Minggu, 29 September 2019

Kamu Tidak Harus Memuaskan Semua Orang

Tepat satu tahun yang lalu saya menulis mengenai mengapa tidak harus menjadi "Be Yourself" melainkan "Be the Best Version of You", menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri. link di sini Be Yourself ! (Be Careful). Entah kenapa satu tahun kemudian saya mendapatkan "sasmito" untuk menulis kembali kelanjutan dari link tersebut, tapi dari sebuah sudut pandang yang berbeda.

Dalam perjalanan menjadi manusia yang lebih baik, kita tidaklah boleh berhenti belajar dan menerima masukan dari siapapun. Bagi seorang spiritualis, hal-hal kecil yang terlihat di jalanan saja bisa disadari sebagai sebuah "petunjuk" tergantung seberapa peka kita bisa menerima itu sebagai sebuah hikmah/petunjuk/lessons/sasmito dari semesta kepada kita. Bahkan apa yang dikatakan seseorang tak dikenal di depan kantor sekalipun bisa menjadi sebuah masukan untuk kita menjadi lebih baik.

Namun demikian, dalam perjalanan menjadi manusia yang baik itu tadi seringkali kita tersesat dalam sebuah pemikiran bahwa manusia yang baik adalah manusia yang disenangi oleh semua orang. Sehingga dalam melakukan tindakan kita menjadi sangat hati-hati dan berusaha untuk menyenangkan semua orang. Kita berusaha membuat orang tua kita senang, kakak kita senang, adik kita senang, paman kita senang, bibi kita senang, pacar kita senang (kalau punya), teman kantor senang, atasan kita senang, atasan kita di atasnya atasan kita senang, tetangga sebelah kanan senang, tetangga sebelah kiri senang, pak RT senang, satpam kompleks senang. Pokoknya semua orang yang kenal dengan kita harus senang kepada kita.

Disinilah arah orientasi menjadi manusia yang lebih baik menjadi berubah, kita move on tidak berusaha memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik, melainkan kita move on untuk berusaha menyenangkan orang lain (semua orang). Tapi memang sah-sah saja jika itu pilihan hidup yang kamu ambil, tapi ada alasan bahwa apa yang kamu kerjakan untuk bisa menyenangkan semua orang mungkin akan sia-sia.

Tidak semua orang punya pikiran yang sama
Kamu harus ingat bahwa setiap orang punya pikiran dan pandangan yang berbeda dalam menyikapi hidup, tergantung dari seberapa luas wawasan dan seberapa banyak pengalaman hidup. Ayahmu menginginkanmu menjadi tentara, ibumu menginginkanmu menjadi dokter, kakakmu menginginkanmu menjadi atlet, pamanmu menginginkanmu menjadi pengusaha dan lain lain. Jika kamu ingin menyenangkan hati semua orang, kamu akan menjadi dokter tentara yang berprestasi dalam bidang olahraga yang juga sukses sebagai pengusaha. Tapi tentu saja itu butuh perjuangan, dan itu baru hati 4 orang yang kamu senangkan, belum yang lain.

2.     Standart kepuasan hidup setiap orang berbeda
Mungkin kamu sudah merasa cukup dengan memiliki rumah sederhana tanpa harus kontrak rumah atau kos, tapi ada juga orang yang baru merasa cukup jika memiliki rumah yang luas, berlantai 3, dan ada juga yang baru merasa cukup jika tinggal di kastil dan bernyanyi dari balkon kastilnya setiap pagi. Begitu juga jika kamu mau menuruti kepuasan mereka semua, maka perjuanganmu tidak akan ada habisnya.

3.      Semua orang bertanggung jawab atas hidupnya masing-masing
Tetanggamu sebelah kanan listriknya diputus karena tidak mampu bayar listrik, semenjak dia di-PHK. Tetangga sebelah kirimu terancam bercerai karena sering bertengkar mengenai orang ketiga. Teman kantormu harus naik angkot setiap hari karena kendaraannya dicuri orang. Setiap orang memiliki masalahnya masing-masing, dan setiap orang juga bertanggungjawab atas hidupnya masing-masing. Jika kamu ingin menyenangkan semua orang, tentunya kamu tidak akan membiarkan mereka semua dalam masalah. Tapi ingat, kamu bukan Superman, atau juga bukan Al Masih yang menjadi juru selamat atas penderitaan semua orang. Tuhan memberikan ujian kepada setiap individu yang tentu saja sudah diukur sesuai kemampuan masing-masing. So, jangan bebani hidupmu dengan permasalahan orang lain, jika kamu ingin membantu orang lain maka bantulah sesuai kemampuanmu.

4.     
Banyak orang yang senang melihat kamu jatuh
“Banyak” disini bersifat subjective, tergantung seberapa baik lingkunganmu berada. Jika kamu berada dilingkungan kompetitif, maka hukum rimba seolah berlaku disini, siapa yang kuat maka dia-lah yang akan bertahan hidup, maka jangan heran jika ada saja orang yang menginginkan kamu lemah dan jatuh. Kelemahanmu akan mereka jadikan pijakan untuk melebihimu.

