Jumat, 07 Desember 2018

Meludahi Langit



Suatu hari ada seorang bijaksana yang memasuki desa, si orang bijak senang berkotbah dan mengajari siapapun yang ia temui untuk selalu berbuat kebaikan. Si orang bijak berkelana dari desa ke desa untuk mengajar kebaikan. Ketika si orang bijak sampai di sebuah desa terpencil di pinggir hutan, ada seorang pria jahat yang menjadi penguasa desa yang selalu menarik pajak kepada kepada warga desa. Pria ini merasa terganggu dengan kedatangan si orang bijak, si pria jahat khawatir jika desanya diajar oleh si orang bijak, maka orang desa akan lebih menghormati si orang bijak daripada dirinya. Maka si pria jahat inipun memarahi dan memaki-maki si orang bijak dengan kata-kata kasar. Si orang bijak meskipun diperlakukan kasar namun tetap tenang dan berjalan meninggalkan pria itu. Tapi si pria jahat belum puas melihat ketenangan si orang bijak, maka dia pun mengikuti si orang bijak kemanapun dia pergi sambil memaki-makinya.

                Sampailah si orang bijak di bawah pohon beringin besar tempat dia akan bermeditasi, si pria pemarah diam saja, sepertinya sudah kehabisan tenaga karena sudah memaki-maki sepanjang jalan. Si orang bijak kemudian bertanya mengapa pria itu begitu marah kepadanya.

Si pria itu kemudian menjawab Kau tidak punya hak mengajari orang lain. Kau sama bodohnya dengan yang lain. Kau bukan dewa”  

Si orang bijak kemudian tersenyum, dan bertanya sekali lagi Katakan kepadaku, jika kau membeli hadiah untuk seseorang dan orang itu tidak mengambilnya, jadi milik siapa hadiah itu?”

Mendapat pertanyaan seperti itu, pria itu terkejut dan menjawab, Tentu saja menjadi milikku karena aku yang membeli hadiah itu”

Sang bijak pun tersenyum dan berkata, “Itu benar, dan itu persis sama dengan kemarahanmu, jika kamu marah dan aku tidak terpengaruh, maka kemarahan itu akan kembali padamu. Kamulah yang akan tidak bahagia, bukan aku”

Sesungguhnya yang kamu lakukan adalah menyakiti dirimu sendiri

Seringkali kita tidak menyadari apa yang terjadi adalah akibat dari tindakan kita di masa lalu, jika yang kamu terima hari ini baik, bisa jadi adalah balasan dari kebaikan yang kamu lakukan sebelumnya. Namun jika yang kamu terima hari ini sebaliknya, maka sudah sepatutnya kamu berintrospeksi, bisa jadi kamu pernah melakukan sesuatu yang tak terpuji sebelumnya. Dengan kita selalu menyadari hukum timbal balik, maka kita akan selalu berhati-hati dalam berpikir, berucap dan bertindak. Sama seperti jika kamu meludahi langit, maka ludah itu akan menimpa wajahmu sendiri.



Surabaya, 8 Desember 2018
R. Shantika Wijayaningrat


Sumber Referensi

Lalitavistara Borobudur Temple
Image by Google


Selasa, 30 Oktober 2018

Toxic People: Keracunan Tanpa Minum Racun


Saya mengalami kesulitan menterjemahkan Toxic People ke dalam Bahasa Indonesia, karena jika diterjemahkan secara literal akan menyebabkan makna ambigu, sementara jika diterjemahkan secara kontekstual akan menjadi sebuah frasa yang panjang. Memang pada dasarnya toxic people bukanlah sebuah istilah yang baku dalam Bahasa Inggris, melainkan hanya istilah slang (non-formal).

                Definitely, Toxic People didefinisikan sebagai orang-orang yang memiliki dampak negative bagi kehidupan kita, entah itu dampak negative terhadap mental, emosional, spiritual bahkan finansial sekalipun, dan mereka kebanyakan berada di sekitar kita. Tapi kadang karena bergaul sudah terlalu dekat, sehingga kita tidak menyadari bahwa orang tersebut membawa dampak negative bagi kehidupan kita. Lalu bagaimana kita mendeteksi keberadaan toxic people tersebut, kemudian bagaimana caranya menyikapi atau menghadapi mereka. Let’s talk about it.

                Saya bukannya mau mengajak kamu untuk men-judge atau menghakimi orang-orang disekitar kamu, apakah dia seorang toxic atau bukan. Tapi setidaknya ketika kita tahu bahwa seseorang itu membawa sebuah pengaruh negatif, kita bisa memfilter diri kita sendiri supaya tidak terpengaruh.

Kadang memang tidak mudah untuk bisa merasakan pengaruh seseorang terhadap diri kita sendiri, yang mudah melihat atau merasakan perubahan itu malah biasanya orang lain. Tapi jika kamu merasa yang biasanya hidup penuh antusias, disiplin, pekerja keras namun tiba-tiba setelah berteman akrab dengan seseorang membuat hidup kamu jadi pemalas, malas bekerja, malas bangun pagi, pengennya santai-santai ngobrol sambil ngopi-ngopi saja, leda-lede (tidak pernah serius), lebih suka main game di handphone, youtube-an, facebook-an, instagram-an daripada mengerjakan target pekerjaanmu, maka bisa dipastikan kamu sudah ter-toxiced alias telah teracuni pengaruh negatif.

Jika kamu biasanya sopan kepada orang lain, menghormati orang tua, patuh dan santun kepada atasan, tidak suka bergosip, tidak suka meninggalkan tanggung jawab pekerjaan, tapi setelah kantor kamu kedatangan orang baru yang sering bergaul dengan kamu, kamu menjadi orang yang kasar kepada orang tua, menyepelekan dan membantah atasan, suka membicarakan keburukan orang lain atau keburukan apapun yang bisa dibicarakan. Fix kamu salah pergaulan, dan sudah teracuni oleh si toxic people.

