Playlist : Musik lembut
Pulang ke Malang membuat saya bisa sering bertemu dan berkumpul dengan
teman-teman lama, teman-teman masa remaja dan juga the old gank entah itu untuk business meeting atau sekedar ngobrol ngalor-ngidul. Ada 6
orang yang bisa dibilang teman-teman dekat saya di masa itu, tiga diantara
perempuan (one is little bit masculine woman lol), kami bertujuh dulu
hampir tiap hari nongkrong bareng, mulai dari nongkrong yang positif sampe yang
tidak terlalu positif (namanya juga remaja) tapi semuanya masih dalam
batas kewajaran (menurut ukuran remaja jaman itu). Walaupun jaman sudah berubah
dan keadaanpun juga sudah berubah, tapi kalau sudah berkumpul rasanya masih
sama seperti bertahun-tahun yang lalu, bebas mengobrol, bebas curhat, bebas
meledek dan saling mencela tanpa perasaan takut ada yang tersinggung, yah
you know lah sadisnya guyonan jawa timuran. … I feel like my east
Javanese spirit is coming back… lol.
Pada saat kumpul-kumpul, ada sebuah obrolan yang awalnya sekedar
bercandaan, tapi berubah menjadi agak lebih serius ketika membicarakannya,
yaitu tentang pasangan hidup…. exactly. Diantara enam teman saya,
baru ada satu orang yang sudah berkeluarga dan ada satu orang lagi yang tahun
depan akan berkeluarga, sisanya single as a pringle. Padahal kalau
dilihat, mereka nggak jelek-jelek amat, yang cewek-cewek faham cara
berpenampilan, sedangkan yang cowok-cowok juga nggak ada culun dan garing.
Apa ini kutukan karena dulu kita pernah ngasih wafer tango di mulut
patung Gajah Mada di Gunung Bromo?
Akhirnya terbukalah sebuah forum curhat mengenai ke-single-an masing-masing. Semuanya mendengarkan curhatan satu sama lain. Dari semua
curhatan, saya berkesimpulan ada dua hal yang menyebabkan teman-teman saya
kesulitan dalam mendapatkan tambatan hati. Yang pertama adalah karena terlalu
banyak memilih dan yang kedua adalah karena terlalu mengkhawatirkan
seperti apa masa depan nanti.
Saya teringat sebuah novel klasik yang pernah saya baca waktu kuliah
yang berjudul “Pride and Prejudice”, saya dipaksa dosen untuk membaca
novel ini selain novel The Great Gatsby demi lulus mata kuliah Book
Report, meskipun sebetulnya saya bukan tipe orang yang suka membaca cerita
melankolis. Novel klasik ini sangat bagus meskipun bahasanya agak njlimet
dan vocabulary yang archaic karena masih ada pengaruh tata bahasa
Inggris kuno, maklum novel ini ditulis tahun 1813 di London. Tokoh utama dalam
cerita Pride and Prejudice adalah Elizabeth Bennet dan Fitzwilliam Darcy. Elizabeth adalah seorang gadis yang sangat
cantik dan cerdas, dia juga sangat baik hati karena lebih memikirkan
kepentingan keluarganya di atas kebahagiaan dirinya sendiri, tapi Elizabeth
sangat mudah berprasangka buruk kepada orang lain, sangat skeptis dan selalu
menilai orang dari apa yang dia lihat saja. Sementara Mr. Darcy adalah pemuda
yang berasal dari keluarga terhormat, tampan dan kaya raya, tapi status
sosialnya yang begitu tinggi membuat dia menjadi sangat angkuh dan pilih-pilih.
Elizabeth dan Mr. Darcy pertama
kali bertemu dalam sebuah pesta dansa, dan keduanya langsung jatuh hati satu
sama lain. Meskipun Mr. Darcy sangat ingin mengenal lebih dekat Elizabeth,
namun dia merasa terlalu gengsi jika harus mendekati Elizabeth yang berasal
dari keluarga menengah. Pada dasarnya Mr. Darcy sudah menentukan
kriteria-kriteria gadis yang cocok untuk dirinya, dan Elizabeth sungguh sangat
jauh dari semua kriteria yang sudah dia buat. Sementara Elizabeth sendiri
begitu berkenalan dengan Mr. Darcy dan melihat dia sebagai seseorang yang
angkuh, langsung membuat berbagai prasangka buruk dan pikirannya dipenuhi
dengan pikiran skeptis, meskipun Elizabeth sendiri juga tidak bisa memungkiri
bahwa dia telah jatuh hati kepada Mr. Darcy.
Mr. Darcy sebetulnya tidak seburuk yang Elizabeth kira, karena Mr. Darcy
diam-diam juga memiliki perasaan yang lembut dan selalu memperhatikan Elizabeth.
Hubungan keduanya semakin lama semakin buruk karena berbagai kesalah pahaman
yang disebabkan oleh keangkuhan Mr. Darcy (Pride) dan sangkaan buruk
Elizabeth (Prejudice). Meskipun dalam hati keduanya memiliki perasaan
cinta yang semakin lama semakin kuat.
Akhir dari cerita ini adalah “nyambung-nya” hubungan
antara Elizabeth dengan Mr. Darcy, setelah Mr. Darcy mulai meruntuhkan semua kegengsiannya
dan Elizabeth mulai berpikiran positif terhadap Mr. Darcy dan masa depan
hubungan mereka. Concisely, it’s happy ending.