5.      Banyak pendapat yang hanya sekedar pendapat
Mungkin tidak semua, tetapi banyak sekali di dunia ini orang yang memberi nasehat tapi tidak mengaplikasikan apa yang katakan untuk dirinya sendiri. Seseorang mengatakan “Kamu itu jangan moody, ada orang kok gampang emosi” tapi dia sendiri mengatakan itu dengan emosi dan nada tinggi. Banyak juga yang memberi masukan kepadamu tapi juga sekedar masukan saja, dia tidak terlalu peduli apakah kamu akan benar-benar mengerjakan masukan darinya atau tidak.

6.      Orang bisa membenci tanpa alasan
Aku nggak suka kamu karena kamu sok ‘yes’ !” atau bisa juga “aku nggak suka sama dia karena nggak suka aja” , “nggak sukanya kenapa?”, “ya pokoknya nggak suka aja
Well, jangan dikira orang seperti itu tidak ada, setidaknya ada satu diantara 10. Sekeras apapun kamu mencari simpati orang seperti ini, tetap saja akan ada yang kurang dari mu di mata-nya. Lain lagi ceritanya kalau ada orang bilang “aku nggak suka sama kamu karena mukamu ngeselin” So, there’s nothing you can do?

7.      Nabi saja punya musuh
Sedih mah kalo inget banyak nabi-nabi terdahulu yang baik-baik dan pasti masuk surga tapi dimusuhi oleh kaumnya sendiri. Nabi Muhammad SAW saja sampai berpindah ke Madinah karena terus akan dibunuh oleh penduduk kampung beliau sendiri di Mekkah. Bahkan Nabi Isa AS yang menyembuhkan orang sakit dan menghidupkan orang mati saja diperbolehkan untuk dibunuh oleh para alim ulama jaman itu (Yahudi). Apalagi kamu yang punya banyak keterbatasan, lupa nyuci gelasmu sendiri saja, sudah bisa bikin OB (office boy) kantor cemberut sama kamu.

Jika mau disebutkan lebih banyak, maka akan menjadi sebuah disertasi, tapi 7 alasan di atas sudah cukup untuk mewakili yang lain.

Ada banyak alasan mengapa kamu harus tetap focus memperbaiki diri, tapi tentu saja tidak termasuk supaya kamu disenangi semua orang. Semakin kamu berubah menjadi lebih baik, semakin mudah impian hidup kamu capai, dan semakin cepat kesialan hidup menghindarimu. Dan kabar baiknya efek dari perubahan hidupmu yang lebih baik, akan mendatangkan simpati orang di sekitar kepadamu. Setidaknya kamu tidak perlu memperhatikan satu orang yang membencimu jika kamu punya sembilan orang yang mencintaimu. Life is not that hard, isn’t it?

Surabaya, 30 September 2019
R. Shantika Wijayaningrat




Sumber Referensi

Amalia, Farizza Nour  (2018) Cara Mengubah Kebiasaan Buruk. Jakarta: Anak Hebat Indonesia
Edgerton, Franklin (1965The Panchatantra. Translated from the Sanskrit. London: George Allen and Unwin Ltd.
Koch, Richard. (2019). The 80 / 20 Principle. London: MIC 
Ranggawarsita, R.Ng. (1873) Serat Sabdajati. Karaton Surakarta Hadiningrat: Sasana Pustaka
Suseno, Franz Magnis. (1984) Etika Jawa: Sebuah analisis falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa, Jakarta: PT Gramedia

Sabtu, 31 Agustus 2019

Kenapa Kamu Sering Sial?


Beberapa waktu yang lalu saya menerima kunjungan teman lama, rasanya sudah lama sekali saya tidak bertemu dengannya, mungkin tiga tahunan. Kami mengobrol banyak sekali, hingga saya menanyakan bagaimana pekerjaannya, ekspresinya agak berubah seolah tidak ingin mendengar pertanyaan itu dari saya. Sayapun sebetulnya juga tidak keberatan jika pertanyaan saya tidak dijawab, tapi kemudian teman saya ini mulai menceritakan usahanya yang diambang pailit, hutang membengkak, dan keluarganya pun mulai renggang akibat tidak kuat dengan keadaan. Cerita semakin sedih ketika dia mengingat masa lalunya yang juga penuh ujian. Di akhir cerita dia mengatakan bahwa mungkin nasibnya ditakdirkan buruk, dipenuhi dengan ujian. Dia mengatakan sering dapat musibah, dijatuhkan oleh saingan dan berbagai cerita kesialan nasibnya. Bahkan dia menanyakan kepada saya apakah ada cara untuk mengusir nasib buruk yang selalu menimpanya.

Meskipun saya orang Jawa, tapi saya tidak mungkin langsung mengatakan bahwa mungkin dia orang yang sukerta atau orang kotor yang hidupnya ditakdirkan penuh ujian. Dan cara mengatasi nasib sial yang tiada henti adalah dengan cara di-ruwat yaitu serangkaian upacara untuk melepaskan diri dari cengkeraman Bathara Kala  atau kesialan.