Kalau mau menyebutkan satu-satu, mungkin pembahasannya akan ber-episode-episode, tapi setidaknya ada 7 tipe toxic people yang dirangkum dari sumber-sumber akurat untuk sekedar diketahui.

1.       Si Aku, Aku dan Aku
Pernah nggak kamu mengobrol dengan seseorang yang suka memotong pembicaraan kamu, dan senang sekali menjelaskan dirinya secara panjang lebar. Misalnya dalam sebuah percakapan, kamu sedang menceritakan ada orang yang sedang ditilang di jalan saat berangkat kerja, tiba-tiba ada seorang temanmu yang tanpa permisi dan tanpa menunggu pembicaraan, memotong apa yang sedang kamu ceritakan dan mulai menceritakan pengalaman dirinya sendiri saat ditilang di jalan beberapa waktu sebelumnya secara panjang lebar. Meskipun hal ini kadang kita maklumi begitu saja, tapi disadari atau tidak, inilah yang disebut conversational narcistist, orang yang selalu ingin membicarakan dirinya sendiri, tentang dirinya tanpa mau mendengarkan orang lain, self-centered person. Meskipun kadang kita maklum, namun dalam situasi tertentu hal tersebut membuat kita kesal, dongkol dan mulai menyimpan energi negative. Wajar saja itu terjadi, karena kita merasa tidak dihargai dan harus mengalah dengan kenarsisan orang lain.

2.       Si Ngapain, diapain, begini saja
Tipe kedua ini, ingin selalu mengendalikan sesuatu disekitarnya, selalu ingin tahu, selalu ingin mencampuri, selalu ingin memberi masukan dan selalu ingin masukannya diterima dan dijalankan. Dalam kasus ini dia bukanlah atasan kamu, tapi dia selalu mencampuri urusan kamu sampai-sampai kamu kehabisan ruang untuk menyelesaikan urusan kamu dengan cara kamu sendiri. Saya pernah memiliki seorang rekan kerja yang selalu ingin tahu apa yang sedang saya kerjakan, kemudian dia memberi masukan dan agak memaksa supaya masukannya diterima dan dijalankan. Karena dia sedikit lebih senior daripada saya, masukannya saya dengarkan, tapi tentu saja tidak saya jalankan. Karena dia bukanlah seseorang yang sesuai dengan kapasitasnya, bahkan memberi masukan sesuatu yang bukan bidangnya. Sementara saya menjalankan sesuatu yang sudah menjadi bidang saya selama bertahun-tahun. Kalau kita mau berfikir positif, mungkin dia terlalu peduli dengan kamu, tapi tetap saja kita jadi kehilangan ruang untuk menjalankan tanggungjawab kita sendiri.


3.       Si Pesimis
Tipe yang satu ini, seolah kamu tidak pernah mendengar sesuatu yang positif yang keluar dari mulutnya. Adanya hanya mengeluh, dan apapun yang terjadi, maka dia akan melihat hal tersebut dari sudut pandang negatif. Mereka suka sekali menghancurkan harapan orang lain dengan sifat pesimisnya. Seolah di dunia sudah tidak ada lagi yang bisa disyukuri dan kita tidak bisa berharap sesuatu yang lebih baik. Si pesimis ini bagaikan vampire yang selalu menghisap energi positif kamu dan menggantinya dengan pikiran negatif.

4.       Si Raja/Ratu Drama
Mungkin ada diantara kita yang menganggap si raja atau ratu drama adalah hiburan di saat bosan, tapi ketahuilah bahwa mereka yang senang mendramatisir permasalahan bukan seseorang yang cocok untuk diajak bekerjasama menyelesaikan suatu permasalah, alih-alih mengurangi beban pikiran, mereka malah menjadikan pikiran semakin berat. Biasanya orang yang senang mendramatisir permasalah adalah attention seeker atau orang yang suka mencari perhatian. Dia ingin mendapatkan simpati dari orang lain dengan cara membesar besarkan permasalahan kecil. Kalau kamu punya rekan yang seperti itu, pastilah jengkel sepanjang hari.


5.       Si Pendengki
Si pendengki ini mudah sekali dikenali, dan biasanya tidak memiliki teman. Mereka tidak senang melihat orang lain senang, tapi malah senang melihat orang lain susah. Di kondisi yang lebih ekstrim, si pendengki tidak akan segan-segan berusaha menghilangkan kesenangan orang lain. Ketika dia berhasil menghilangkan kesenangan orang lain, dalam pikirannya “yah setidaknya saya nggak susah sendirian, kita susah bareng-bareng” Menjengkelkan bukan?

6.       Si Ngibul
Tipe yang satu ini hobi sekali berbohong, menceritakan suatu kebohongan kepada orang lain dengan cara-cara yang meyakinkan, tujuannya macam-macam, tapi kalau si ngibul, kadang suka berbohong dengan tujuan ‘pencitraan’ atau kadang biar nyambung aja sih kalau diajak ngobrol. Yang fatal kadang mereka lupa dengan kebohongan sebelumnya, sehingga ketika tanya pertanyaan yang sama, maka jawabannya akan berbeda dan menjadi nyleneh.

7.       Si Arogan
Si Arogan biasanya adalah mereka memiliki power untuk menekan orang lain yang lebih lemah. Mereka sangat self-centered dan tidak mau memperhatikan kepentingan orang lain, yang paling utama adalah kepentingannya sendiri. Kadang orang arogan hanya ingin menunjukan kekuatannya kepada orang lain dan menginginkan sebuah respek dari mereka.  Respek itulah yang membuat mereka senang.

                Lantas bagaimana mengahadapi orang-orang yang seperti itu? Seperti yang saya sebutkan diawal, saya tidak bermaksud mengajak kamu memberikan judgement kepada orang lain, tidak mau membuat kamu menjauhi orang-orang yang ada disekitarmu, atau secara frontal membuat kamu memilih-milih untuk berteman. Nope. Tapi harus kita sadari bahwa berada dilingkungan orang-orang dengan energy negatif tinggi akan membuat kamu mudah terpengaruh energi mereka dan ikut-ikutan menjadi negatif. Seperti perumpamaan kuno jika kamu berada di toko minyak wangi, maka kamu bisa ikut berbau wangi, sementara jika kamu berada di tempat sampah maka kamu bisa ikut berbau sampah.

