran shortcut. Nyadran full biasanya dilakukan dengan berziarah ke:
  1. Makam Raja-Raja di Kotagedhe – Yogyakarta,
    Makam Raja-Raja di Imogiri – Bantul,
    Makam Kyai Ageng Nis di Laweyan – Solo,
    Makam Manang – Sukoharjo,
    Makam Kyai Ageng Pengging – Sri Makurung di Boyolali,
    Makam Bathara Katong – Ponorogo,
    Makam Amangkurat Agung – Tegal,
    Makam Sunan Kalijaga – Masjid Demak di Demak,
    Makam Kyai Ageng Selo – Kyai Ageng Tarub di Grobogan
    Makam-makam leluhur keraton lain seperti Kartasura, Balakan, Majasto, Giring, Butuh, Prawoto, Banyu Sumurup, Girilaya, Gunung Kelir, Giri Kedhaton, dll. (Tentative)
Nyadran Full, selain membutuhkan waktu yang longgar juga membutuhkan tenaga yang besar, karena makam leluhur yang dikunjungi tidak sedikit, terutama pada waktu di Imogiri. Di Imogiri saja kita
Abdi dalem jurukunci membawakan bunga di Imogiri
harus nyekar paling tidak 15 raja beserta permaisuri masing-masing yang terbagi dalam 5 kedhaton (5 kompleks makam) yang berarti kita harus naik turun bukit 5 kali dengan memakai pakaian jawi jangkep (beskap) & kemben bagi perempuan. 

Belum lagi kalau kita juga masih ada garis keturunan dari Keraton Yogyakarta, maka kita bisa naik turun bukit sampai 8 kali. Tidak jarang di makam terakhir pakaian sudah kusut penuh keringat, nyamping (jarik) sudah hampir jebol, sanggul sudah hampir lepas dari kepala. Karena sebelum ke Imogiri biasanya selalu didahului ke Makam Kotagedhe dengan kostum yang sama, jadi seharian penuh sampai hampir tengah malam ber-jawi jangkep.

Makam Sunan Paku Buwono XII
Nyadran full juga membutuhkan biaya yang besar, apalagi memasuki bulan Ruwah harga bunga tabur naik secara drastis. Mawar yang biasanya seharga Rp.200.000,- /kantong, naik hingga mencapai harga Rp. 850.000,-/kantong. Padahal untuk berziarah ke Kotagedhe & Imogiri saja paling tidak membutuhkan 10 kantong bunga, belum lagi melati ronce, melati tabur & kenanga yang harganya tidak kalah fantastis, masih ditambah biaya tindih abdi dalem juru kunci yaitu semacam tips yang diberikan kepada petugas makam yang jumlahnya mencapai 50 orang. Karena itu nyadran full biasanya diadakan secara kolektif atau bersama-sama oleh kerabat keraton, sehingga biaya yang dikeluarkan terasa lebih ringan.

Sementara Nyadran Shortcut, bisa lebih fleksibel dengan waktu yang lebih singkat. Hanya tiga makam utama yang dikunjungi yaitu Makam Kyai Ageng Nis, Makam Kotagedhe dan Makam Imogiri. Di Makam Imogiri inipun juga masih di shortcut lagi, yaitu makam Sultan Agung langsung menuju makam Sunan Paku Buwono X atau menuju raja pancer dari keluarganya masing-masing. Nyadran jenis ini bisa dilakukan cukup satu hari saja, dengan biaya yang tidak terlalu besar. Karena bunga satu kantong saja sudah cukup, tips petugas makam juga tidak terlalu banyak karena tidak semua makam dibuka.

Tangga menuju makam Sunan Paku Buwono X
Terlepas dari dari jenis nyadran mana yang biasa kita lakukan, berziarah ke makam orang tua dan leluhur memiliki manfaat yang besar bagi kita. Nyadran menyadarkan kita bahwa hidup ini adalah menanam, yang kita tanam selama hidup akan kita tuai setelah mati.

Menyadarkan apakah bekal yang kita kumpulkan sudah cukup untuk mencapai kehidupan yang abadi nanti.

Menyadarkan bahwa tanpa perjuangan mereka, doa mereka, tirakat mereka, kita tidak mungkin bisa hidup seperti saat ini. Toh tidak ada orang tua yang mendoakan anak keturunannya kelak akan hidup susah dan kekurangan. Pasti mereka mendoakan kehidupan kita lebih baik dari mereka

Menyadarkan apakah anak cucu kita nanti tidak lupa mendoakan kita, sebagaimana kita tidak lupa mendoakan leluhur kita. Kembali lagi, apa yang kita tanam pasti akan kita tuai, hidup ini bertimbal balik.

