Satu minggu setelah ulang tahun
saya yang ke 28, saya duduk sendirian di ruang meeting Ndalem Sasana Mulya,
waktu sudah hampir pukul 11 malam tapi saya masih belum ingin beranjak untuk
beristirahat dan tidur. Laptop masih menyala, berisi design publikasi yang
rasanya tidak selesai-selesai, playlist music
sudah habis satu jam yang lalu tapi tidak ada niatan untuk me-replay lagi. Seems like a lot of things rushing in my head. Membayangkan usia
20an akan segera berakhir dan ada banyak hal yang belum saya lakukan, membayangkan
langkah di tengah kabut untuk memulai umur 30an. Rasanya antara dada sesak,
kepala berat ke belakang dan pundak seperti memanggul sakaguru di pendopo Sasana Mulya.
Enam bulan kemudian saya membaca
sebuah artikel di Huffingtonpost,
berjudul Apa Makna Usia 30 Tahun Bagi Seseorang di Seluruh Dunia (ori: What Turning 30 Years Old Means to People
Around the World) yang memberi kesimpulan kepada saya bahwa apa yang saya
rasakan 6 bulan yang lalu, juga pernah dirasakan oleh sebagian orang di seluruh
dunia ini. Meskipun latar belakang gender, pendidikan, budaya, pekerjaan dan
keluarga memberikan pengaruh yang berbeda bagi setiap orang.
Contohnya
Stefanie, seorang penulis & model yang tinggal di New York. Dia mengatakan
“I don’t really care about being 30, I am
confident enough to just not care”
Oscar, seorang
pekerja tambang asal Potosi, Bolivia mengatakan “Turning 30 did not change much in life. I got my first children quite
early (21 yo) and all responsibilities came that time”.
Anne, seorang
konsultan yang tinggal di Paris mengatakan “I
am 30, I don’t feel old, I am young at heart. That’s what really matters!”
Sementara
Beatrice, seorang entrepreneur asal Malawi, Afrika, mengatakan “I am old, because 30 is a lot of years. I
have 3 children already, the oldest is 11. That almost as if the next
generation was already there. It seems like my life is already settled and
won’t deviate much from what it is now in the future”
Mungkin bagi Stefanie & Anne
yang tinggal sebuah kota besar di negara maju, usia hanyalah sekedar angka yang
sama sekali tidak akan mempengaruhi apapun tentang dirinya, maupun pandangan
orang lain akan dirinya. Masyarakat negara maju memahami betul bahwa
usia
bukanlah sebuah ukuran untuk menilai seseorang, bahkan mereka juga tidak
terlalu peduli untuk menilai orang lain.
Berbeda dengan Oscar &
Beatrice yang tinggal di negara berkembang, dimana adat, budaya & pandangan
masyarakat masih menjadi semacam pakaian yang sulit dilepas. Usia 30 adalah
usia settled dimana semua orang haruslah
sudah mapan di usia itu, sudah memiliki anak, sudah menjalani kehidupan
sebagaimana orang-orang pendahulu mereka yang bekerja keras dan bukan saatnya
lagi untuk memulai pekerjaan atau hal-hal baru.
Saya mencoba bertukar pikiran
dengan beberapa orang teman yang sama-sama hampir mengakhiri 20an, dan ternyata
pandangan mereka membuka mata saya.
Sebut saja Mas Indra yang
November nanti genap 30, dia sudah mempersiapkan akan menikah setelah lebaran
nanti, dia sendiri dengan jujur mengatakan bahwa siap tidak siap harus memenuhi
target menikah sebelum usia 30, sebuat target yang dia buat sendiri, dan secara
konsisten dia penuhi sendiri. Bagi Indra usia 30 adalah usia untuk memulai
sebuah kehidupan yang settled,
kehidupan yang secara konsisten dia jalani dengan penuh komitmen, menjalankan
rencana yang sudah dirancang sejak usia 20an, menikah, punya anak, punya rumah
sendiri, nggak pindah-pindah kerja
lagi, tidak berlarian mencari pengalaman, melainkan mulai memanfaatkan
pengalaman yang sudah didapat selama ini dan menekuni apa yang sudah dimulai.
That’s it.
Beda lagi dengan mbak Nia yang
sudah resmi 30 sejak Februari kemarin. Bagi Nia yang sudah berkeluarga dan
punya anak 1, usia 30 adalah waktu yang tepat untuk meningkatkan karier.
Anaknya yang sudah berumur 4 tahun sudah bisa ditinggal dengan
kesibukan-kesibukan kantor dan bisa lebih leluasa berbagi tugas dengan suami. Mbak
Nia juga sudah mempersiapkan budget sejak kelahiran anaknya agar bisa memasukan
anaknya ke sekolah usia dini yang fullday
agar dia bisa lebih fokus terhadap karier. Baginya, anak dan keluarga adalah
motivasi terbesarnya untuk meningkatkan karier, supaya masa depan lebih mudah.