Berada di lingkungan orang-orang dengan energy negatif tentunya bisa membuat kamu cepat lelah, mood gampang turun bahkan dalam jangka waktu lama bisa membuat kamu depresi. Jika meninggalkan mereka adalah pilihan paling mudah, maka kamu tidak perlu buang waktu untuk segera melakukannya. Namun jika meninggalkan mereka adalah pilihan sulit karena berbagai factor, maka kamu cukup harus mengimbanginya dengan bergaul bersama orang-orang yang berenergi positif seperti bersama di pendengar yang baik, si optimistic, si praktis, si lemah lembut dan lain-lain.


Si aku, aku dan aku
bisa kamu hadapi dengan mengabaikan atau tidak antusias mendengarkan ceritanya. Si ngapain, diapain, begini saja bisa kamu hadapi dengan menunjukan bahwa kamu bisa mengatasi masalahmu sendiri dengan caramu sendiri. Si pesimis bisa kamu hadapi dengan sikap optimisme kamu dan menunjukan bahwa sikap optimism kamu membawa hasil yang baik juga. Si raja/ratu drama bisa kamu hadapi dengan sikap tegas dan praktismu yang tidak bertele-tele di hadapan mereka.

Saya yakin setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Jika kopi kamu terasa kurang manis, maka kamu akan menambahkan gula. Demikian juga hidup kamu, jika hidup kamu terasa kurang bermakna, atau kurang positif, maka kamu harus menambahkan sikap hidup yang positif, dengan cara bergaul dengan orang-orang yang positif juga.

Surabaya, 31 Oktober 2018
R. Shantika Wijayaningrat



Sumber Referensi
Alquran
Serat Wulangreh (Paku Buwono IV)
Serat Wedhatama (Mangku Nagoro IV)
Image by Google

Minggu, 30 September 2018

Be Yourself ! (Be Careful)


Mungkin kalimat ini terdengar tidak asing belakangan ini, memang ini adalah sebuah semboyan yang cukup popular dan terasa begitu pas ketika kamu bingung dalam kebimbangan, dalam keresahan akibat sebuah keadaan-keadaan tertentu.

Atau ketika kamu naksir seseorang, sementara seseorang itu menyukai orang lain yang karakter dan penampilannya berkebalikan dari kamu. Disitulah be yourself menjadi terasa syahdu berharap kamu menemukan seseorang mau menerima kamu apa adanya dirimu dengan segala kekuranganmu dan kelebihanmu.

Ada sebuah pesan positif yang kita dapatkan dari quote ini. Bagaimanapun juga setiap manusia dibekali kelebihan dan kekurangan oleh Tuhan untuk dijadikan modal dalam menjalani hidup. Kelebihan yang berbeda, dan kekurangan yang berbeda menjadikan nasib setiap manusia juga berbeda-beda.

Be yourself! Apakah kamu akan menjadi diri sendiri sepanjang waktu? Diri sendiri yang mana?

Cukup membingungkan memang semboyan ini jika kita tidak memahaminya secara tepat. Untuk menjadi diri sendiri sementara diri kita sendiri terus berkembang dan belajar.

Menjadi diri sendiri, diri sendiri yang mana? Menjadi diri sendiri yang tetap suka daging kambing sementara dokter sudah menvonis hypertensi? Diri sendiri yang malas bangun pagi, malas kerja sementara dompet kosong dan bon menumpuk? Atau diri sendiri yang pelit, suka mengumpat, suka dengki kepada tetangga sementara semua tetangga kamu tidak ada yang mau menyapa mu?

Sungguh ironi memang ketika kita berusaha menjadi “be yourself” justru menghambat kita untuk memperbaiki diri sendiri. Kata-kata be yourself justru menghalangi kita dari berintrospeksi diri dan mengoreksi akan kekurangan-kekurangan diri yang sebetulnya bisa menjadi lebih baik. Kadang kita berusaha hidup sesuai prinsip yang kita sendiri yakin cocok, tetapi sebetulnya justru prinsip hidup itu yang menghambat kemajuan kita. Toh padahal sejujurnya, ada banyak sekali prinsip hidup dan filosofi hidup yang kita bebas memilihnya sesuai dengan keadaan.

Jika kamu seorang jomblo, ingin punya pacar, tapi kamu malas bergaul, malas mandi, malas berpakaian yang enak dilihat orang, rambut awut-awutan, yang kamu lakukan hanya main game di kamar semalaman dan tidur sepanjang siang, keluar kamar hanya untuk makan, dan kamu sangat berharap sekali segera punya pacar yang cantik, sociable, enak diajak ngobrol. So just be your self! Dan kamu tidak akan pernah mendapatkan apa yang kamu inginkan.


Jika kamu seorang pemalas, malas bangun pagi, malas bekerja, pokoknya kamu maunya pengen tiduran di kamar sambil nonton TV seharian dan tidak mau melakukan hal lain. Tapi kamu ingin sekali bekerja, punya penghasilan sendiri, berada di kantor yang memiliki prestis tinggi. Dan ketika kamu meminta saran kepada temanmu, temanmu mengatakan  “Just be yourself” dan kamupun kembali tiduran di kamar dan tidak melakukan apa-apa lagi karena kamu merasa “This is yourself”, inilah prinsip hidupku.

Kamu orang yang tidak suka mengambil tanggung jawab, kamu hanya senang mengerjakan sesuatu di awal, ketika kamu bosan maka kamu akan melempar pekerjaanmu kepada orang lain sebelum menyelesaikannya. Atasan dan rekan-rekan kerjamu sangat sering mengkritik kamu dan menganggap kamu tidak bertanggung jawab. But what? kamu merasa “ya beginilah diri kamu” dan kamu merasa tidak perlu untuk berubah menjadi orang yang bertanggung jawab seperti yang diharapkan oleh teman-temanmu karena itu bukan diri kamu sendiri melainkan meng-imitasi orang lain.