Berdasarkan penelitian University of Missouri tahun 2008, ada beberapa
kecenderungan yang menyebabkan seseorang dengan pendidikan tinggi (diploma ke
atas) mengalami kesulitan dalam menemukan pasangan, yang ditengarai menjadi
penyebab paling tinggi adalah high expectation standart. Yah semua orang
mungkin memang memiliki kriteria
tertentu seperti yang dibuat oleh Mr. Darcy. Setiap laki-laki mungkin
menginginkan pasangan yang cantik, seksi, pintar dandan, enak diajak ngobrol,
gaul, layak dipamerkan ke teman-temannya dan berbagai kriteria lain. Sementara
para wanita cenderung mengharapkan pasangan yang tampan, kaya, atletis, punya
pekerjaan keren, sanggup menghidupi dia dengan segala lifestyle
nya. (Mohon tidak digeneralisasi)
Ternyata high expectation standart yang diharapkan dari calon
pasangan merupakan barrier paling tinggi dalam memulai sebuah hubungan.
Kalau boleh saya sebut hal tersebut saya istilahkan sebagai “Pride” atau
gengsi. Karena pride inilah yang menghalangi kita untuk melihat ketulusan
orang-orang di luar standart untuk dekat dengan kita. Semua orang boleh saja
mengharapkan pasangan sempurna seperti orang-orang keren yang sering kita lihat
dan kita “love” di instagram. Tapi perlu diingat semakin tinggi standart
yang kita tentukan, maka semakin sulit juga hal tersebut terpenuhi (seperti
teori ekonomi supply and demand). Tapi tidak ada yang melarang juga sih
kalau mau berusaha keras. Tetapi sesempurna orang yang terlihat di instagram
pastilah juga memiliki kelemahan yang tidak terlihat atau malah sengaja
ditutupi (seperti teori Character Psychoanalytic oleh Karen Horney yang mengatakan bahwa seseorang
cenderung mengekspos kelebihan yang dia miliki untuk menutupi kekurangan yang
besar ).
Hal paling tinggi kedua menurut jurnal University of Missouri tahun 2008
adalah prasangka buruk terhadap setiap orang yang terlihat ingin dekat
dengan kita dan juga prasangka buruk terhadap sebuah hubungan di masa depan.
Hal ini kadang disebabkan oleh pengalaman masa lalu yang buruk, baik itu
dialami oleh diri sendiri maupun orang lain. Seperti Elizabeth Bennet yang
pernah merasa takut dimanfaatkan oleh Mr. Darcy. Kadang kita terlalu memikirkan
banyak resiko yang akan dihadapi jika menjalin sebuah hubungan, seperti ada
sebuah perasaan insecure. Prejudice semacam ini semakin
bertambah buruk jika kita memiliki teman dekat yang pernah mengalami perceraian
atau patah hati yang dalam, yang bisa membuat kita berpikir ulang untuk memulai
sebuah hubungan serius. Selain itu prejudice terhadap ikatan masa depan seperti
takut tidak lagi bebas, takut memiliki banyak tanggung jawab, takut memenuhi
kebutuhan yang pasti akan lebih banyak juga menghambat seseorang untuk berkomitmen
terhadap sebuah hubungan.
Seperti moral value Pride and Prejudice, maka kita perlu meruntuhkan
segala keangkuhan/kegengsian yang kita miliki, kita manusia yang tidak
sempurna, maka sudah sepantasnya kita juga menerima orang lain yang tidak
sesempurna seperti yang kita inginkan. Berburuk sangka kepada orang lain
hanya akan membuat kita kehilangan banyak teman dan kesempatan, dalam filosofi
jawa dikatakan “janma tan kena kinira”
apa yang terlihat dari seseorang saat ini sesungguhnya tidak bisa
mewakili kedalaman jiwa-nya, ketulusan hati-nya dan besarnya masa depannya.
Mengkhawatirkan masa depan seperti halnya kita tidak percaya kepada Tuhan,
apapun bisa terjadi di masa depan, bahkan hal-hal yang saat ini menurut kita mustahil
sekalipun.
Saya ingin menceritakan kisah seorang teman dekat saya, semoga dia
berkenan diceritakan kisahnya. Namanya Okta, sosok ini dipenuhi dengan pikiran-pikiran
positif dan selalu optimis akan masa depan. Sebelum hijrah ke Jakarta, dia
punya pengalaman buruk tentang sebuah hubungan, mulai dari patah hati, hubungan
beda keyakinan sampai dengan hubungan yang digantung. Tapi sikap yang optimis
dan sumarah membuat dia melewati semuanya dengan tanpa beban, toh hidup
sudah ada yang mengatur. Okta ini juga bukan tipe orang yang punya banyak kriteria
mengenai pasangan hidup. Dia tidak membebani hidupnya dengan kriteria calon pasangannya
nanti harus begini, harus begitu, harus punya ini, harus punya itu, dia los-kan
semuanya dengan penuh kesadaran. Alhasil, tidak lama setelah tinggal di
Jakarta, dia menemukan seseorang yang betul-betul pas dengannya dan menikah
beberapa saat kemudian. Happily ever after.
Pride & Prejudice seperti sebuah dinding antar perasaan. Selama
pride kita masih tinggi dan prejudice kita masih penuh, maka semuanya nampak sangat
kabur, tidak ada kejelasan. Bagai menatap air keruh, kita tidak pernah bisa
melihat dasarnya.
Selamat menyambut tahun baru wahai jiwa-jiwa yang baru!
Malang , 27 Desember 2016
R. Shantika Wijayaningrat