Sabtu, 21 Maret 2020

Coklat Dari Yerusalem


Senin pagi kemarin saya bangun dalam keadaan capek, mood jelek dan mager, saya butuh setengah jam untuk mengumpulkan motivasi untuk mandi dan sarapan. Tidak biasanya memang Senin pagi nggak mood seperti ini, mungkin tensi sedang tinggi mengingat beberapa hari sebelumnya tensi saya sempat mencapai 139/86, cukup tinggi untuk orang seusia saya. Di tas seharusnya ada persediaan coklat dairy milk kecil-kecil untuk memperbaiki mood, tapi ternyata coklat terakhir sudah saya makan dua minggu sebelumnya dan lupa belum men-stock lagi.Yasudah-lah, nanti saja beli sambil jalan” pikir saya. Ternyata sampai siang saya tidak sempat mampir ke minimarket, karena dikejar titipan dokumen dari kantor Gresik ke kantor Surabaya. Baru ingat begitu masuk parkiran di basement “Oiya tadi mau beli coklat” dan lagi-lagi saya menghela nafas “Yo wis lah…”.

Saya masuk kantor dan bekerja seperti biasa, biarpun masih agak “nggak mood”. Menjelang sore, seorang teman kantor masuk ke ruangan membawa tas plastic besar, sambil mengatakan “ada oleh-oleh dari boss, pulang dari Holy Land (Yerusalem/Baitul Maqdis)”. Dan apa oleh-oleh itu? Ternyata coklat satu kantong besar.

Saya yakin tidak cuma saya yang pernah mengalami kejadian semacam ini, dalam Bahasa Inggris disebut Serendipity terjemahannya mungkin “kebetulan yang menyenangkan”. Tapi pernahkan kita berpikir mengapa kebetulan semacam ini bisa benar-benar terjadi?

Di zaman yang serba modern ini, kita terbiasa dengan hal-hal yang instan. Pengen makan mie, tinggal bikin mie instant, cuma 5 menit, nggak pake lama. Cuma orang yang niat banget mungkin yang beli terigu sama telur lalu dicampur kemudian membuat mie sendiri. Apapun kini serba instan, mau makan apapun, kalo mager tinggal food delivery. Hal yang serba instan inilah yang membuat mindset kita menginginkan apapun serba cepat. Disadari atau tidak hal-hal instant mendidik kita untuk berorientasi pada hasil akhir. Kita tidak mau tahu prosesnya, yang penting kita tahu hasilnya.

Dulu waktu sekolah, kita pengen cepet lulus lalu kuliah. Setelah kuliah, kita pengen cepet wisuda lalu kerja. Begitu bekerja, kita pengen cepet naik gaji/naik jabatan. Ada juga yang  pengen cepet nikah. Setelah menikah pengen cepet punya anak. Setelah punya anak, pengen cepet anak gede biar bisa sekolah dan seterusnya. Kita mau semuanya pengen cepet, bahkan baru hari Senin pun kita pengen cepet hari Jumat. This is our society. Dan apa yang terjadi? Ketika sesuatu melambat dan tidak sesuai dengan ekspektasi, yang datang adalah kekecewaan dan frustasi.

Ada berapa banyak ibu rumah tangga muda yang frustasi karena merasa tidak kunjung punya anak. Ada berapa banyak orang kantoran di luar sana yang nglokro karena merasa tidak kunjung naik gaji/naik jabatan. Ada berapa banyak pengusaha pemula yang banting setir kanan banting setir kiri karena merasa tidak kunjung sukses. Padahal waktu dan usaha yang dilakukan belum tentu sudah maksimal.

Enjoy the Process

Di saat ini banyak sekali orang yang mengeluhkan betapa lambatnya perkembangan hidup mereka, rasanya hidup kok gini-gini aja ya. Kok rasanya segala target dalam hidup ini jadi terlihat menjauh. Sementara itu, masifnya social media membuat generasi ini makin tidak bisa berhenti untuk membanding-bandingkan diri dengan orang lain, bahkan dengan orang yang tidak mereka kenal sekalipun di Instagram/facebook.