Entah kenapa ada quote yang lebih melekat di hati saya  Be the best version of you” sebuah kalimat yang terasa indah di telinga dan memacu kita untuk selalu memperbaiki diri sendiri. Jika kamu seorang yang overweight atau obesitas, maka kamu menjaga pola makan dan mulai berolahraga, sehingga tubuh kamu sehat dan proporsional dan inilah versi terbaik dari penampilan kamu.

Jika kamu seorang pemalas, tapi kamu ingin lebih produktif, sehingga kamu berusaha untuk bangun lebih pagi, tidak suka menunda pekerjaan, dan berusaha menggunakan waktumu se efektif mungkin. Dan kamu merasa bahagia dengan perubahan itu, penghasilanmu meningkat dan kepercayaan datang kepadamu lebih banyak. And this is the best version of you!

Sesungguhnya dunia ini adalah perubahan, dan hidup ini adalah pilihan, kamu bisa memilih menjadi “be yourself” yang bagus, atau “be yourself” yang buruk. Tapi kamu juga bisa menjadi The best version of you, menjadi versi yang terbaik dari diri kamu sendiri.


Surabaya, 30 September 2018
R. Shantika Wijayaningrat




Sumber Referensi
Alquran.

Serat Wulangreh (Paku Buwono IV)

Serat Wedhatama (Mangkunagoro IV)

greatist.com/live/be-yourself-what-it-really-means

psychologytoday.com/us/blog/maybe-its-just-me/201107/definitely-be-yourself-make-sure-thats-the-best-you-you-can-be

theuniversityblog.co.uk/2009/09/28/be-yourself-be-genuine/

tinybuddha.com/blog/what-it-means-to-just-be-yourself-and-how-to-do-it/

Jumat, 31 Agustus 2018

Be Kind Anyway


           Apakah pernah suatu ketika kamu mengalami keadaan dimana kamu merasa kebaikan yang kamu lakukan adalah percuma. Kamu berusaha berperilaku sebaik mungkin yang kamu bisa, berusaha agar bisa diterima oleh orang-orang di lingkungan kamu, namun tetap saja ada yang tidak menyenangi kamu. Kamu berbuat baik kepada siapapun sebaik yang kamu bisa, namun tetap saja tidak semua balasan kebaikan yang kamu dapatkan. Hingga kamu mengalami sebuah keadaaan krisis kepercayaan terhadap kebaikan dan mulai berpikir untuk apa kamu melakukan kebaikan, toh orang disekitar kamu tidak semuanya baik.


Ada seorang seorang penjual mie di jalanan Kota Bangkok, Thailand yang terkenal murah hati, dia suka memberikan makanan kepada orang-orang yang ingin makan tapi tidak punya uang untuk membeli makanan. Meskipun dia seorang murah hati, tapi memang tidak semua orang senang kepadanya dan meniru kebaikannya, toh untuk apa berbuat baik kepada orang yang tidak mungkin bisa membalas kebaikan. Salah satu orang yang punya pikiran seperti itu adalah tetangganya si pemilik toko obat yang terkenal pelit. Suatu hari ada seorang anak miskin yang mencuri obat demam di toko milik tetangga si penjual mie, si anak miskin terpaksa melakukan itu karena ibunya sedang sakit sementara dia tidak memiliki uang sepeser pun untuk membeli obat. Namun malang, ketika mencuri malah ketahuan pemiliknya, alhasil si anak miskinpun ditangkap dihajar oleh si pemilik toko. Ketika ditanya untuk apa obat itu, si anak menjawab untuk ibunya yang sedang sakit, bukannya berbelas kasihan, si anak miskin malah ditahan oleh si pemilik toko. Mengetahui kesusahan si anak miskin, si penjual mie menebus obat-obatan yang dicuri kepada si pemilik toko obat dan memberikannya kepada si anak miskin. Sebelum pulang, si anak miskin bahkan sempat diberi sekantong sup sayuran untuk ibunya.

Tiga puluh tahun berlalu, si penjual mie masih tetap sama kehidupannya seperti biasanya. Tapi ternyata Tuhan bukannya membalas kebaikan si penjual mie dengan harta yang melimpah, tapi malah diberi ujian penyakit otak yang sangat parah, sehingga si penjual mie harus dirawat di rumah sakit dengan biaya yang besar. Karena tak mampu membayar biaya perawatan yang mencapai ratusan juta rupiah, keluarga si penjual mie terpaksa menjual toko mie miliknya untuk membiayai tulang punggung keluarga mereka. Tapi itulah Tuhan, DIA sudah mengatur semuanya dengan sedemikian rupa. Tanpa disangka keluarga si penjual mie diberitahu melalui surat resmi dari rumah sakit bahwa seluruh biaya perawatan sudah terbayar dan ditanggung oleh seseorang. Dalam surat itu dikatakan bahwa seluruh biaya perawatan telah dibayar 30 tahun yang lalu, dengan sebungkus obat demam dan sekantong sup sayur. Ternyata yang membayar biaya perawatan si penjual mie adalah si anak miskin yang dulu pernah dia tolong, dan sekarang menjadi dokter yang merawatnya. Ini adalah kisah nyata dari dr. Prajak Arunthong yang pernah ditolong oleh si penjual mie. Klik Dr. Prajak Arunthong

Ada banyak sekali di dunia ini orang yang menanam hari ini berharap sudah bisa memanen esok hari. Tapi ternyata Tuhan tidak bekerja demikian, Tuhan selalu memberikan waktu yang tepat kapan kamu akan menerima balasan dari perbuatanmu. Bukan hanya perbuatan baik, bahkan perbuatan jahat sekalipun, karma-nya pun bisa jadi akan kamu terima di waktu yang tidak kamu duga.  