Berlawanan dengan Mbak Andri yang
berusia 30 di Januari tahun depan, dia malah berencana resign dari pekerjaan agar bisa lebih fokus dengan keluarga. Apalagi
dia berencana ingin punya anak kedua di usia 30 nanti. Bagi Andri, usia 30
adalah usia yang tepat untuk memantapkan tujuan hidup, dia secara sadar dan
penuh tanggungjawab memantapkan dirinya sebagai ibu rumah tangga. Dia sadar
ketika usianya masih 20an banyak sekali ambisi dan target yang dia kejar. Meskipun
tidak semuanya terpenuhi, dia merasa bahwa usia 30 adalah sudah bukan saatnya
lagi untuk mengejar sesuatu yang muluk-muluk, melainkan menetapkan target hidup
yang lebih realistis, apalagi yang sudah berkeluarga maka harus secara rasional
membagi waktu, materi dan energy antara cita-cita dan keluarga. Bagaimana
dengan ambisi yang tidak terpenuhi? Well,
dia sudah mengikhlaskannya. Baginya prioritasnya saat ini adalah keluarga
kecilnya.
Now, Dani yang berulangtahun ke 30 di bulan Juni tahun depan.
Baginya usia 30 hanyalah perubahan dari yang biasanya dipanggil “Mas” oleh reception kantor menjadi dipanggil “Pak”.
Menjadi anak bungsu di keluarganya meyakinkan dia bahwa orang tuanya sudah
cukup bangga dengan pencapaian kakak-kakaknya, karena itu dia memilih untuk
menikmati setiap detik dalam hidupnya untuk mencapai target yang dia buat
sendiri tanpa terpengaruh tuntutan untuk menjadi “seseorang” dan tuntutan untuk
bebas pertanyaan “kamu kapan nikah?” saat halal bihalal lebaran. Meskipun belum ada rencana menikah, bahkan calonpun belum ada, Dani mulai secara konsisten menabung dan memikirkan keamanan finansial di masa depan. Dani awalnya banyak menghabiskan uang untuk trip & jalan-jalan, seperti backpacker-an ke Raja Ampat, Komodo, Jepang, Macau, dll. Kini mendekati 30, dia akan fokus menggunakan uang untuk mempersiapkan masa depan. Setidaknya selama ini dia menggunakan uangnya untuk mendapatkan pengalaman & petualangan yang 'immortal', bukan untuk membeli benda-benda yang 'mortal' seperti pakaian bermerek, suplemen atau aksesoris yang sebetulnya tidak benar-benar dia butuhkan.
Ada lagi Jeng Tia, dia sama
sekali tidak mau diingatkan bahwa sebentar lagi usianya 30, bahkan tidak mau
mendengar kata “tiga puluh” atau
melihat angka 30. Cukup unik memang yang satu ini.
Tapi semua itu hanyalah sebuah random sampling opini dan stereotype
yang setiap orang bebas memiliki pendapatnya sendiri. Saya sendiri yang sebentar lagi memasuki dekade
ke 3 awalnya merasakan sesuatu yang nano-nano. Antara senang, sedih, deg-degan, bingung what to do next, dan perasaan-perasaan
lain yang unexplainable. Perasaan
antara nilai keterikatan sosial orang timur dengan nilai kebebasan individu
orang barat.
Kini saya lebih banyak menikmati
sisa 20an saya dengan target-target yang secara realistis bisa saya lakukan.
Saya lebih banyak bersyukur dengan mengenang kembali apa yang telah saya capai.
Bersyukur atas perjalanan hidup yang mungkin memang tidak mulus seperti yang
direncanakan, tapi perjalanan itu membawa saya kepada sebuah keadaan yang penuh
petualangan hidup. Bersyukur merasakan moment yang begitu intim dengan Tuhan
pada saat-saat keterpurukan. Tapi juga bersyukur setidaknya pernah merasakan
pulang hampir subuh dengan linglung dan mulut berbau alcohol. Bersyukur pernah
bertemu dengan orang-orang hebat, dan berteman dengan orang-orang baik meskipun
mereka datang dan pergi silih berganti.
Kini menyambut usia 30, saya
tidak akan terlalu serius dan kaku dengan keadaan, toh memang kita tidak diciptakan untuk bisa memenuhi harapan semua orang.
Saya juga tidak akan banyak menuntut diri sendiri dan orang lain dengan
standart yang saya buat. Kita banyak menentukan standard di usia 20an, karena memang
usia 20an adalah usia pencarian jatidiri. Kita membuat list pekerjaan, lifestyle, posesi, obsesi, pasangan hidup, pesta pernikahan dengan standart setinggi mungkin yang bisa kita buat. Di usia 30an kita akan menentukan secara lebih
jernih siapa diri kita sebenarnya sebagai seorang individu dan juga sebagai
bagian dari system sosial. Berbagai masalah dan kesukaran yang kita alami di usia 20an akan menuntun kita menuju hidup yang lebih terarah di usia 30.
Kita akan lebih bijaksana terhadap
keadaan, lebih empati terhadap orang lain dan lebih bersyukur atas apa yang
telah dilalui. Tidak ada lagi yang perlu ditakutkan, toh buat apa membuang energy untuk sesuatu yang tak dapat kita
tolak?
Surabaya, 11 Mei 2018
R. Shantika Wijayaningrat
Sumber Referensi
Jenny Zhang, What Turning 30 Years Old Means to People Around the World. Huffingtonpost. 2015: New York
https://www.psychologytoday.com/articles/199409/learning-love-growing-old
Midi-life Crisis. Cambridge University Press
Serat Wulangreh (Paku Buwono IV)
Serat Wedatama (Mangkunegara IV)