Minggu, 21 April 2019

Orang Jawa: Agama Sekedar Pakaian


Mungkin bagi yang memiliki pandangan keagamaan yang super religius cenderung fanatik sempit, membaca judul “Agama Sekedar Pakaian” sudah cukup untuk membuat tensi darah naik. Tapi bagi yang memiliki pemikiran terbuka, judul di atas hanya cukup untuk membuat alis berkerut beberapa detik. Tapi memang agama adalah pakaian merupakan baris terakhir tembang pangkur dari Serat Wedhatama karya Mangkunagara IV (1809 - 1881) yang bait lengkapnya adalah

Mingkar mingkuring angkara
Mangkarana karenan mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinuba sinukarta
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhur
Kang tumrap ing tanah jawa
Agama ageming aji
             (Serat Wedhatama – Sri Paduka Mangkunegara IV)

Mengapa Mangkunagara IV menyebut agama adalah pakaian? Tentu saja berasal dari sudut pandang masyarakat jawa mengenai agama itu sendiri. Jika dalam bahasa Indonesia predikat untuk objek agama adalah “memeluk” contohnya memeluk agama islam, para pemeluk agama kristen, dll. Dalam bahasa Jawa predikat untuk objek agama adalah “ngrasuk” yang berarti memakai pakaian, contohnya ngrasuk agami islam, jaman dereng ngrasuk agami. dll. Kata kerja ngrasuk ini merupakan predikat yang juga selalu mendahului objek busana, contohnya ngrasuk busana kaprabon, boten mbekta rasukan, dereng gantos rasukan dll, rasukan berarti pakaian.

Cukup menarik memang mengenai pandangan masyarakat jawa perihal agama ini. Agama adalah pakaian, lalu bisa diganti dong? Ya bisa. Dalam sejarah jawa, masyarakat jawa telah berganti-ganti agama selama ribuan tahun. Sebelum agama-agama impor datang, masyarakat jawa sudah memiliki agamanya sendiri, mengenai pandangannya terhadap siapa itu Sang Pencipta? Siapa itu yang Mengabulkan Doa? Bagaimana cara menyembah Sang Pengabul Doa itu? Bagaimana mencari hari baik untuk berdoa, bekerja, berpesta maupun berpuasa? Bagaimana watak orang yang lahir di hari kamis kliwon? Mengapa hari samparwangke tidak boleh dipakai untuk berpesta? Dan lain sebagainya. Masyarakat jawa sudah memiliki semua itu.

Kemudian datanglah agama dari luar negeri yang pertama yaitu Hindu dan Buddha. Nampaknya tidak terlalu sulit bagi para brahmana dan biksu dari India untuk mensyiarkan agamanya kepada orang jawa. Hal ini terbukti dengan prasasti-prasasti terbitan abad IV dan V yang dikeluarkan oleh raja-raja yang sudah beragama Hindu maupun Buddha. Logikanya, kalau memang sulit mengubah masyarakat jawa untuk memeluk agama Hindu – Buddha, pastinya raja yang memiliki gengsi tinggi tidak akan memeluk agama yang dibawa orang asing, tentu raja akan mempertahankan agama leluhurnya demi tetap dihormati rakyat.

Yang unik disini adalah para pemeluk agama Hindu dan Buddha di Jawa hidup rukun berdampingan, mereka beribadah di candi-nya masing-masing yang kadang bersebelahan, dan memiliki menteri agamanya masing-masing yang menjadi penasihat raja. Kontras sekali dengan para pemeluk agama Hindu dan Buddha di negeri asalnya India, abad II SM – V Masehi adalah masa-masa persaingan dan saling memerangi antara umat Hindu dan Buddha di India yang berakibat agama Buddha tersingkir dari India, dan para biksu menyebarkan agamanya di luar India termasuk ke Asia Tengah, Asia Tenggara dan Asia Timur. Sementara di Jawa, Hindu dan Buddha rukun-rukun saja. Bahkan di era Kerajaan Singhasari & Majapahit (abad XII-XV) terjadi sinkretisme agama Hindu dan Buddha, dimana satu orang bisa beribadah dalam dua agama, ketika meninggal juga bisa di makamkan dengan cara dua agama. Tentu ini tidak ada duanya di belahan dunia manapun.