Jika kamu berharap balasan kebaikan dari semua orang yang kamu tolong, yang kamu dapat mungkin malah keputus-asaan karena tidak semua orang bisa menghargai kebaikan orang lain. Tapi jika kamu meyakini kebaikan yang kamu lakukan adalah juga untuk diri kamu sendiri, maka kamu akan terus bersemangat untuk berbuat baik. Dan kata orang Jawa “Gusti Mboten Sare” Tuhan itu Tidak Tidur, kebaikan yang kamu lakukan pastilah akan dibalas oleh Tuhan di waktu dan keadaan yang tepat, yang mungkin kamu tidak pernah menyangka, mungkin dibalas saat itu juga, esok hari, bulan depan, tahun depan, 30 tahun lagi, atau bahkan yang menerima balasan kebaikanmu adalah anak-cucu mu. Hanya Tuhan yang tahu waktu yang tepat. So, jangan pernah menganggap berbuat baik itu adalah percuma.

Surabaya, 31 Agustus 2018
R. Shantika Wijayaningrat




Sumber Referensi

Alquran

Serat Wulangreh (Paku Buwono IV)

Serat Wedhatama (Mangku Nagoro IV)

beavercreekfarm.co/we-cant-make-everyone-happy/

socialtriggers.com/you-cant-make-everyone-happy-stop-trying/

Image by Google


Mother Teresa of Calcutta, my life inspiration


Sabtu, 14 Juli 2018

Stop Comparing: Hidup Bukanlah Sebuah Lomba Lari


    Beberapa waktu yang lalu seorang teman mengungkapkan betapa kesalnya dia dibanding-bandingkan dengan saudaranya, apalagi moment itu adalah moment lebaran yang seharusnya digunakan untuk saling memaafkan dan mengakrabkan diri. Awalnya sih ditanya sekarang sedang kerja dimana, eh tapi kemudian merembet menyinggung hal-hal pribadi mulai dari kapan nikah hingga rencana masa depan. Belum puas sampai disitu, mereka seolah men-judge dan membandingkan kehidupannya dengan kehidupan saudara-saudaranya yang lain yang sudah mapan, menikah, punya anak dan seterusnya. Dan rasanya seperti “they ruined the day”.

       Saya meyakini tak hanya satu teman saya itu saja yang pernah merasakan hal tersebut. Banyak diantara kita yang juga pernah mengalamai hal yang sama. Dan bahkan mungkin di moment yang sama.


      Bagi generasi peralihan dari X Generation[1] menuju Millenials Generation[2] yaitu generasi yang lahir antara 1985 – 1990, rasanya memang agak berat ketika kita sudah mengikuti nilai-nilai kehidupan modern seperti layaknya Generasi Millenials, tetapi masih dinilai orang lain dengan menggunakan ukuran-ukuran tradisional yang masih dipakai oleh X Generation.

       Ukuran-ukuran tradisional X Generation seperti bekerja sebagai PNS/BUMN artinya kamu mapan, bekerja bidang swasta artinya kamu tidak mapan, berwirausaha/entrepreneur artinya kamu serabutan (kemudian direkomendasikan daftar CPNS/BUMN) menikah muda artinya kamu bahagia, menikah usia 30an artinya kamu terlambat, punya tabungan di bank artinya kamu kaya, punya investasi di danareksa artinya kamu judi/untung-untungan dan masih banyak ukuran-ukuran kehidupan yang lain. Atau bahkan mungkin kita sendiri yang mengukur kehidupan orang lain dengan ukuran-ukuran seperti itu?. Sedih memang, tetapi lebih sedih jika kita dibanding-bandingkan dengan orang lain, rasanya seperti sedang diperlihatkan bahwa dia adalah contoh yang baik sedangkan kamu adalah contoh yang buruk. Hidup menjadi seolah sebuah lomba lari dengan garis finis yang sama dan rute yang dilalui juga harus sama.

         Jika kita boleh sedikit merubah sudut pandang sebentar, jangan-jangan kita juga termasuk orang yang suka membanding-bandingkan orang lain dengan diri kita?

       Setiap orang memiliki ukuran hidupnya masing masing. Tidak ada yang saling mendaluhui dalam hidup. Semua orang memiliki arah perjalanan hidup yang berbeda-beda meskipun tujuan hidupnya adalah kebahagian. Kita sering mengukur diri kita menggunakan ukuran orang lain. Atau mengukur hidup orang lain dengan ukuran hidup kita. Kendati demikian sesungguhnya hal tersebut tidaklah tepat. Kita tidak tahu seberapa berat kehidupan yang mereka lalui, dan seberapa panjang perjalanan untuk mencapai fase demi fase kehidupan.

       Jika kamu dan temanmu ingin melakukan perjalanan dari Solo menuju Jakarta, temanmu mungkin lebih senang lewat jalur pantura yang lurus, lebar dan paling umum untuk dilalui, tapi ternyata kamu lebih senang lewat jalur selatan yang berbelok-belok tapi dipenuhi pemandangan yang indah. Ketika temanmu sampai di Brebes, sedangkan kamu sampai Cilacap, apakah bisa temanmu mengatakan “Aku sudah sampai Brebes nih, masa kamu baru sampai Cilacap?” padahal teman kamu tersebut tidak pernah mengetahui dimana dan seperti apa Cilacap itu. Sebuah perbandingan yang lucu jadinya karena sama sekali nggak nyambung. Lebih lucu lagi orang-orang lain yang juga terbiasa lewat Brebes ikut mentertawakan dan merekomendasikan kamu untuk segera menuju Brebes, seolah kamu telah tersesat dan tidak punya masa depan lagi, meskipun pada akhirnya semua akan sama-sama sampai di Jakarta. Mungkin begitulah perumpamaannya ketika kehidupan kita diukur orang dengan ukuran kehidupan mereka. 