Seolah-olah hidup ini haruslah seindah timeline Instagram orang-orang itu. Padahal kita punya jalan hidup sendiri-sendiri yang dikehendaki oleh Tuhan.

John Pemberton penemu Coca Cola, hingga usia 56 tahun belum menemukan formula yang pas untuk minuman fenomenal ini. Colonel Sanders pendiri KFC, hingga usia 65 tahun, masih belum menemukan restoran yang mau menerima ayam gorengnya. Sementara itu Jack Ma, pengusaha terkaya nomer 3 di China, baru mendapatkan kerja setelah lamarannya ditolak 33 kali. Di sudut pandang yang lain, Nabi Zakariya, baru dikaruniai anak setelah istrinya berumur 98 tahun

Mungkin kamu tidak akan se-tua John Pemberton atau Colonel Sanders untuk mencapai kesuksesan, karena kamu tidak memulai sebagaimana mereka memulai. Atau kamu tidak perlu ditolak bekerja hingga 33 kali seperti Jack Ma karena saat inipun kamu sudah bekerja. Kamu yang menginginkan punya anak juga tidak perlu menunggu hingga berumur 98 tahun karena kamu bukan se-level nabi dalam menerima ujian Tuhan. So be present, and enjoy the process.

Semakin kita menikmati setiap proses dalam hidup, entah itu keberhasilan 1 langkah maupun kegagalan 1 langkah, maka kita semakin bersyukur dengan perjalanan yang telah kita tempuh, dan kita semakin fokus untuk menemukan jalan menuju apa yang kita tuju. Bukan malah mengutuki nasib atau berputus asa karena Tuhan tak kunjung mengabulkan doa kita.

Waktumu tidak sama dengan Waktu-Nya

Ada banyak diantara kita yang merasa doanya tidak kunjung dikabulkan Tuhan, baru berdoa tadi malam, tapi ingin dikabulkan besok pagi. Kehidupan serba instant di zaman ini seolah membuat kita meminta Tuhan untuk melakukan keajaiban-keajaiban secara instant juga, bahkan kadang men-dikte Tuhan. Kita tidak ingin tahu prosesnya bagaimana, pokoknya pengen cepet jadi.

Jika dikehendaki, bagi Tuhan mengabulkan doamu adalah hal gampang. Kamu berdoa ingin kaya raya, dalam semalam Tuhan bisa mengisi kolong ranjangmu dengan uang. Tapi bisa jadi Tuhan menunda mengabulkan apa yang kamu inginkan karena memang kamu belum membutuhkannya. Atau bisa jadi Tuhan merencanakan sesuatu yang besar daripada apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Kita tidak pernah tahu waktunya Tuhan.

Kamu yang ingin membeli rumah karena sungkan hidup ikut mertua, kamu tidak tahu mungkin saat ini pengembangnya sedang nego harga dengan pemilik tanahnya. Atau kamu yang ingin pergi haji, kamu tidak tahu mungkin pesawat yang membawamu ke sana sedang di rakit di suatu tempat di Jerman sana saat ini. Kita tidak tahu apa yang sedang dikerjakan-Nya untuk mengabulkan doamu.

Seperti coklat dari Yerusalem, Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semua sudah direncanakan oleh Tuhan. Karena segala sesuatu ada waktunya.

Surabaya, 21 Maret 2020
R. Shantika Wijayaningrat






Sumber Referensi
Byrne, Rhonda. 2006. The Secret. USA: Atria Book
Koch, Richard. (2019). The 80 / 20 Principle. London: MIC 
Paksi, Yopi Jalu. 2010. 101 Tips Kilat Barpikir Positif dan Berjiwa Besar. Yogyakarta: Media Pressindo
Ranggawarsita, R.Ng. (1873) Serat Sabdajati. Karaton Surakarta Hadiningrat: Sasana Pustaka
Suseno, Franz Magnis. (1984Etika Jawa: Sebuah analisis falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa, Jakarta: PT Gramedia