Pada dasarnya kesialan dan keberuntungan adalah sesuatu yang subjective menurut sudut pandang. Ketika adik saya mengalami kecelakaan parah hingga koma dan operasi tempurung kepala yang menghabiskan biaya bukan main-main, nenek saya mengatakan "alhamdulilah isih diwenehi selamet, duwit iso digoleki, nyawa ora ono sing dodol" yang artinya "alhamdulillah masih diberi keselamatan, uang bisa dicari, tapi nyawa tidak ada yang jual". Sebuah pemikiran orang jawa ketika musibah terjadi, maka yang dilihat adalah sisi terbaik dari musibah itu. Maka tidak asing bagi orang jawa ketika diberi kesialan maka responnya mungkin "untung ora...." atau "slamete isih.... "

Kembali lagi mengenai bad luck, seringkali kita melihat itu semua sebagai ujian tanpa alasan dari Tuhan, ya mungkin juga bisa jadi tanpa alas an, kan suka-suka Tuhan, Dia Yang Maha Kuasa – kamu hanya sekedar makhluk yang menjalankan. Tapi saya meyakini bahwa Tuhan tidak bermain dadu, tidak menciptakan segala sesuatu secara acak. Selalu ada maksud dari segala sesuatu yang terjadi yang kadang baru kita sadari setelah hal tersebut terjadi, mungkin baru disadari besoknya, atau bulan depan, atau tahun depan, atau bertahun-tahun kemudian, atau bahkan tidak pernah kita sadari karena kita tidak mampu membaca hikmah dibalik semua kejadian.

Selasa, 30 Juli 2019

Hidup Ini Ternyata Tidak Adil

"Dia mah dari lahir udah kaya, mau bikin usaha apa aja ada modalnya. Makin lama makin kaya. Kalo kita cuma punya ide, mau dijalanin gak ada modalnya. Ya gini hidup, harus banting tulang"

"Dia kan anak orang kaya, bisa kuliah, lulus gampang cari kerja yang gajinya gede. Kita boro2 kuliah, bisa SMA aja udah untung, gaji pas-pasan udah alhamdulillah"

"Dia kan cantik dari lahir mbak, mana anak orang kaya lagi, bisa perawatan mahal. Jelas kinclong lah, jodohnya merapat dari segala penjuru"

Rasanya keluh kesah semacam di atas bukan hal asing bagi kita. Ada saja di sekitar kita yang mengeluhkan sesuatu yang tidak bisa diubah. Jika memang kita lahir dari keluarga tidak mampu, apakah masih mungkin kita minta Tuhan me-reset ulang kita lahir dari keluarga kaya. Atau jika kita lahir dengan wajah atau penampilan yang tidak terlalu good looking, apakah kita bisa minta Tuhan melahirkan kita dengan wajah bule Perancis, sementara kedua orang tua kita berwajah njawani, yang ada malah kamu dikira anak hasil selingkuhan.

Saya memiliki seorang teman yang sering sekali mengeluh bahwa hidup ini tidak adil. Dia mengeluhkan orang tuanya yang miskin dan bercerai, sehingga kini hidupnya juga ikut miskin. Sementara bosnya yang lahir dari keluarga kaya, semakin kaya karena usahanya pesat dengan modal yang besar. Berkali-kali dia mengatakan bahwa dunia ini benar-benar tidak adil, tapi ketika saya tanyakan "terus yang adil bagaimana?" dia juga bingung harus menjawab.

Minggu, 30 Juni 2019

Social Climber, Are You?

Mungkin masih segar di ingatan kita, kasus First Travel yang begitu menggemparkan masyarakat tanah air, dengan nilai kerugian mencapai ratusan milyar rupiah. Bahkan hampir setara dengan APBD sebuah kabupaten. Gila memang, ribuan konsumen harus kehilangan uang hasil jerih payahnya yang diniatkan untuk beribadah ke tanah suci, mengunjungi Rumah Allah. Kemana uang sebanyak itu lari? Tidak bisa dipastikan kemana saja dana ratusan milyar itu menguap begitu saja, hasil investigasi kepolisian juga menemukan banyak kejanggalan dalam pembukuan dan nilai dari berbagai aset yang dimiliki. Asumsi sementara, uang ratusan milyar tersebut habis dipakai untuk kepentingan konsumtif. 

Minggu, 21 April 2019

Orang Jawa: Agama Sekedar Pakaian


Mungkin bagi yang memiliki pandangan keagamaan yang super religius cenderung fanatik sempit, membaca judul “Agama Sekedar Pakaian” sudah cukup untuk membuat tensi darah naik. Tapi bagi yang memiliki pemikiran terbuka, judul di atas hanya cukup untuk membuat alis berkerut beberapa detik. Tapi memang agama adalah pakaian merupakan baris terakhir tembang pangkur dari Serat Wedhatama karya Mangkunagara IV (1809 - 1881) yang bait lengkapnya adalah

Mingkar mingkuring angkara
Mangkarana karenan mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinuba sinukarta
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhur
Kang tumrap ing tanah jawa
Agama ageming aji
             (Serat Wedhatama – Sri Paduka Mangkunegara IV)

Mengapa Mangkunagara IV menyebut agama adalah pakaian? Tentu saja berasal dari sudut pandang masyarakat jawa mengenai agama itu sendiri. Jika dalam bahasa Indonesia predikat untuk objek agama adalah “memeluk” contohnya memeluk agama islam, para pemeluk agama kristen, dll. Dalam bahasa Jawa predikat untuk objek agama adalah “ngrasuk” yang berarti memakai pakaian, contohnya ngrasuk agami islam, jaman dereng ngrasuk agami. dll. Kata kerja ngrasuk ini merupakan predikat yang juga selalu mendahului objek busana, contohnya ngrasuk busana kaprabon, boten mbekta rasukan, dereng gantos rasukan dll, rasukan berarti pakaian.

