Rabu, 30 Januari 2019

Budaya Jawa, Komoditas Film Horor Indonesia


Bunga kantil dan melati, sesajen dari berbagai makanan dan ayam hidup, tembang macapat yang dimodifikasi, pohon beringin besar, mantra kuno dalam bahasa jawa, keris, jumat kliwon, satu suro dan masih banyak hal-hal lain yang sering kita temui sebagai elemen utama film-film horor Indonesia.

Sejak boomingnya film horor Indonesia di tahun 1970an, elemen-elemen kehororan yang sering dimunculkan adalah elemen klenik dan mistik. dan lebih khusus lagi, klenik dan mistik yang bersumber pada budaya Jawa. Sejak tahun 1970an sampai sekarang sudah berapa banyak film horor Indonesia yang mengekploitasi budaya jawa sebagai komoditas horor. Film malam satu suro, ratu pantai selatan, ratu pengasihan hingga yang terbaru lingsir wengi hampir semuanya mengadopsi budaya jawa sebagai elemen utama ke-horor-an mereka.
Penggunaan budaya jawa dalam film horor secara terus menerus telah menggiring persepsi masyarakat mengenai budaya mereka sendiri. 

Sebut saja dukun, pada masa dokter belum banyak dan menjamah masyarakat terpencil di pedesaan, dukun adalah harapan bagi mereka yang sakit dan memiliki permasalahan. Seorang dukun bukanlah seperti yang digambarkan oleh film-film horor saat ini yang identik dengan pakaian serba hitam, rambut gondrong, suara berat dan berbagai macam cincin akik yang melekat di jari-jarinya. Dukun real di masa lalu adalah seseorang dekat dan sangat dihormati masyarakat, dihormati karena kebijaksanaanya membantu permasalahan orang lain dan juga pemahaman terhadap obat-obatan tradisional yang bisa membantu menyembuhkan orang yang sakit. Penampilannya pun tak jauh berbeda dengan trend mode masyarakat kebanyakan di masa itu.

Dukun sebagai pemuka agama suku tengger

Tapi kini ketika kita mendengar kata dukun, maka yang terlintas pastilah berhubungan dengan ilmu hitam, kekuatan supranatural yang digunakan untuk hal-hal tidak baik, pakaian hitam, rambut gondrong, memakai ikat kepala kain batik, cincin batu akik, dan juga sepotong berita kriminal di media masa yang terkadang menjeratnya.

Persepsi seperti itu terbentuk akibat (salah satu-nya) penggiringan persepsi lewat film horor kita yang dilakukan secara terus menerus. Sehingga boleh dikatakan kata “dukun” itu saja sudah mengalami peyorasi yang sangat keji. Yang awalnya profesi berhubungan dengan pengobatan dan konsultan menjadi profesi berhubungan dengan penyembahan setan dan kriminalitas.

Sesajen untuk upacara besar di Keraton Solo
Sesajen, yang orang melihatnya saja sudah jijik karena dianggap makanan setan. Padahal kami di keraton masih menggunakan sesajen sebagai bagian penting dalam upacara-upacara adat dan tetap mempertahankannya karena merupakan simbol-simbol doa dan harapan.

Ada lagi, legenda Kanjeng Ratu Kidul alias Ratu Pantai Selatan yang difitnah secara keji oleh film-film horror kita, padahal dalam pandangan orang jawa di masa lalu Kanjeng Ratu Kidul adalah tokoh legenda baik hati yang merupakan leluhur para raja Jawa. Belum lagi keris, bunga tujuh rupa, hari jumat kliwon, malam satu suro, bakar dupa yang semuanya dijatuhkan maknanya oleh film-film horror kita.

Maka jangan banyak berharap generasi muda kita mau belajar tembang mocopat jika terpatri dalam benak mereka tembang macapat adalah nyanyian pemanggil kuntilanak.
Dewa Poseidon dan Setan

Hermit (orang bijak) dan penyihir
Jika kamu pernah membaca novel The Da Vinci Code -nya Dan Brown. Disana pernah membahas mengenai defamation atau penghancuran reputasi simbol-simbol budaya masyarakat Eropa asli oleh oknum-oknum di masa lalu secara sistematis dan massif. Seperti misalnya di masa kuno topi kerucut adalah simbol para cendikiawan, tapi kemudian dijatuhkan sebagai topi yang biasa dipakai para penyihir jahat. Contoh lain adalah trisula yang menjadi senjata dewa Poseidon yang bijaksana, pada perkembangannya turun menjadi senjata pegangan setan. Bintang lima yang di masa lalu merupakan symbol pencerahan spiritual, difitnah menjadi simbol ritual pemujaan setan.