Senin, 31 Oktober 2016

Solo dan Jogja; The S̶i̶s̶t̶e̶r̶ Brother Cities


“Kayanya ntar gw mau nikah pake adat Jawa aja deh”
“Adat Jawanya, mau gaya Solo apa Jogja?”
“Loh… emang beda ya?”

Bagi masyarakat umum, Solo dan Jogja hanyalah sebuah perbedaan geografis, tak ada yang berbeda, sama-sama suku Jawa, bahasanya sama, makanannya sama, batiknya sama, sama-sama ada keraton, sama-sama kota budaya, tarian, gamelan, wayang, pakaian adat, keris, tata kota hampir tidak ada perbedaan, setidaknya anggapannya seperti itu. Kota Kembar That’s the stereotype.

Tapi bagi orang Solo dan Jogja sendiri, meskipun sama-sama Jawa namun perbedaan itu adalah sebuah kebanggaan yang mencirikan karakter masing-masing kota beserta masyarakatnya. Dan bagi mereka yang concern dalam bidang budaya, perbedaan Solo dan Jogja tidak terlepas dari sejarah yang begitu panjang dan kompleks selama ratusan tahun.

Emang Solo sama Jogja lebih tua mana sih? Orang Solo akan mengatakan lebih tua Solo, sedangkan orang Jogja mengatakan Keraton Solo asalnya dari Jogja. Nah loh… bingung kan?.

Secara historis, Keraton Solo (Kasunanan) mulai dibangun tahun 1745 oleh Paku Buwono II, sedangkan Keraton Jogja (Kasultanan) mulai dibangun tahun 1755 oleh Hamengku Buwono I yang tidak lain adalah adik dari Paku Buwono II. Pendirian Keraton Kasultanan Yogyakarta sendiri merupakan hasil dari perjanjian Giyanti yang memecah Kerajaan Mataram yang ber ibukota di Solo menjadi dua. Karena itulah orang Solo mengatakan bahwa Solo lebih tua daripada Jogja. Eits… tunggu dulu Kerajaan Mataram yang beribukota di Solo waktu itu merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati di Kota Gedhe – Jogja tahun 1587, itulah yang mendasari orang Jogja mengatakan bahwa Keraton Solo asalnya dari Jogja. It will be an endless discussion right?or civil war maybe… lol.

Berbicara perbandingan, maka harus berbicara sudut pandang, jika dari sudut pandang orang Solo maka mereka akan menonjolkan kotanya sendiri beserta adat budayanya, begitu juga orang Jogja. Maka kita akan berbicara dari sudut pandang orang luar Solo dan Jogja, tapi bukan dari sudut pandang orang luar Jawa, karena mereka memiliki sense yang berbeda mengenai adat budaya Jawa.

Dimulai dari bahasa, hampir tidak ada yang bisa dibedakan dari bahasa Jawa gaya Solo dan Jogja, kecuali beberapa terminologi seperti kata “Nuwun sewu” untuk orang Solo yang numpang lewat dan “Nderek langkung” untuk orang Jogja yang numpang lewat, maknanya kurang lebih sama, sama-sama mohon diperkenankan untuk melakukan sesuatu.

Pakaian adat, ada banyak perbedaan dalam cara dan gaya berpakaian gaya Solo dan Jogja. Secara historis, pakaian Jogja lebih tua daripada Solo karena yang dipakai orang Jogja merupakan busana asli orang Kerajaan Mataram jaman dahulu, sedangkan pakaian gaya Solo merupakan gubahan Paku Buwono III dan disempurnakan oleh Paku Buwono X supaya tidak terlihat sama dengan orang-orang Jogja.
Keluarga Keraton Kasunanan Surakarta
 
Keluarga Keraton Kasultanan Yogyakarta



Batik Solo didominasi oleh warna-warna soga atau coklat muda dan krem, sedangkan batik Jogja didominasi warna putih yang benar-benar putih. Untuk motif batik Solo terkesan lebih halus dan rumit, sedangkan batik Jogja terkesan lebih tegas dan gagah.
Batik Parang Jogja
Batik Parang Solo


Ketika mengenakan nyamping atau kain jarik, orang Solo menyembunyikan bagian sered atau garis kain terluar ke dalam wiru (lipatan), sedangkan orang Jogja malah sengaja menampakannya. Konon penggunaan wiru sendiri dimulai oleh orang Solo dan orang Jogja baru mengikuti kemudian. Khusus perempuan yang memakai jarik motif parang, perempuan Solo memakai motifnya menyerong dari kanan atas – kiri bawah, sedangkan perempuan Jogja dari kiri atas kanan bawah.
Pakaian Jawi Jangkep Solo

Pakaian Jawi Jangkep Jogja


Pemakaian Kain Parang Solo
Pemakaian Kain Parang Jogja

Pakaian pengantin sangat menyolok perbedaannya, mulai dari motif kain yang dikenakan hingga perhiasan dan tata rias yang dipakai. Gaya Solo terlihat lebih simple namun elegan sedangkan gaya Jogja terlihat lebih glamor dan semarak.
Pengantin Solo (Basahan)
Pengantin Jogja (Paes Ageng)


Keris (warangka/sarung keris) gaya Solo terlihat lebih mewah dan anggun, sedangkan gaya Jogja lebih simple dan maskulin.