Cukup menarik memang mengenai pandangan masyarakat jawa perihal agama ini. Agama adalah pakaian, lalu bisa diganti dong? Ya bisa. Dalam sejarah jawa, masyarakat jawa telah berganti-ganti agama selama ribuan tahun. Sebelum agama-agama impor datang, masyarakat jawa sudah memiliki agamanya sendiri, mengenai pandangannya terhadap siapa itu Sang Pencipta? Siapa itu yang Mengabulkan Doa? Bagaimana cara menyembah Sang Pengabul Doa itu? Bagaimana mencari hari baik untuk berdoa, bekerja, berpesta maupun berpuasa? Bagaimana watak orang yang lahir di hari kamis kliwon? Mengapa hari samparwangke tidak boleh dipakai untuk berpesta? Dan lain sebagainya. Masyarakat jawa sudah memiliki semua itu.

Kemudian datanglah agama dari luar negeri yang pertama yaitu Hindu dan Buddha. Nampaknya tidak terlalu sulit bagi para brahmana dan biksu dari India untuk mensyiarkan agamanya kepada orang jawa. Hal ini terbukti dengan prasasti-prasasti terbitan abad IV dan V yang dikeluarkan oleh raja-raja yang sudah beragama Hindu maupun Buddha. Logikanya, kalau memang sulit mengubah masyarakat jawa untuk memeluk agama Hindu – Buddha, pastinya raja yang memiliki gengsi tinggi tidak akan memeluk agama yang dibawa orang asing, tentu raja akan mempertahankan agama leluhurnya demi tetap dihormati rakyat.

Yang unik disini adalah para pemeluk agama Hindu dan Buddha di Jawa hidup rukun berdampingan, mereka beribadah di candi-nya masing-masing yang kadang bersebelahan, dan memiliki menteri agamanya masing-masing yang menjadi penasihat raja. Kontras sekali dengan para pemeluk agama Hindu dan Buddha di negeri asalnya India, abad II SM – V Masehi adalah masa-masa persaingan dan saling memerangi antara umat Hindu dan Buddha di India yang berakibat agama Buddha tersingkir dari India, dan para biksu menyebarkan agamanya di luar India termasuk ke Asia Tengah, Asia Tenggara dan Asia Timur. Sementara di Jawa, Hindu dan Buddha rukun-rukun saja. Bahkan di era Kerajaan Singhasari & Majapahit (abad XII-XV) terjadi sinkretisme agama Hindu dan Buddha, dimana satu orang bisa beribadah dalam dua agama, ketika meninggal juga bisa di makamkan dengan cara dua agama. Tentu ini tidak ada duanya di belahan dunia manapun.

1.200 tahun memeluk agama Hindu – Buddha, masyarakat jawa mulai kedatangan agama baru yang dibawa oleh para ulama dari Yaman Selatan yang nyambi berdagang. Berbeda dengan agama Hindu – Buddha yang langsung menargetkan raja dan bangsawan sebagai pemeluk, agama Islam menargetkan masyarakat kelas bawah terlebih dahulu, terutama di pesisir yang jauh dari pusat pemerintahan. Menyebarkan agama baru inipun juga sepertinya tidak terlalu sulit, cukup menarik perhatian masyarakat dengan apa yang mereka sukai, seni musik misalnya (gamelan) atau seni pertunjukan (wayang). Tapi karena syariat Islam ini cukup jauh berbeda dengan tatacara ibadah Hindu – Buddha, maka para juru dakwah (para wali) tidak langsung secara frontal mengganti upacara-upacara yang sudah ada. Para wali secara halus hanya mengganti esensinya saja, mau bikin sesajen terserah, mau bikin slametan terserah, yang penting ketika selamatannya didoakan, doanya harus kepada Allah, bukan lagi kepada dewa-dewi. Dan orang jawa secara perlahan mulai mengganti sebutan Sang Hyang Widhi dengan sebutan Gusti Allah, meskipun mereka sadar antara Sang Hyang Widhi dengan Gusti Allah merujuk kepada satu subjek yang sama, yaitu Subjek Yang Menciptakan Alam Semesta atau Subjek Yang Dituju ketika memanjatkan doa.

Bersamaan dengan kolonialisme, para missionaris dan zending dari Eropa mulai menyebarkan agama nasrani kepada masyarakat jawa. Syiar agama nasrani ini lebih sistematis, strategi yang digunakan berbeda antara masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah, meskipun tujuannya sama, yaitu menyatukan mereka dalam satu gereja. Dan sekali lagi, orang jawa yang sudah kenal dengan Gusti Allah, dengan mudah menerima agama nasrani, toh sama-sama menyembah Gusti Allah.

Kembali lagi ke Agama Hanyalah Pakaian, melihat sejarah agamanya orang jawa yang mudah berganti-ganti, bukanlah berarti orang jawa adalah masyarakat bodoh yang mudah dipengaruhi. Orang Jawa memandang agama sebagai cara untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, satu agama adalah satu cara, sedangkan agama yang lain adalah cara yang lain. Tujuannya sama, yaitu sama-sama menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, manunggaling kawula lan Gusti.