Surabaya, 25 April 2018

R. Shantika Wijayaningrat

Sumber Referensi :
Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa. 1984. Jakarta: PT. Gramedia
Ringkasan Fiqih (Imam Syafii)
Serat Bauwarna (R.Ng. Ranggawarsita)
Serat Tatatjara (Ki Padmasusastra)
Serat Lelampahan Raden Mas Purwalelana (R.Adp.Arya. Candranagara)
wikipedia.org/sradha
wikipedia.org/atmawedana
pictures by google image
pictures by R.T. Priyantodipura

Let's Go Nyadran 1


Memasuki bulan ruwah dalam kalender Jawa tahun ini, ada satu hal yang membuat saya sedih sebetulnya, yaitu nggak bisa ikut nyadran. What is nyadran?

Nyadran dalam kebiasaan masyarakat Jawa adalah tradisi berziarah ke makam orang tua dan leluhur yang telah meninggal, yang dilakukan selama bulan ruwah/ sebelum ramadhan. Sebetulnya simple saja sih, cuma sekedar berziarah, kemudian berdoa untuk leluhur (eyang, buyut, canggah dst), tapi bagi yang memiliki hubungan dengan keraton, nyadran menjadi tidak terlalu simple mengingat banyaknya leluhur yang harus diziarahi dan didoakan, dan lagi banyak makam yang terpisah di kota-kota yang berbeda, sehingga membutuhkan waktu yang betul-betul longgar untuk melakukannya, hati juga harus betul-betul longgar, karena nyadran bukan sekedar kegiatan fisik, melainkan juga kegiatan spiritual. 

Saya akan mencoba bercerita sedikit mengenai asal-usul nyadran.

Upacara Shraaddha di tepi Sungai Gangga, India
Nyadran berasal dari Bahasa Sansekerta 'Shraaddha' yang berarti menunjukan bakti, sebuah ritual Hindu kuno. Umat Hindu di India maupun di Jawa Kuno melakukan upacara Shraaddha di bulan Shraaddha atau Badra (Agustus-September) menurut kalender Hindu. Upacara ini dilakukan untuk menunjukan tanda bakti kepada orang tua atau leluhur yang telah meninggal. Upacara Shraaddha biasanya dilakukan di kuil-kuil di tepi Sungai Gangga & Yamuna dengan disertai pemberian sedekah untuk para Brahmana dan orang-orang miskin.

Di Indonesia sendiri upacara Shraaddha di masa Jawa Kuno biasa dilakukan oleh keluarga raja di candi-candi dengan membuat makanan & persembahan untuk leluhur berwujud puspasharira yaitu patung yang terbuat dari bunga-bunga. Upacara ini dilakukan di candi karena jenasah leluhur pada masa itu dikremasi dan abunya ditempatkan di candi-candi. Ketika agama Islam masuk ke pulau Jawa, upacara shraaddha tidak betul-betul dilarang oleh para wali, melainkan diformat ulang dan diisi muatan islami di dalamnya. Menurut para wali melanjutkan tradisi nyadran tidak serta merta menjadikan seorang muslim menjadi Hindu (auto-murtad) karena upacara nyadran dalam Islam dianggap masih sesuai dengan perintah Rasulullah yang memerintahkan umatnya untuk berziarah kubur agar dapat mengingat kematian, meskipun orang-orang Jahiliyah  sebelum datangnya Islam juga biasa melakukannya, bahkan terbiasa tawaf, puasa dan kurban.
Upacara Atmawedana (Mamukur) oleh umat Hindu Bali

Umat Hindu Bali yang masih melanjutkan tradisi Majapahit, menyelenggarakan upacara Shraaddha ini dengan sebutan upacara Atmawedana atau Mamukur. Upacara ini ditujukan untuk mensucikan atma atau jiwa mereka yang telah meninggal. Sementara umat Islam di Jawa, melakukan upacara nyadran ketika memasuki bulan Ruwah. Kata 'ruwah' itu sendiri diyakini berasal dari kata arab 'arwahu' yang berarti roh atau jiwa. Karena itulah kadang nyadran ini disebut ruwahan atau barikan yang berarti memohon berkah.

Nyadran, Banguntapan - Yogyakarta
Meskipun tradisi nyadran sudah semakin luntur, akan tetapi sebagian masyarakat pedesaan Jawa masih melestarikan tradisi ini sebagai wujud bakti kepada orang tua yang telah meninggal. Upacara nyadran di pedesaan Jawa diawali dengan berkumpulnya seluruh keluarga di desa tersebut dengan membawa tumpeng beserta sesajen. Tempat berkumpul biasanya adalah lapangan atau jalanan dekat makam desa. Setelah didoakan secara islami oleh modin atau sesepuh setempat, tumpeng yang telah didoakan tersebut dimakan bersama-sama. Setelah itu acara diakhiri dengan membersihkan makam dan menaburkan bunga.

Di sebagian masyarakat Jawa yang lain, tradisi ruwahan hanyalah membersihkan dan berziarah di makam saja tanpa ada acara makan bersama.

Continued to Let's Go Nyadran 2