Warangka Keris Gayaman Solo (Kiri) & Jogja (Kanan)
Warangka Keris Ladrang Solo (Kiri) & Jogja (Kanan)

Wayang kulit gaya Solo selama ratusan tahun telah berevolusi dan terus dimodifikasi hingga tercipta wayang kulit yang begitu mewah dan anggun. Sedangkan wayang gaya Jogja masih tetap asli seperti wayang kulit zaman Kerajaan Mataram yang terkesan sederhana dan sakral.


Jika kita melihat tarian gaya Solo dan Jogja maka kita akan merasakan sebuah ekspresi yang berbeda walaupun jenis tarian dan gerakan yang ditarikan adalah sama. Tema-tema tarian klasik Solo kebanyakan bertema romantik dan ditarikan dengan sedikit cita rasa sensual yang elegan. Sedangkan tarian klasik gaya Jogja kebanyakan bertema heroik dan memiliki sebuah alur cerita dimana terdapat sebuah ekspresi konflik sebagai klimaksnya. Sama-sama menari srimpi, namun ekspresi yang hasilkan akan berbeda. Untuk kostum jelas beda.
Srimpi Pandelori Keraton Yogyakarta (atas)
Srimpi Sangupati Keraton Surakarta (bawah)

Pada dasarnya sangat sedikit sekali perbedaan dalam teknik memainkan gamelan, namun perbedaan yang menonjol adalah sense atau ekpresi yang dibangun oleh repertoar gending-gendingnya. Musik gamelan Solo lebih banyak bersifat meditatif dan romantis terutama komposisi ladrang dan ketawang, peran instrument bonang barung sangat menonjol sehingga kesan yang ditimbulkan begitu halus dan kalem, irama seseg (tempo cepat) hanya berfungsi sebagai klimaks. Sedangkan musik gamelan gaya Jogja lebih banyak bersifat heroik, entertain dan menggugah semangat terutama komposisi lancaran dan soran, peran instrument wilahan sangat menonjol untuk menghasilkan kesan bersemangat dan heroik. Gending biasa dibuka dengan irama seseg (tempo cepat) dan diakhiri dengan irama seseg juga, sedangkan irama tamban (tempo lambat) hanya ada di tengah-tengah saja. Silahkan simak :
Ladrang Prabu Mataram dari Keraton Yogyakarta (atas
Ladrang Bremara dari Keraton Surakarta (bawah


Untuk tampilan luar gamelannya juga cukup mencolok perbedaannya, tampilan gamelan gaya Solo biasanya diberi ukiran tembus dua sisi (krawangan) dengan ukiran naga di beberapa instrument. Sedangkan tampilan gamelan gaya Jogja biasanya lebih sederhana dan ukiran hanya satu sisi, dengan ukiran manuk beri (sejenis garuda) di beberapa instrument. Di luar itu, jenis –jenis instrument yang dimainkan adalah sama kecuali penggunaan bedhug untuk gamelan-gamelan yang berasal dari Keraton Jogja yang jarang ada di gamelan dari Keraton Solo.
Gamelan Jogja



Gamelan Solo
Untuk makanan, sebetulnya jenis makanan tradisional asli Solo lebih banyak macamnya daripada Jogja, hal ini karena di masa lalu Keraton Solo memperbolehkan masyarakat untuk meniru dan memodifikasi makanan-makanan yang disajikan di keraton. Tetapi yang banyak didiskusikan adalah nasi gudeg apakah itu berasal dari Solo atau Jogja. Nasi gudeg Solo biasanya bercitarasa gurih dan basah, dengan sambel krecek (kulit sapi) dan irisan ayam atau telur yang ditambahkan beserta kuahnya dan tidak lupa areh (semacam yogurt santan) sebagai pelengkap. Sedangkan nasi gudeg Jogja biasanya bercitarasa manis dan kering, dengan sambel krecek dan irisan ayam atau telur yang ditambahkan tanpa kuah, dan biasanya blondo (ampas minyak kelapa) sebagai pelengkap. 
Sebetulnya masih banyak lagi hal-hal yang cukup menarik untuk dibandingkan antara Solo dengan Jogja, termasuk bagian-bagian rumah, peletakan kamar mandi dan sumur, tatacara upacara adat, sesajen, penggunaan payung, penggunaan gelar keraton, bahkan sampai bentuk kijing (batu nisan) di makam raja-raja Imogiri pun juga berbeda. (Sampai segitunya ya…?) Mungkin bisa kita bahas di next article. Mungkin juga termasuk Mangkunegaran dengan Paku Alaman.
            Yang pasti perbedaan antara Solo dan Jogja yang kita lihat saat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah persaingan antar keraton selama berabad-abad. Jika kita membaca Babad Giyanti, Babad Prayut dan Babad Mangkubumi maka nampak sekali selama berabad-abad rivalry antar keraton dan antar raja sudah seperti perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Namun demikian di setiap akhir perjalanan hidup para raja di Solo maupun Jogja, pada akhirnya akan dikumpulkan di tempat peristirahatan yang sama, di puncak bukit Imogiri.

Malang, 31 Oktober 2016
R. Shantika Wijayaningrat


Sumber Acuan:
Babad Tanah Jawi
Babad Giyanti
Babad Prayut
Babad Mangkubumi
Pictures by Google