Jika agama adalah pakaian, lantas badan ini adalah apa? Badan ya tetap sebagai orang jawa, dengan falsafah hidup, etika, nilai dan norma Jawa. Karena itu falsafah hidup, etika, nilai, norma Jawa tetap bertahan selama ribuan tahun melewati agama Hindu – Buddha, Islam dan Kristen, karena semua itu bagian dari badan yang tetap ada meskipun pakaiannya berganti-ganti, entah memakai baju merah, kuning, hijau atau biru. Orang jawa tetap orang jawa meskipun beragama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, Konghuchu dll.

Namun demikian sesuai dengan yang dikatakan oleh Mangkunegara IV bahwa agama ageming aji (agama adalah pakaian kemuliaan). Ngrasuk agama berarti menerima sebuah konsekuensi yang harus ditaati dan dijalankan (mikul duwur mendhem jero). Jika orang jawa sudah menyatakan diri ngrasuk agama Islam, maka konsekuensinya ya menjalankan syariat agama Islam, mematuhi nabi, sudah tidak boleh lagi makan daging babi, tidak minum minuman ber-alkohol, salat di masjid, berpuasa di bulan ramadhan dll. Demikian juga yang ngrasuk agama kristen, maka konsekuensinya ya menjalankan syariat agama Kristen, beribadah ke gereja, dibaptis dll. Begitu juga jika orang jawa ngrasuk agama-agama yang lain.

Jika ada seseorang berbaju agama tapi munafik, melakukan perbuatan tercela, mencuri, berzinah, membunuh, memfitnah, korupsi, merusak lingkungan, memprovokasi dan lain-lain. Maka bisa dipastikan orang tersebut telah merusak agama yang dipakainya. Karena itu seseorang yang telah ngrasuk agama harus sadar sepenuhnya untuk menjaga kebersihan pikiran, ucapan dan perbuatan.

Seperti sebelum memakai baju bagus, kita harus memastikan badan kita bersih. Karena percuma memakai baju bagus tapi badan kotor dan bau, yang ada malah kita mengotori baju yang bagus. Sama seperti jika ada orang yang beragama tapi jahat, maka jangan salahkan agamanya, orang itu hanya tidak siap untuk beragama.


Surabaya, 20 April 2019
R. Shantika Wijayaningrat.

Sumber Referensi
Mangkunegara IV. 1881. Serat Wedhatama. Surakarta: Pura Mangkunegaran
Paku Buwono V. 1814. Serat Centhini. Surakarta: Karaton Surakarta Hadiningrat
Sunan Bonang. 1607. Suluk Wujil. Surakarta: Karaton Surakarta Hadiningrat
Suseno, Franz Magnis. 2013. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Lombart, Denys. 2018. Nusa Jawa Silang Budaya 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Senin, 25 Maret 2019

Hidup Itu Bukan Tentang Satu Hal


Beberapa waktu lalu saya melayat seorang senior sepuh di sebuah organisasi yang meninggal karena komplikasi diabetes dan hypertensi. Sedih rasanya mengingat beliau adalah orang yang semangat kerjanya patut dicontoh semasa hidup, tapi lega juga mengingat beliau sekarang sudah tak merasakan sakit lagi. Hanya doa yang bisa disampaikan semoga amal ibadah beliau diterima di sisi-Nya.


Semasa hidup almarhum merupakan seseorang yang sangat keras dalam bekerja, beliau membangun perusahaan furniture mulai dari nol hingga bisa ekspor. Tapi sayang ketika usaha beliau sudah berkembang pesat, kesehatan beliau malah menurun akibat pola kerja yang tidak mengenal waktu, pola makan yang kacau, istirahat kurang, dan sedikit aktivitas fisik. Akibatnya di usia hampir 60 beliau terindikasi penyakit jantung dan hypertensi. Kondisi semakin menyedihkan mengingat anak-anak beliau yang tinggal jauh dan terlalu sibuk dengan bisnisnya masing-masing untuk sekedar melihat kabar ayahnya, bahkan ketika beliau terserang stroke sekalipun. Memang diakui beliau, sejak anak-anaknya masih kecil jarang berkomunikasi dengan karena kesibukan kerja, pulang larut anak-anak sudah tidur.


Ketika beliau meninggalpun tak banyak orang yang melayat, meskipun berbagai karangan bunga dari rekan-rekan bisnis berjajar di pagar rumah hingga pagar rumah tetangga. Sepertinya para tetangga juga tidak terlalu dekat dengan almarhum. Seperti ada satu hal yang kurang dibalik kesuksesan almarhum.


________________________


Paul J. Meyer seorang triliuner yang menulis 24 Keys That Bring Complete Success mengatakan dalam bukunya bahwa kesuksesan hidup itu haruslah diusahakan dalam segala aspek kehidupan. Dia membagi kehidupan mencakup 6 aspek. Apa itu?


1. Keluarga (Family & Home)

2. Keuangan & Pekerjaan (Financial & Carrier)

3. Kesehatan (Physical & Health)

4. Keagamaan & Spiritualitas (Spiritual & Ethical)

5. Sikap Mental & Pengembangan Diri (Mental & Educational)

6. Kehidupan Sosial (Social & Cultural)


Keenam aspek itu tadi haruslah berjalan beriringan dan saling melengkapi. Keenamnya diibaratkan sebagai jari-jari roda, yang mana jika salah satu diantara enam aspek tersebut kurang maka akan terjadi ketimpangan yang berakibat roda tidak berjalan dengan mulus. Jika semua jari-jari itu kecil, maka perjalanan hidup akan sangat lambat, bahkan tidak sampai tujuan.