1.200 tahun memeluk agama Hindu – Buddha, masyarakat jawa mulai kedatangan agama baru yang dibawa oleh para ulama dari Yaman Selatan yang nyambi berdagang. Berbeda dengan agama Hindu – Buddha yang langsung menargetkan raja dan bangsawan sebagai pemeluk, agama Islam menargetkan masyarakat kelas bawah terlebih dahulu, terutama di pesisir yang jauh dari pusat pemerintahan. Menyebarkan agama baru inipun juga sepertinya tidak terlalu sulit, cukup menarik perhatian masyarakat dengan apa yang mereka sukai, seni musik misalnya (gamelan) atau seni pertunjukan (wayang). Tapi karena syariat Islam ini cukup jauh berbeda dengan tatacara ibadah Hindu – Buddha, maka para juru dakwah (para wali) tidak langsung secara frontal mengganti upacara-upacara yang sudah ada. Para wali secara halus hanya mengganti esensinya saja, mau bikin sesajen terserah, mau bikin slametan terserah, yang penting ketika selamatannya didoakan, doanya harus kepada Allah, bukan lagi kepada dewa-dewi. Dan orang jawa secara perlahan mulai mengganti sebutan Sang Hyang Widhi dengan sebutan Gusti Allah, meskipun mereka sadar antara Sang Hyang Widhi dengan Gusti Allah merujuk kepada satu subjek yang sama, yaitu Subjek Yang Menciptakan Alam Semesta atau Subjek Yang Dituju ketika memanjatkan doa.

Bersamaan dengan kolonialisme, para missionaris dan zending dari Eropa mulai menyebarkan agama nasrani kepada masyarakat jawa. Syiar agama nasrani ini lebih sistematis, strategi yang digunakan berbeda antara masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah, meskipun tujuannya sama, yaitu menyatukan mereka dalam satu gereja. Dan sekali lagi, orang jawa yang sudah kenal dengan Gusti Allah, dengan mudah menerima agama nasrani, toh sama-sama menyembah Gusti Allah.

Kembali lagi ke Agama Hanyalah Pakaian, melihat sejarah agamanya orang jawa yang mudah berganti-ganti, bukanlah berarti orang jawa adalah masyarakat bodoh yang mudah dipengaruhi. Orang Jawa memandang agama sebagai cara untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, satu agama adalah satu cara, sedangkan agama yang lain adalah cara yang lain. Tujuannya sama, yaitu sama-sama menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, manunggaling kawula lan Gusti.

Jika agama adalah pakaian, lantas badan ini adalah apa? Badan ya tetap sebagai orang jawa, dengan falsafah hidup, etika, nilai dan norma Jawa. Karena itu falsafah hidup, etika, nilai, norma Jawa tetap bertahan selama ribuan tahun melewati agama Hindu – Buddha, Islam dan Kristen, karena semua itu bagian dari badan yang tetap ada meskipun pakaiannya berganti-ganti, entah memakai baju merah, kuning, hijau atau biru. Orang jawa tetap orang jawa meskipun beragama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, Konghuchu dll.

Namun demikian sesuai dengan yang dikatakan oleh Mangkunegara IV bahwa agama ageming aji (agama adalah pakaian kemuliaan). Ngrasuk agama berarti menerima sebuah konsekuensi yang harus ditaati dan dijalankan (mikul duwur mendhem jero). Jika orang jawa sudah menyatakan diri ngrasuk agama Islam, maka konsekuensinya ya menjalankan syariat agama Islam, mematuhi nabi, sudah tidak boleh lagi makan daging babi, tidak minum minuman ber-alkohol, salat di masjid, berpuasa di bulan ramadhan dll. Demikian juga yang ngrasuk agama kristen, maka konsekuensinya ya menjalankan syariat agama Kristen, beribadah ke gereja, dibaptis dll. Begitu juga jika orang jawa ngrasuk agama-agama yang lain.

Jika ada seseorang berbaju agama tapi munafik, melakukan perbuatan tercela, mencuri, berzinah, membunuh, memfitnah, korupsi, merusak lingkungan, memprovokasi dan lain-lain. Maka bisa dipastikan orang tersebut telah merusak agama yang dipakainya. Karena itu seseorang yang telah ngrasuk agama harus sadar sepenuhnya untuk menjaga kebersihan pikiran, ucapan dan perbuatan.

Seperti sebelum memakai baju bagus, kita harus memastikan badan kita bersih. Karena percuma memakai baju bagus tapi badan kotor dan bau, yang ada malah kita mengotori baju yang bagus. Sama seperti jika ada orang yang beragama tapi jahat, maka jangan salahkan agamanya, orang itu hanya tidak siap untuk beragama.


Surabaya, 20 April 2019
R. Shantika Wijayaningrat.

Sumber Referensi
Mangkunegara IV. 1881. Serat Wedhatama. Surakarta: Pura Mangkunegaran
Paku Buwono V. 1814. Serat Centhini. Surakarta: Karaton Surakarta Hadiningrat
Sunan Bonang. 1607. Suluk Wujil. Surakarta: Karaton Surakarta Hadiningrat
Suseno, Franz Magnis. 2013. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Lombart, Denys. 2018. Nusa Jawa Silang Budaya 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama