Minggu, 29 Oktober 2017

Memang Kita kok yang Paling Suci


Sebetulnya saya tidak terlalu tertarik untuk menulis artikel gosip, tapi beberapa hari ini timeline saya di sosmed banyak dihiasi mengenai kabar keputusan Rina Nose yang melepaskan jilbab. Karena saya jarang nonton TV jadi saya tidak begitu tahu siapa Rina Nose, tapi jika melihat hal yang demikian saja bisa menjadi komoditas berita, berarti dia memiliki banyak penggemar. Ada yang memberi dukungan moral, ada yang kontra, ada yang sampai menghujat sedemikian rupa, ada juga yang memposting artikel-artikel keagamaan yang (semoga saya salah) bertujuan menyindir perempuan yang melepas jilbab. Saya tidak akan ikut-ikutan mengomentari Rina Nose, saya malah lebih tertarik membahas mereka yang berkomentar.
Sebetulnya apa yang terjadi kepada Rina Nose tidaklah suatu hal baru dijaman sekarang ini, beberapa tokoh masyarakat juga pernah mengalami hal serupa karena kasus serupa, penyanyi senior Trie Utami misalnya. Saya ingat betul ketika saya masih duduk di bangku SMA beberapa tahun yang lalu, ada salah seorang guru saya yang awalnya berjilbab, tiba-tiba tampil tidak berjilbab di sekolah. Dan satu sekolah pun geger, jauh lebih heboh daripada ketika sang guru tadi menang lomba bioteknologi internasional di Taiwan.
Mungkin masyarakat kita memanglah terkenal sebagai masyarakat yang begitu sosial, terkenal dengan gotong royongnya, tenggang rasanya, ramah tamahnya dan berbagai identitas yang sudah lama disematkan. Segala permasalahan sosial haruslah dipikirkan bersama, saking banyaknya permasalahan sosial di masyarakat kita sampai kita kesulitan membedakan mana permasalahan pribadi dan mana permasalahan bersama. Saking pedulinya terhadap orang lain, sampai seolah apa yang kita lihat dan apa yang kita dengar haruslah ikut kita pikirkan, ikut kita komentari dan ikut kita beri saran. Apalagi dengan berkembangnya medsos yang begitu cepat, menjadikan kita begitu reaktif, kalo nggak komentar kok gatel rasanya, kaya ada yang kurang….    
Meskipun medsos memberikan banyak sekali manfaat dalam kehidupan kita di era global ini. Namun sadar atau tidak juga menjadikan kita menjadi generasi yang reaktif, kita begitu mudah bereaksi terhadap segala sesuatu yang kita lihat meskipun apa yang kita lihat belum tentu benar. Kita begitu mudah terjun terhadap sebuah kesimpulan hanya dengan melihat suatu gambar, menonton suatu video atau membaca sebuah artikel. Saya sengaja mem-bold kata suatu dan sebuah karena memang kadang ya hanya satu dan hanya mewakili satu sudut pandang saja.
Suatu gambar yang kita lihat bisa saja telah diedit, tapi kita tidak tahu, atau kalaupun tidak diedit kita kadang juga tidak tahu latar belakang kejadian dalam gambar itu. Kita menonton sebuah video yang bisa saja telah disetting atau dipotong tanpa tahu faktanya secara holistic. Dan kita membaca sebuah artikel tanpa mencari artikel pembanding yang mewakili sudut pandang yang berbeda. Tapi kita begitu mudah percaya begitu saja dan langsung bereaksi di kolom komentar. Seperti yang sering kita alami dalam grup WA, jika ada salah seorang yang langsung berkomentar tanpa scroll dulu percakapan diatasnya. Antara nggak nyambung, lucu dan ngeselin.
Saya meyakini apa yang dilakukan Rina Nose pastilah sebuah keputusan berat yang dihasilkan dari sebuah pemikiran dan pertimbangan yang matang, sebagaimana ketika dia memutuskan untuk memakai jilbab. Tapi ya memang beginilah keadaan masyarakat kita tidak mau ambil pusing memahami dari sudut pandang lain, sehingga dengan serta merta berkomentar pedas, menghujat, memaki, seolah-olah dia adalah manusia paling berdosa dan sudah hakkul yakin pasti masuk neraka tidak bisa tidak. Medsos menjadikan masyarakat kita polisi sosial yang mengadili tanpa pengadilan. Bahkan mungkin ada yang merasa menjadi polisi Tuhan yang berhak menyatakan kamu berdosa dan kamu sudah pasti masuk neraka.
Saya jadi teringat guru saya waktu kecil Alm. Mbah Kyai Bakri karena memang saya dibesarkan di lingkungan santri. Beliau bercerita di masjid, pada waktu pertengahan salat tarawih ada makmum yang bertanya kepada teman sebelahnya, “ini rakaat ke berapa?”, teman sebelahnya menjawab “ini rakaat ke 6”. Karena merasa terganggu, seorang teman yang salat di shaf depannya menegur “ini sedang salat, kalian jangan bicara, kalau nggak khusyuk salat kalian batal”. Diantara ketiga orang ini siapakah yang salatnya batal? Tentu saja ketiga-tiganya batal karena ketiga-tiganya bicara saat salat. Tapi ternyata ada satu orang lagi yang ikut batal salatnya, ternyata ada satu lagi satu teman yang salat dibelakang ketiga orang ini, dia tidak ikut nimbrung waktu salat, tapi dalam hati dia bicara sambil memperhatikan mereka “untung aku nggak ikut ngomong, kalo nggak khusyuk kan salatnya batal” tanpa menyadari bahwa dia sendiri salatnya batal.
Mungkin kisahnya sangat sederhana, tapi kisah ini membakas di hati para santri, bahwa mencampuri urusan pribadi orang lain bukanlah hal yang benar jika dilakukan secara tidak tepat, fokus terhadap urusan diri sendiri dan introspeksi jauh lebih baik dibandingkan dengan mengoreksi orang lain. Kalau mbah kyai saya masih hidup mungkin beliau akan bertanya dengan bahasa jawa timurannya “Apa memang susahnya setengah mati sih menahan diri biar nggak komentar?”
Masih cerita dari guru saya. Waktu Nabi Isa AS masuk ke Baitul Maqdis (Yerusalem), beliau bertemu kerumunan orang, ternyata ada penggerebegan seorang pezinah (pelacur) padahal pezinah ini sudah diketahui bertaubat, tapi masyarakat tidak percaya. Berdasarkan hukum Yahudi kuno, maka seorang pezinah hukumannya adalah dilempari batu sampai mati (rajam), maka begitu datang Nabi Isa, orang-orang Yahudi itupun bermaksud menguji beliau. “Wahai nabi, apa yang harus dilakukan kepada seorang pezinah” Nabi Isa pun  menjawab “Jika menurut hukum Taurat, maka dia haruslah di lempari batu sampai mati”. Maka ketika semua orang di kerumunan itu telah siap dengan batunya masing-masing Nabi Isa bersabda “Barangsiapa diantara kalian tidak pernah melakukan kesalahan selama hidup, maka dialah yang berhak melempari perempuan ini dengan batu pertama kali” Dan semua orangpun diam tidak ada yang berani memulai hingga mereka meninggalkan tempat satu persatu.

Memang sangatlah mudah melihat kekurangan orang lain, karena kekurangan mereka berada di depan mata kita, akan lebih sulit melihat kekurangan diri sendiri, karena terletak dipunggung kita. Yang pasti sibuk mengkomentari kekurangan orang lain tidaklah akan membuat kita lebih baik darinya.
 https://empowerlove.files.wordpress.com/2015/06/perfect.png