Kamu sukses dalam pekerjaan, secara financial berkecukupan tapi apa gunanya jika kamu tidak sehat, karena terlalu sibuk hingga tidak sempat berolahraga. Makan makanan semahal apapun terasa tidak enak, dan lama-lama harta yang kamu kumpulkan selama ini malah habis terpakai untuk biaya berobat.


Kamu seseorang yang sangat religius, segala macam ibadah yang diperintahkan agamamu kamu kerjakan. Tapi kamu tidak baik dengan tetanggamu, kamu tidak mau menyapa ataupun mengobrol dengan tetangga karena keagamaan mereka tidak sebaik keagamaanmu, bahkan datang melayat tetangga yang meninggal saja kamu tidak mau. Tentu saja tetanggamu tidak akan peduli kepadamu jika sewaktu-waktu kamu mendapat musibah atau ujian.


Kamu seseorang yang cerdas, berpendidikan tinggi, tapi kamu merasa terlalu gengsi untuk bekerja kepada orang lain, tapi kamu juga terlalu malas untuk memulai usahamu sendiri. Bekerja hanya akan membuat kamu kehilangan waktu bebasmu dan merendahkan martabat keilmuan-mu. Dan apa yang terjadi kemudian, kamu tidak punya penghasilan, hidupmu tidak berkembang dan ilmu yang kamu miliki kemudian tidak bermanfaat.

___________________________________


Mungkin dalam hidup, kita memiliki prioritas masing-masing, memiliki mimpi masing-masing dan cara masing-masing untuk meraihnya. Tapi kita juga harus ingat bahwa kita tidaklah hidup sendiri, kita punya keluarga untuk pulang, kita punya tetangga untuk hidup berdampingan, kita punya kehidupan social untuk berbagi dan berkembang dan kita punya kehidupan spiritual sebagai sarana control atas diri kita sendiri di dunia yang fana dan tak menentu.


Enam aspek dalam kehidupan yang di paparkan oleh Paul J. Meyer di atas sangatlah baik dipakai sebagai sarana mengevaluasi diri atas kehidupan yang kita jalani. Setidaknya jika setiap akhir tahun kehidupan kita dievaluasi dengan cara di atas, maka di tahun berikutnya kita tahu bagian mana dalam hidup ini yang perlu diperbaiki.


Sri Paduka Mangkunagara IV
Jauh sebelum Paul J. Meyer membagi kehidupan dalam 6 bagian, Sri Paduka Mangkunagara IV yang bertahta di Surakarta tahun 1853 – 1881 dalam Serat Wedhatama membagi kehidupan ini ke dalam tiga bagian yaitu Wirya (versi lain Daya)Arta dan Wasis. Pembagian Mangkunagara IV nampak lebih sederhana, namun demikian sebetulnya pembagian ini lebih mendalam.


Wirya atau Daya bermakna kekuatan, kekuatan fisik (kesehatan) maupun kekuatan social (power). Kesehatan menjadi bagian yang paling mendasar dalam kehidupan, karena itu upaya memelihara kesehatan haruslah ditempatkan di nomor satu. Sedangkan kekuatan sosial (power) bagian yang juga tidak boleh dilewatkan, kemampuan kita menyatu dengan lingkungan sosial akan mempengaruhi kenyamanan dan keamanan kita dalam menjalani kehidupan, secara lebih khusus keluarga.


Arta berarti uang, namun demikian yang dimaksud arta disini sebetulnya adalah finansial dan karier. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sekuat apapun kita berusaha menjauhi sikap materialistic, kita tetap membutuhkan keamanan finansial untuk menjalani hidup dan bermanfaat bagi keluarga. Toh kalau kita tidak memiliki uang, kita malah menjadi beban bagi keluarga maupun lingkungan kita.


Yang terakhir Wasis berarti cerdas, seseorang haruslah selalu berusaha meng-update ilmu dan mengembangkan diri secara mental dan spiritual termasuk di dalamnya agama. Karena di zaman yang terus berkembang, bisa jadi ilmu yang kita dapatkan beberapa tahun yang lalu sudah ketinggalan zaman, karena itu di zaman sekarang tidak ada jeda bagi kita untuk berhenti belajar.


"Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip,

uripe tan tri prakara,  wirya, arta, tri winasis,

kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma,

aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara."


Celakalah bagi yang tidak berusaha mengerti akan landasan hidup.

Ada tiga hal dalam hidup. Kekuatan, finansial, ketiga ilmu.

Bila tak satu pun dapat diraih dari ketiga hal itu, maka habis lah harga diri.

Tidak lebih berharga dari daun jati kering, akhirnya mendapat derita, 
menyusahkan dan tak tahu arah.

