Beberapa waktu yang lalu seorang
teman mengungkapkan betapa kesalnya dia dibanding-bandingkan dengan saudaranya,
apalagi moment itu adalah moment lebaran yang seharusnya digunakan untuk saling
memaafkan dan mengakrabkan diri. Awalnya sih ditanya sekarang sedang kerja
dimana, eh tapi kemudian merembet menyinggung hal-hal pribadi mulai dari kapan
nikah hingga rencana masa depan. Belum puas sampai disitu, mereka seolah men-judge dan membandingkan kehidupannya
dengan kehidupan saudara-saudaranya yang lain yang sudah mapan, menikah, punya
anak dan seterusnya. Dan rasanya seperti “they
ruined the day”.
Saya meyakini tak hanya satu
teman saya itu saja yang pernah merasakan hal tersebut. Banyak diantara kita
yang juga pernah mengalamai hal yang sama. Dan bahkan mungkin di moment yang
sama.
Bagi generasi peralihan dari X Generation[1] menuju
Millenials Generation[2] yaitu
generasi yang lahir antara 1985 – 1990, rasanya memang agak berat ketika kita
sudah mengikuti nilai-nilai kehidupan modern seperti layaknya Generasi
Millenials, tetapi masih dinilai orang lain dengan menggunakan ukuran-ukuran
tradisional yang masih dipakai oleh X Generation.
Ukuran-ukuran tradisional X Generation seperti
bekerja sebagai PNS/BUMN artinya kamu mapan, bekerja bidang swasta artinya kamu tidak mapan, berwirausaha/entrepreneur artinya kamu serabutan (kemudian direkomendasikan daftar CPNS/BUMN) menikah muda artinya kamu bahagia, menikah usia 30an artinya kamu terlambat, punya tabungan di bank artinya kamu kaya, punya investasi di danareksa artinya kamu judi/untung-untungan dan masih banyak ukuran-ukuran
kehidupan yang lain. Atau bahkan mungkin kita sendiri yang mengukur kehidupan
orang lain dengan ukuran-ukuran seperti itu?. Sedih memang, tetapi lebih sedih
jika kita dibanding-bandingkan dengan orang lain, rasanya seperti sedang
diperlihatkan bahwa dia adalah contoh yang baik sedangkan kamu adalah contoh
yang buruk. Hidup menjadi seolah sebuah lomba lari dengan garis finis yang sama
dan rute yang dilalui juga harus sama.
Jika kita boleh sedikit merubah
sudut pandang sebentar, jangan-jangan kita juga termasuk orang yang suka membanding-bandingkan
orang lain dengan diri kita?
Setiap orang memiliki ukuran
hidupnya masing masing. Tidak ada yang saling mendaluhui dalam hidup. Semua
orang memiliki arah perjalanan hidup yang berbeda-beda meskipun tujuan hidupnya
adalah kebahagian. Kita sering mengukur diri kita menggunakan ukuran orang lain.
Atau mengukur hidup orang lain dengan ukuran hidup kita. Kendati demikian sesungguhnya
hal tersebut tidaklah tepat. Kita tidak tahu seberapa berat kehidupan yang
mereka lalui, dan seberapa panjang perjalanan untuk mencapai fase demi fase kehidupan.
Jika kamu dan temanmu ingin melakukan
perjalanan dari Solo menuju Jakarta, temanmu mungkin lebih senang lewat jalur
pantura yang lurus, lebar dan paling umum untuk dilalui, tapi ternyata kamu lebih senang lewat jalur
selatan yang berbelok-belok tapi dipenuhi pemandangan yang indah. Ketika temanmu
sampai di Brebes, sedangkan kamu sampai Cilacap, apakah bisa temanmu mengatakan
“Aku sudah sampai Brebes nih, masa kamu baru sampai Cilacap?” padahal
teman kamu tersebut tidak pernah mengetahui dimana dan seperti apa Cilacap itu. Sebuah perbandingan yang lucu jadinya karena sama sekali nggak nyambung. Lebih lucu lagi orang-orang lain yang juga terbiasa lewat Brebes ikut mentertawakan dan merekomendasikan kamu untuk segera menuju Brebes, seolah kamu telah tersesat dan tidak punya masa depan lagi, meskipun pada akhirnya
semua akan sama-sama sampai di Jakarta. Mungkin begitulah perumpamaannya ketika kehidupan kita diukur orang dengan ukuran kehidupan mereka.
Lebaran berikutnya mungkin masih akan ada hal-hal yang sama, ketika satu pertanyaan terjawab, masih akan ada pertanyaan-pertanyaan lain. "Kapan nikah? kapan punya anak? kapan anaknya tumbuh gigi? kapan anaknya bisa jalan? kapan dibikinin adek? Kapan disekolahin? kapan lulus kuliah? kapan dikenalin pacar? kapan nikah? ---------> Back to the first question.
Umur ini terlalu sayang jika
harus dihabiskan untuk membanding-bandingkan. Hidupmu sungguh indah dan penuh
petualangan, setiap puncak yang kamu daki dan jurang yang kamu turuni tidak
layak dibandingkan dengan apapun di dunia ini. Tak usahlah membandingkan puncak-puncak orang lain, toh hidup ini sawang
sinawang, segala sesuatu yang terlihat hanyalah kelihatannya.
Surabaya, 14 Juli 2018
R. Shantika Wijayaningrat
[1] Generasi
yang lahir antara 1961 - 1981
Sumber Referensi
Mangkunagara IV. Wedhatama. Pura Mangkunegaran: Reksa Pustaka
http://shantikawijaya.blogspot.com/2016/05/life-is-sawang-sinawang.html
Susanto, Dedy. Pemulihan Jiwa. 2012. Jakarta: Transmedia Pustaka
http://shantikawijaya.blogspot.com/2016/05/life-is-sawang-sinawang.html
Susanto, Dedy. Pemulihan Jiwa. 2012. Jakarta: Transmedia Pustaka
https://www.psychologytoday.com/us/blog/prescriptions-life/201803/how-stop-comparing-yourself-others
https://www.developgoodhabits.com/stop-comparing-yourself-to-others/
https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20160823145217-445-153268/generasi-millenial-dan-karakteristiknya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar