Sabtu, 25 Juli 2020

Bahagia Kita Tidak Sama

 "Kasihan ya, mereka udah nikah 5 tahun tapi belum punya anak"

"Itu lho yang yang belum nikah, padahal umurnya udah 40, kasihan"
"Owalah, kok nggak coba ikut CPNS aja?"
"Udah enak-enak kerja di situ, gaji 20 juta, malah resign. Bodoh namanya"
"Ngapain beli rumah jauh di sana, mbok ya nyari yang deket-deket sini aja"

Dan masih banyak lagi.....

Mungkin kamu pernah dihadapkan pada salah satu situasi di atas? Mungkin sebagian bisa menjawab, tapi sebagian yang lain bingung harus mengatakan apa.

"Kasihan ya, mereka udah nikah 5 tahun tapi belum punya anak"
Padahal mereka memang belum ingin punya anak, ingin fokus berkarir, atau bahkan memang mereka nggak pengen punya anak, ingin hidup bahagia berdua saja. Mereka tidak sedih dengan hal itu, dan tidak ingin dikasihani.

"Itu lho yang belum nikah, padahal umurnya udah 40, kasihan"
Padahal memang itu pilihan hidupnya sendiri, dia merasa bahagia dengan kesendiriannya. Karirnya bagus, hubungan dengan keluarganya juga baik, dia punya banyak saudara, keponakan dan sahabat. Tidak masuk klasifikasi harus dikasihani.

"Owalah, kok nggak coba ikut CPNS aja?"
Tidak semua orang di dunia ini ingin menjadi PNS, banyak anak muda yang lebih menginginkan karir yang dinamis, dengan dinamika yang lebih menantang, yang tidak mengkerdilkan kreatifitasnya. Atau bahkan tidak ingin terkekang oleh sesuatupun seperti menjadi orang kantoran.

"Udah enak-enak kerja di situ, gaji 20 juta, malah resign. Bodoh namanya"
Padahal dia berencana untuk berwirausaha, dengan modal dari tabungannya yang sudah cukup. Dia sudah punya rencana hidup yang diperhitungkan dengan matang. Dan dia bukan orang bodoh.

"Ngapain beli rumah jauh di sana, mbok ya nyari yang deket-deket sini aja"
Kemampuan finansial untuk membeli rumah setiap orang berbeda-beda, mungkin memang dia menginginkan rumah yang dekat dengan tempat bekerja, atau dengan dengan keluarga induk, tapi apa daya kemampuan finansialnya tidak memenuhi. Atau mungkin memang dia menginginkan rumah yang jauh dari hiruk pikuknya kota. Hanya yang memutuskan yang tahu.

Kita sering kali membandingkan semua hal dengan sudut pandang kita sendiri. Banyak yang asal bertanya atau berkomentar tanpa mengetahui alasan dibalik semua keputusan yang mereka ambil. Hanya karena kita merasakan bahagianya punya anak, bukan berarti kita bisa menilai mereka yang tidak punya anak hidupnya menderita.

Atau hanya karena kita merasa bahagia karena sudah menikah, bukan berarti kita bisa menilai mereka yang belum menikah hidupnya sengsara, atau nggak laku.

This is our society, banyak orang menggunakan standartnya untuk mengukur kebahagiaan hidup orang lain. Apa yang di luar ukuran kebahagiaanya, pastilah orang lain itu dianggap menderita dan perlu dikasihani. Begitu pula dengan keputusan hidup, jika seseorang membuat keputusan hidup yang berbeda dengan yang dia ambil, pastilah dianggap bodoh atau aneh.

Kita kadang terlalu sibuk untuk menilai dan mendikte orang lain untuk berbahagia menurut cara kita.
Padahal yang menjalani hidup ya orang lain, cara mereka bahagia hanya mereka yang tahu. Selama tidak melanggar hukum dan merugikan orang banyak mengapa kita harus mengasihaninya. Padahal sendiri tidak tahu akhir dari kehidupan kita sendiri. Bisa jadi di akhir hayat malah hidup kita jauh dari ketenteraman, karena kita selalu menghakimi dan menilai orang lain agar sama dengan ukuran kita.


Surabaya, 25 Juli 2020
R. Shantika Wijayaningrat