- Serat Wedhatama -

Surabaya, 25 Maret 2019
R. Shantika Wijayaningrat


Sumber Referensi

Dipokusumo, KGPH Adipati. (2017). Sakti di era Globalisasi. Surakarta
Dipokusumo, R. Ay. Febri. Wheel of Life of FHD Motivation. Surakarta
Mangkunagara IV. Serat Wedhatama. Surakarta
Meyer, Paul J. ISBN 0882701088




Kamis, 28 Februari 2019

Kuliah Seribu SKS Ala Mbok Jum



             “Mbok aku wis, piro?” (mbok saya sudah, berapa?)

Lahlah, kowe arep mbayar iki opo nduwe duwit?” (halah, kamu mau bayar memangnya punya uang?)

Yo sing penting diitung sek mbok” (Ya yang penting dihitung dulu mbok)

Itulah salah satu percakapan yang saya ingat antara seorang mahasiswa dengan ibu kantin di kampus 11 tahun yang lalu, bukan saya mahasiswa itu, kebetulan saya duduk persis di depan si ibu kantin, jadi saya bisa mendengar dengan jelas percakapan antara mbok Jum si ibu kantin dengan para mahasiswa yang jadi pelangganya.


Mungkin sebelumnya nama Mbok Jum tidaklah banyak dikenal oleh orang luar UNS, tapi berita kematiannya beberapa waktu yang lalu menjadi berita duka yang disorot oleh banyak media online dalam negeri. Cukup unik memang mengingat mbok Jum bukanlah seorang Walikota atau pejabat yang memiliki satyalencana atau bintang jasa yang banyak, tapi kematiannya cukup untuk menjadi pemberitaan dan ucapan bela sungkawapun mengalir di media sosial.


Mbok Jum hanyalah seorang ibu kantin yang sederhana, kantinnya pun bukan kantin yang spektakuler dengan berbagai menu mewah seperti lobster, shark fin atau medalion steak. Hanya ada pecel, nasi gudeg, sayur lodeh dan berbagai gorengan. Kantinnya pun hanya bangunan semi permanen dengan atap asbes. Tapi karena berada di lingkungan Fakultas Sastra dan Seni Rupa (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) kantin ini jadi terlihat agak eksentrik dengan berbagai lukisan dan grafity hasil karya mahasiswa seni rupa yang membutuhkan tempat berekspresi.


Lantas apa yang membuat kantin mbok Jum begitu termasyur diantara puluhan kantin yang tersebar di UNS? Harganya paling murah? masakannya paling enak? Tempatnya paling unik? Pelayanannya paling bagus?


Kalau harga mungkin memang paling murah diantara yang lain, nasi pecel dengan es teh gorengan 2 saja waktu itu cuma Rp. 5.000,- (tahun 2007). Kalau paling enak, relatif sih tergantung selera. Tempat dan pelayanan juga relatif (subjective). Tapi ada satu hal yang mungkin tidak didapat di tempat lain, makan disini boleh ngutang (tentunya jika benar-benar nggak punya uang). Tentu saja itu menjadi daya tarik bagi mahasiswa UNS yang didominasi anak-anak kos-kosan dari luar kota Solo.

Karena itu setiap tanggal tua, jam makan siang. Kantin mbok Jum dipadati mahasiswa dari semua fakultas yang sedang missqueen untuk makan siang murah atau malah makan siang bayar bulan depan. Beda dengan tanggal muda dimana mahasiswa masih bisa berfoya-foya makan di restoran-restoran depan kampus yang mahal, kantin mbok Jum tidak sepadat di tanggal tua. Mbok Jum seperti juru selamat-nya mahasiswa di tanggal tua.

Meskipun kantin-kantin lain sudah menaikan harga makanan karena harga-harga kebutuhan pokok yang naik, mbok Jum tetap keukeuh bertahan dengan harga biasanya dengan alasan dikasih harga murah saja mahasiswa masih banyak yang ngutang, apalagi dikasih harga mahal. Lagian mbok Jum juga suka kasihan dengan mahasiswa yang tidak bisa makan karena tidak punya uang. (detik.com 10/7/2018)


Tapi kemurah hatian mbok Jum kemudian banyak dimanfaatkan oleh mahasiswa nakal ketika membayar tidak menyebutkan semua yang sudah dimakan. Ada yang mengambil gorengan 5 tapi bilang cuma ambil 2, ambil kerupuk atau pisang tapi tidak disebut. Kalau yang melakukan satu atau dua orang mungkin simbok tidak terpengaruh, tapi kalau yang melakukannya banyak, simbok bisa rugi. Bukannya mbok Jum tidak tahu, tapi mbok Jum memilih membiarkan saja, ikhlas. Inilah yang membuat kantin Mbok Jum melegenda, sejak berdiri 40 tahun yang lalu, kantin mbok Jum menjadi tongkrongan mahasiswa UNS yang sekarang sudah menjadi orang-orang besar, pengusaha sukses, pejabat, bupati bahkan menteri.


Pernah ada seseorang yang datang ke kantinnya lalu memberi uang jutaan rupiah, orang tersebut mengatakan bahwa itu untuk membayar utangnya puluhan tahun yang lalu ketika masih menjadi mahasiswa perantauan.


Kini simbok sudah tidak ada, tapi jasanya akan tetap dikenang ribuan orang yang pernah merasakan lezatnya masakannya dan merasakan kebaikan hatinya. Mungkin dia hanyalah seorang ibu kantin biasa yang sederhana, tapi ketika dia tiada, banyak orang merasa kehilangan, banyak bela sungkawa yang terucap, banyak media yang memberitakan dan banyak doa yang mengalir.  Ketulusannya akan menjadi inspirasi bagi semua orang, bukan cuma civitas akademika UNS saja. Mungkin itulah kuliah 1.000 SKS yang diampu oleh mbok Jum, mata kuliah ketulusan. Bahwa kebaikan-kebaikan kecil adalah awal bagi kita untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang lebih besar. 




Selamat jalan mbok

Pinanggih malih mangke ing kalanggengan






Surabaya 15 Maret 2019

R. Shantika Wijaya






Sumber Referensi
















Rabu, 30 Januari 2019

Budaya Jawa, Komoditas Film Horor Indonesia


Bunga kantil dan melati, sesajen dari berbagai makanan dan ayam hidup, tembang macapat yang dimodifikasi, pohon beringin besar, mantra kuno dalam bahasa jawa, keris, jumat kliwon, satu suro dan masih banyak hal-hal lain yang sering kita temui sebagai elemen utama film-film horor Indonesia.

Sejak boomingnya film horor Indonesia di tahun 1970an, elemen-elemen kehororan yang sering dimunculkan adalah elemen klenik dan mistik. dan lebih khusus lagi, klenik dan mistik yang bersumber pada budaya Jawa. Sejak tahun 1970an sampai sekarang sudah berapa banyak film horor Indonesia yang mengekploitasi budaya jawa sebagai komoditas horor. Film malam satu suro, ratu pantai selatan, ratu pengasihan hingga yang terbaru lingsir wengi hampir semuanya mengadopsi budaya jawa sebagai elemen utama ke-horor-an mereka.
Penggunaan budaya jawa dalam film horor secara terus menerus telah menggiring persepsi masyarakat mengenai budaya mereka sendiri. 

Sebut saja dukun, pada masa dokter belum banyak dan menjamah masyarakat terpencil di pedesaan, dukun adalah harapan bagi mereka yang sakit dan memiliki permasalahan. Seorang dukun bukanlah seperti yang digambarkan oleh film-film horor saat ini yang identik dengan pakaian serba hitam, rambut gondrong, suara berat dan berbagai macam cincin akik yang melekat di jari-jarinya. Dukun real di masa lalu adalah seseorang dekat dan sangat dihormati masyarakat, dihormati karena kebijaksanaanya membantu permasalahan orang lain dan juga pemahaman terhadap obat-obatan tradisional yang bisa membantu menyembuhkan orang yang sakit. Penampilannya pun tak jauh berbeda dengan trend mode masyarakat kebanyakan di masa itu.

Dukun sebagai pemuka agama suku tengger

Tapi kini ketika kita mendengar kata dukun, maka yang terlintas pastilah berhubungan dengan ilmu hitam, kekuatan supranatural yang digunakan untuk hal-hal tidak baik, pakaian hitam, rambut gondrong, memakai ikat kepala kain batik, cincin batu akik, dan juga sepotong berita kriminal di media masa yang terkadang menjeratnya.

Persepsi seperti itu terbentuk akibat (salah satu-nya) penggiringan persepsi lewat film horor kita yang dilakukan secara terus menerus. Sehingga boleh dikatakan kata “dukun” itu saja sudah mengalami peyorasi yang sangat keji. Yang awalnya profesi berhubungan dengan pengobatan dan konsultan menjadi profesi berhubungan dengan penyembahan setan dan kriminalitas.

Sesajen untuk upacara besar di Keraton Solo
Sesajen, yang orang melihatnya saja sudah jijik karena dianggap makanan setan. Padahal kami di keraton masih menggunakan sesajen sebagai bagian penting dalam upacara-upacara adat dan tetap mempertahankannya karena merupakan simbol-simbol doa dan harapan.

Ada lagi, legenda Kanjeng Ratu Kidul alias Ratu Pantai Selatan yang difitnah secara keji oleh film-film horror kita, padahal dalam pandangan orang jawa di masa lalu Kanjeng Ratu Kidul adalah tokoh legenda baik hati yang merupakan leluhur para raja Jawa. Belum lagi keris, bunga tujuh rupa, hari jumat kliwon, malam satu suro, bakar dupa yang semuanya dijatuhkan maknanya oleh film-film horror kita.

Maka jangan banyak berharap generasi muda kita mau belajar tembang mocopat jika terpatri dalam benak mereka tembang macapat adalah nyanyian pemanggil kuntilanak.
Dewa Poseidon dan Setan

Hermit (orang bijak) dan penyihir
Jika kamu pernah membaca novel The Da Vinci Code -nya Dan Brown. Disana pernah membahas mengenai defamation atau penghancuran reputasi simbol-simbol budaya masyarakat Eropa asli oleh oknum-oknum di masa lalu secara sistematis dan massif. Seperti misalnya di masa kuno topi kerucut adalah simbol para cendikiawan, tapi kemudian dijatuhkan sebagai topi yang biasa dipakai para penyihir jahat. Contoh lain adalah trisula yang menjadi senjata dewa Poseidon yang bijaksana, pada perkembangannya turun menjadi senjata pegangan setan. Bintang lima yang di masa lalu merupakan symbol pencerahan spiritual, difitnah menjadi simbol ritual pemujaan setan.