Minggu, 24 Juni 2018

FILOSOFI PATAH HATI


             Walaupun saya tidak sedang patah hati tapi artikel ini saya dedikasikan untuk teman-teman yang sedang patah hati atau bahkan yang sering patah hati.


Saya ingat ketika dulu SMP, saya sering dicari teman-teman yang baru saja ‘putus’ atau ‘nembak terus ditolak’ untuk sekedar curhat atau meminta masukan. Ada yang curhatnya santai sambil minum fanta di kantin, ada juga yang curhatnya sambil berurai air mata di ruang UKS. Pada waktu itu kami masih sama-sama remaja, tapi entah mengapa teman-teman begitu percaya kepada saya, untuk menjaga rahasia, untuk memberi masukan, bahkan untuk memotivasi mereka untuk bangkit lagi. Dan itu terus berlanjut sampai SMA, kuliah bahkan sampai sekarang dengan berbagai permasalahan mulai yang ringan sampai yang super complicated. Mungkin benar kata Bunda Febri (salah satu motivator terkenal dari Solo) bahwa saya memiliki aura yang ‘mengundang’. A healing aura that attract damaged people. #lol


Kata orang, pengalaman adalah guru yang paling baik (walaupun juga guru yang paling tanpa ampun). Bagi orang yang baru pertama mengalami patah hati, mungkin sakitnya indescribable. Akan sulit untuk memulai sebuah hubungan baru lagi, karena takut patah hati lagi. Tapi seiring berjalannya waktu, luka yang lama perlahan sembuh dan muncul gairah untuk memulai sebuah hubungan lagi. Meskipun kata orang yang melihat dari sudut pandang biologis, cinta dan ketertarikan terhadap lawan jenis adalah dipengaruhi oleh hormon. Namun tetap saja itu adalah sebuah kebutuhan yang dirasakan oleh setiap individu.

Kembali ke pengalaman, ketika kita belajar memasak pertama kali, awalnya mungkin kurang asin, ditambah garam, ternyata jadi terlalu asin, ditambah air, rasanya jadi agak hambar, tambah bumbu lagi, tambah ini-itu dan diperbaiki lagi sampai semuanya terasa pas di lidah.

Cinta juga seperti itu, ada yang langsung berjodoh (tapi jarang), ada juga yang harus mengalami patah hati berkali-kali baru ketemu jodoh yang pas. Even though ada juga yang putus-nyambung putus-nyambung baru terasa pas.

Patah hati akan membuat kamu belajar banyak hal. Pertama, membuat kamu belajar bahwa tidak semua hal di dunia sesuai dengan keinginanmu. Kedua, membuat kamu belajar bahwa karakter manusia itu bermacam-macam. Semakin sering patah hati, kamu semakin menyadari bahwa setiap orang itu memiliki keunikan yang ada pada diri mereka. Kamu jadi tahu bagaimana menghadapi orang dengan berbagai karakter.

Mungkin mantan pertama kamu adalah orang yang super posesif, harus ngasih kabar sepanjang waktu, dia harus tahu agenda kamu dan dengan siapa saja. Mantan selanjutnya super manja, kalau nggak diingetin makan, dia nggak makan, kalau nggak dijemput dia nggak berangkat. Berikutnya mantan super sensitive, sedikit-sedikit ngambek, sedikit-sedikit marah, masalah sepele bisa jadi perang. Lalu mantan super cuek, punya pacar serasa jomblo, kalau nggak ditanya duluan dia nggak ada kabar.

Jika ternyata kamu pernah menghadapi mantan-mantan semacam itu, maka kamu layak mendapat gelar Master. Kamu sudah cukup matang untuk memulai sebuah hubungan yang lebih dewasa, karena kamu sudah berpengalaman menghadapi banyak masalah dan tahu cara mengatasinya. Dan tidak perlu ragu untuk melangkah ke jenjang berikutnya.

Perkara kamu dicap orang rapuh karena sering patah hati, tidak masalah. Daripada kamu telanjur berkomitment dan kemudian menyesal di belakang. Toh orang hanya penonton, tidak merasakan apa yang kamu rasakan.

Lalu bagaimana dengan yang patah hati berkali-kali dengan orang yang sama? I have to say, it’s wasting time. Berarti keduanya tidak belajar dari kesalahan yang sama. Lalu bagaimana dengan yang takut memulai hubungan karena takut patah hati? Artinya dia tidak percaya Tuhan, seolah-olah Tuhan akan meninggalkan dia begitu saja di tengah jalan. Bagaimana mau belajar nyetir kalau dari awal pikirannya sudah masuk jurang, nabrak tebing, mobil mogok, tertimpa pohon tumbang, terseret lahar dingin tanpa membayangkan tujuan yang dicapai dalam perjalanan.

Pada akhirnya, generasi patah hati adalah generasi yang sedang dididik oleh semesta, bahwa tidak semua jalan yang kita lalui selalu mulus dan lancar, mungkin kita akan melewati tanjakan, turunan dan tikungan tajam. Entah itu berulang-ulang atau tidak, tergantung seberapa cepat kita belajar. Tapi setidaknya mereka yang mengambil langkah, jauh lebih baik daripada mereka yang takut untuk mencoba.



Surabaya, 24 Juni 2018
R. Shantika Wijayaningrat
                                           
Klik juga Life is Sawang Sinawang agar kamu lebih bersyukur akan hidupmu


Sumber Referensi
http://shantikawijaya.blogspot.com/2016/05/life-is-sawang-sinawang.html
Mangkunegara IV. Serat Wedhatama. Reksa Pustaka Mangkunegaran
Pradiansyah, Arvan. 7 Laws of Happiness. 2015. Jakarta : PT Integritas Lestari Manajemen
Susanto, Dedy. Pemulihan Jiwa. 2012. Jakarta: Transmedia Pustaka