        Lebaran berikutnya mungkin masih akan ada hal-hal yang sama, ketika satu pertanyaan terjawab, masih akan ada pertanyaan-pertanyaan lain. "Kapan nikah? kapan punya anak? kapan anaknya tumbuh gigi? kapan anaknya bisa jalan? kapan dibikinin adek? Kapan disekolahin? kapan lulus kuliah? kapan dikenalin  pacar? kapan nikah? ---------> Back to the first question.

       Umur ini terlalu sayang jika harus dihabiskan untuk membanding-bandingkan. Hidupmu sungguh indah dan penuh petualangan, setiap puncak yang kamu daki dan jurang yang kamu turuni tidak layak dibandingkan dengan apapun di dunia ini. Tak usahlah membandingkan puncak-puncak orang lain, toh hidup ini sawang sinawang, segala sesuatu yang terlihat hanyalah kelihatannya.

Surabaya, 14 Juli 2018
R. Shantika Wijayaningrat




[1] Generasi yang lahir antara 1961 - 1981
[2] Generasi yang lahir antara 1990 - 2000
Klik juga Life is Sawang Sinawang



Sumber Referensi
Mangkunagara IV. Wedhatama. Pura Mangkunegaran: Reksa Pustaka
http://shantikawijaya.blogspot.com/2016/05/life-is-sawang-sinawang.html
Susanto, Dedy. Pemulihan Jiwa. 2012. Jakarta: Transmedia Pustaka
https://www.psychologytoday.com/us/blog/prescriptions-life/201803/how-stop-comparing-yourself-others
https://www.developgoodhabits.com/stop-comparing-yourself-to-others/
https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20160823145217-445-153268/generasi-millenial-dan-karakteristiknya/

Minggu, 24 Juni 2018

FILOSOFI PATAH HATI


             Walaupun saya tidak sedang patah hati tapi artikel ini saya dedikasikan untuk teman-teman yang sedang patah hati atau bahkan yang sering patah hati.


Saya ingat ketika dulu SMP, saya sering dicari teman-teman yang baru saja ‘putus’ atau ‘nembak terus ditolak’ untuk sekedar curhat atau meminta masukan. Ada yang curhatnya santai sambil minum fanta di kantin, ada juga yang curhatnya sambil berurai air mata di ruang UKS. Pada waktu itu kami masih sama-sama remaja, tapi entah mengapa teman-teman begitu percaya kepada saya, untuk menjaga rahasia, untuk memberi masukan, bahkan untuk memotivasi mereka untuk bangkit lagi. Dan itu terus berlanjut sampai SMA, kuliah bahkan sampai sekarang dengan berbagai permasalahan mulai yang ringan sampai yang super complicated. Mungkin benar kata Bunda Febri (salah satu motivator terkenal dari Solo) bahwa saya memiliki aura yang ‘mengundang’. A healing aura that attract damaged people. #lol


Kata orang, pengalaman adalah guru yang paling baik (walaupun juga guru yang paling tanpa ampun). Bagi orang yang baru pertama mengalami patah hati, mungkin sakitnya indescribable. Akan sulit untuk memulai sebuah hubungan baru lagi, karena takut patah hati lagi. Tapi seiring berjalannya waktu, luka yang lama perlahan sembuh dan muncul gairah untuk memulai sebuah hubungan lagi. Meskipun kata orang yang melihat dari sudut pandang biologis, cinta dan ketertarikan terhadap lawan jenis adalah dipengaruhi oleh hormon. Namun tetap saja itu adalah sebuah kebutuhan yang dirasakan oleh setiap individu.

Kembali ke pengalaman, ketika kita belajar memasak pertama kali, awalnya mungkin kurang asin, ditambah garam, ternyata jadi terlalu asin, ditambah air, rasanya jadi agak hambar, tambah bumbu lagi, tambah ini-itu dan diperbaiki lagi sampai semuanya terasa pas di lidah.

Cinta juga seperti itu, ada yang langsung berjodoh (tapi jarang), ada juga yang harus mengalami patah hati berkali-kali baru ketemu jodoh yang pas. Even though ada juga yang putus-nyambung putus-nyambung baru terasa pas.

Patah hati akan membuat kamu belajar banyak hal. Pertama, membuat kamu belajar bahwa tidak semua hal di dunia sesuai dengan keinginanmu. Kedua, membuat kamu belajar bahwa karakter manusia itu bermacam-macam. Semakin sering patah hati, kamu semakin menyadari bahwa setiap orang itu memiliki keunikan yang ada pada diri mereka. Kamu jadi tahu bagaimana menghadapi orang dengan berbagai karakter.

Mungkin mantan pertama kamu adalah orang yang super posesif, harus ngasih kabar sepanjang waktu, dia harus tahu agenda kamu dan dengan siapa saja. Mantan selanjutnya super manja, kalau nggak diingetin makan, dia nggak makan, kalau nggak dijemput dia nggak berangkat. Berikutnya mantan super sensitive, sedikit-sedikit ngambek, sedikit-sedikit marah, masalah sepele bisa jadi perang. Lalu mantan super cuek, punya pacar serasa jomblo, kalau nggak ditanya duluan dia nggak ada kabar.

Jika ternyata kamu pernah menghadapi mantan-mantan semacam itu, maka kamu layak mendapat gelar Master. Kamu sudah cukup matang untuk memulai sebuah hubungan yang lebih dewasa, karena kamu sudah berpengalaman menghadapi banyak masalah dan tahu cara mengatasinya. Dan tidak perlu ragu untuk melangkah ke jenjang berikutnya.

Perkara kamu dicap orang rapuh karena sering patah hati, tidak masalah. Daripada kamu telanjur berkomitment dan kemudian menyesal di belakang. Toh orang hanya penonton, tidak merasakan apa yang kamu rasakan.

Lalu bagaimana dengan yang patah hati berkali-kali dengan orang yang sama? I have to say, it’s wasting time. Berarti keduanya tidak belajar dari kesalahan yang sama. Lalu bagaimana dengan yang takut memulai hubungan karena takut patah hati? Artinya dia tidak percaya Tuhan, seolah-olah Tuhan akan meninggalkan dia begitu saja di tengah jalan. Bagaimana mau belajar nyetir kalau dari awal pikirannya sudah masuk jurang, nabrak tebing, mobil mogok, tertimpa pohon tumbang, terseret lahar dingin tanpa membayangkan tujuan yang dicapai dalam perjalanan.

Pada akhirnya, generasi patah hati adalah generasi yang sedang dididik oleh semesta, bahwa tidak semua jalan yang kita lalui selalu mulus dan lancar, mungkin kita akan melewati tanjakan, turunan dan tikungan tajam. Entah itu berulang-ulang atau tidak, tergantung seberapa cepat kita belajar. Tapi setidaknya mereka yang mengambil langkah, jauh lebih baik daripada mereka yang takut untuk mencoba.



Surabaya, 24 Juni 2018
R. Shantika Wijayaningrat
                                           
Klik juga Life is Sawang Sinawang agar kamu lebih bersyukur akan hidupmu


Sumber Referensi
http://shantikawijaya.blogspot.com/2016/05/life-is-sawang-sinawang.html
Mangkunegara IV. Serat Wedhatama. Reksa Pustaka Mangkunegaran
Pradiansyah, Arvan. 7 Laws of Happiness. 2015. Jakarta : PT Integritas Lestari Manajemen
Susanto, Dedy. Pemulihan Jiwa. 2012. Jakarta: Transmedia Pustaka

Jumat, 11 Mei 2018

Apa Makna Usia 30 Buat Kamu?

           Satu minggu setelah ulang tahun saya yang ke 28, saya duduk sendirian di ruang meeting Ndalem Sasana Mulya, waktu sudah hampir pukul 11 malam tapi saya masih belum ingin beranjak untuk beristirahat dan tidur. Laptop masih menyala, berisi design publikasi yang rasanya tidak selesai-selesai, playlist music sudah habis satu jam yang lalu tapi tidak ada niatan untuk me-replay lagi. Seems like a lot of things rushing in my head. Membayangkan usia 20an akan segera berakhir dan ada banyak hal yang belum saya lakukan, membayangkan langkah di tengah kabut untuk memulai umur 30an. Rasanya antara dada sesak, kepala berat ke belakang dan pundak seperti memanggul sakaguru di pendopo Sasana Mulya.

            Enam bulan kemudian saya membaca sebuah artikel di Huffingtonpost, berjudul Apa Makna Usia 30 Tahun Bagi Seseorang di Seluruh Dunia (ori: What Turning 30 Years Old Means to People Around the World) yang memberi kesimpulan kepada saya bahwa apa yang saya rasakan 6 bulan yang lalu, juga pernah dirasakan oleh sebagian orang di seluruh dunia ini. Meskipun latar belakang gender, pendidikan, budaya, pekerjaan dan keluarga memberikan pengaruh yang berbeda bagi setiap orang.

Contohnya Stefanie, seorang penulis & model yang tinggal di New York. Dia mengatakan “I don’t really care about being 30, I am confident enough to just not care

Oscar, seorang pekerja tambang asal Potosi, Bolivia mengatakan “Turning 30 did not change much in life. I got my first children quite early (21 yo) and all responsibilities came that time”.

Anne, seorang konsultan yang tinggal di Paris mengatakan “I am 30, I don’t feel old, I am young at heart. That’s what really matters!

Sementara Beatrice, seorang entrepreneur asal Malawi, Afrika, mengatakan “I am old, because 30 is a lot of years. I have 3 children already, the oldest is 11. That almost as if the next generation was already there. It seems like my life is already settled and won’t deviate much from what it is now in the future

          Mungkin bagi Stefanie & Anne yang tinggal sebuah kota besar di negara maju, usia hanyalah sekedar angka yang sama sekali tidak akan mempengaruhi apapun tentang dirinya, maupun pandangan orang lain akan dirinya. Masyarakat negara maju memahami betul bahwa usia bukanlah sebuah ukuran untuk menilai seseorang, bahkan mereka juga tidak terlalu peduli untuk menilai orang lain.


          Berbeda dengan Oscar & Beatrice yang tinggal di negara berkembang, dimana adat, budaya & pandangan masyarakat masih menjadi semacam pakaian yang sulit dilepas. Usia 30 adalah usia settled dimana semua orang haruslah sudah mapan di usia itu, sudah memiliki anak, sudah menjalani kehidupan sebagaimana orang-orang pendahulu mereka yang bekerja keras dan bukan saatnya lagi untuk memulai pekerjaan atau hal-hal baru.

      Saya mencoba bertukar pikiran dengan beberapa orang teman yang sama-sama hampir mengakhiri 20an, dan ternyata pandangan mereka membuka mata saya.

          Sebut saja Mas Indra yang November nanti genap 30, dia sudah mempersiapkan akan menikah setelah lebaran nanti, dia sendiri dengan jujur mengatakan bahwa siap tidak siap harus memenuhi target menikah sebelum usia 30, sebuat target yang dia buat sendiri, dan secara konsisten dia penuhi sendiri. Bagi Indra usia 30 adalah usia untuk memulai sebuah kehidupan yang settled, kehidupan yang secara konsisten dia jalani dengan penuh komitmen, menjalankan rencana yang sudah dirancang sejak usia 20an, menikah, punya anak, punya rumah sendiri, nggak pindah-pindah kerja lagi, tidak berlarian mencari pengalaman, melainkan mulai memanfaatkan pengalaman yang sudah didapat selama ini dan menekuni apa yang sudah dimulai. That’s it.

          Beda lagi dengan mbak Nia yang sudah resmi 30 sejak Februari kemarin. Bagi Nia yang sudah berkeluarga dan punya anak 1, usia 30 adalah waktu yang tepat untuk meningkatkan karier. Anaknya yang sudah berumur 4 tahun sudah bisa ditinggal dengan kesibukan-kesibukan kantor dan bisa lebih leluasa berbagi tugas dengan suami. Mbak Nia juga sudah mempersiapkan budget sejak kelahiran anaknya agar bisa memasukan anaknya ke sekolah usia dini yang fullday agar dia bisa lebih fokus terhadap karier. Baginya, anak dan keluarga adalah motivasi terbesarnya untuk meningkatkan karier, supaya masa depan lebih mudah.


          Berlawanan dengan Mbak Andri yang berusia 30 di Januari tahun depan, dia malah berencana resign dari pekerjaan agar bisa lebih fokus dengan keluarga. Apalagi dia berencana ingin punya anak kedua di usia 30 nanti. Bagi Andri, usia 30 adalah usia yang tepat untuk memantapkan tujuan hidup, dia secara sadar dan penuh tanggungjawab memantapkan dirinya sebagai ibu rumah tangga. Dia sadar ketika usianya masih 20an banyak sekali ambisi dan target yang dia kejar. Meskipun tidak semuanya terpenuhi, dia merasa bahwa usia 30 adalah sudah bukan saatnya lagi untuk mengejar sesuatu yang muluk-muluk, melainkan menetapkan target hidup yang lebih realistis, apalagi yang sudah berkeluarga maka harus secara rasional membagi waktu, materi dan energy antara cita-cita dan keluarga. Bagaimana dengan ambisi yang tidak terpenuhi? Well, dia sudah mengikhlaskannya. Baginya prioritasnya saat ini adalah keluarga kecilnya.

          Now, Dani yang berulangtahun ke 30 di bulan Juni tahun depan. Baginya usia 30 hanyalah perubahan dari yang biasanya dipanggil “Mas” oleh reception kantor menjadi dipanggil “Pak”. Menjadi anak bungsu di keluarganya meyakinkan dia bahwa orang tuanya sudah cukup bangga dengan pencapaian kakak-kakaknya, karena itu dia memilih untuk menikmati setiap detik dalam hidupnya untuk mencapai target yang dia buat sendiri tanpa terpengaruh tuntutan untuk menjadi “seseorang” dan tuntutan untuk bebas pertanyaan “kamu kapan nikah?” saat halal bihalal lebaran. Meskipun belum ada rencana menikah, bahkan calonpun belum ada, Dani mulai secara konsisten menabung dan memikirkan keamanan finansial di masa depan. Dani awalnya banyak menghabiskan uang untuk trip & jalan-jalan, seperti backpacker-an ke Raja Ampat, Komodo, Jepang, Macau, dll. Kini mendekati 30, dia akan fokus menggunakan uang untuk mempersiapkan masa depan. Setidaknya selama ini dia menggunakan uangnya untuk mendapatkan pengalaman & petualangan yang 'immortal', bukan untuk membeli benda-benda yang 'mortal' seperti pakaian bermerek, suplemen atau aksesoris yang sebetulnya tidak benar-benar dia butuhkan.

          Ada lagi Jeng Tia, dia sama sekali tidak mau diingatkan bahwa sebentar lagi usianya 30, bahkan tidak mau mendengar kata “tiga puluh” atau melihat angka 30. Cukup unik memang yang satu ini.

          Tapi semua itu hanyalah sebuah random sampling opini dan stereotype yang setiap orang bebas memiliki pendapatnya sendiri. Saya sendiri yang sebentar lagi memasuki dekade ke 3 awalnya merasakan sesuatu yang nano-nano. Antara senang, sedih, deg-degan, bingung what to do next, dan perasaan-perasaan lain yang unexplainable. Perasaan antara nilai keterikatan sosial orang timur dengan nilai kebebasan individu orang barat.


          Kini saya lebih banyak menikmati sisa 20an saya dengan target-target yang secara realistis bisa saya lakukan. Saya lebih banyak bersyukur dengan mengenang kembali apa yang telah saya capai. Bersyukur atas perjalanan hidup yang mungkin memang tidak mulus seperti yang direncanakan, tapi perjalanan itu membawa saya kepada sebuah keadaan yang penuh petualangan hidup. Bersyukur merasakan moment yang begitu intim dengan Tuhan pada saat-saat keterpurukan. Tapi juga bersyukur setidaknya pernah merasakan pulang hampir subuh dengan linglung dan mulut berbau alcohol. Bersyukur pernah bertemu dengan orang-orang hebat, dan berteman dengan orang-orang baik meskipun mereka datang dan pergi silih berganti.

          Kini menyambut usia 30, saya tidak akan terlalu serius dan kaku dengan keadaan, toh memang kita tidak diciptakan untuk bisa memenuhi harapan semua orang. Saya juga tidak akan banyak menuntut diri sendiri dan orang lain dengan standart yang saya buat. Kita banyak menentukan standard di usia 20an, karena memang usia 20an adalah usia pencarian jatidiri. Kita membuat list pekerjaan, lifestyle, posesi, obsesi, pasangan hidup, pesta pernikahan dengan standart setinggi mungkin yang bisa kita buat. Di usia 30an kita akan menentukan secara lebih jernih siapa diri kita sebenarnya sebagai seorang individu dan juga sebagai bagian dari system sosial. Berbagai masalah dan kesukaran yang kita alami di usia 20an akan menuntun kita menuju hidup yang lebih terarah di usia 30

          Kita akan lebih bijaksana terhadap keadaan, lebih empati terhadap orang lain dan lebih bersyukur atas apa yang telah dilalui. Tidak ada lagi yang perlu ditakutkan, toh buat apa membuang energy untuk sesuatu yang tak dapat kita tolak?

Surabaya, 11 Mei 2018
R. Shantika Wijayaningrat


Sumber Referensi
Jenny Zhang, What Turning 30 Years Old Means to People Around the World. Huffingtonpost. 2015: New York
https://www.psychologytoday.com/articles/199409/learning-love-growing-old
Midi-life Crisis. Cambridge University Press
Serat Wulangreh (Paku Buwono IV)
Serat Wedatama (Mangkunegara IV)