Artikel
saya beberapa waktu yang lalu mengenai kondisi terkini keraton-keraton
masyarakat Jawa, mendapatkan respon yang cukup menarik dari para pembaca. Namun
demikian bagi masyarakat yang masih awam akan hal sejarah Jawa abad pertengahan,
ternyata mengalami kesulitan dalam menghubungkan keraton-keraton tersebut
dengan Kerajaan Mataram. Selain itu, awal mula keraton-keraton di Solo dan
Jogja juga ternyata membingungkan bagi sebagian orang.
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, saya mencoba membuat skema silsilah
keraton-keraton Jawa terutama yang masih eksis di Jawa Tengah dan DIY.
(Untuk dapat membaca dengan lebih jelas, akan lebih baik jika gambar berikut di download terlebih dahulu dan dibuka melalui gallery/ photo viewer) |
Dari
silsilah di atas sangatlah jelas bahwa awal mula keraton-keraton di Solo dan
Jogja berasal dari Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram diproklamirkan oleh Raden
Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati. Sebagian masyarakat mengatakan
yang mendirikan Kerajaan Mataram adalah ayah Panembahan Senopati yang bernama
Kiai Ageng Pemanahan, namun bagi saya hal tersebut tidak tepat, karena meskipun
yang membuka hutan Mentaok untuk dijadikan pemukiman adalah Kiai Ageng
Pemanahan, tetapi pemukiman baru yang bernama Mataram tersebut masihlah
berstatus bawahan Kesultanan Pajang. Baru ketika Raden Sutawijaya menjadi
penguasa Mataram, beliau memproklamirkan bahwa Mataram tidak lagi berada
dibawah Kesultanan Pajang. Toh memang sebetulnya yang berhak atas Hutan Mentaok
waktu itu memanglah Sutawijaya, karena beliau yang berhasil membunuh Harya
Penangsang, tetapi karena usia Sutawijaya terlalu muda, ayahnya khawatir Sultan
Pajang akan membatalkan hadiah Hutan Mentaok dan menggantinya dengan
putri-putri ataupun perhiasan-perhiasan, sehingga Kiai Ageng Pemanahan
mengklaim bahwa yang membunuh Harya Penangsang adalah dirinya dan saudaranya
yang bernama Kiai Penjawi.
Sri Susuhunan Paku Buwono XII (1925 - 2004) |
Raja-raja
Mataram awalnya memakai gelar Panembahan
karena alasan tertentu, baru kemudian cucu Panembahan Senopati yang bernama
Raden Mas Rangsang memulai menaikan gelarnya secara resmi menjadi Sultan Mataram dengan menggunakan gelar
Sultan Agung. Raja-raja setelah
Sultan Agung menaikan lagi status gelarnya menjadi lebih tinggi dengan gelar Susuhunan Mataram yang dimulai dengan Susuhunan Amangkurat I. gelar susuhunan
disini memiliki makna bahwa raja sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan
sekaligus pemimpin tertinggi keagamaan, yaitu agama islam.
Pasca
Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang memecah Kerajaan Mataram menjadi Surakarta
dan Ngayogyakarta, Susuhunan Mataram waktu itu yaitu Susuhunan Paku Buwono III tetap
menggunakan gelar Susuhunan, sementara paman nya yaitu Pangeran Mangkubumi
memilih menggunakan gelar Sultan dengan nama Sultan Hamengku Buwono. Nama Hamengku Buwono disini memiliki makna
historis dan spiritual yang sangat penting sejajar dengan nama Paku Buwono,
sehingga tidak bisa dengan mudah diganti dengan variasi lain yang serupa
seperti kata bawono, jagat, rat, bumi atau lain sebagainya.
Sri Sultan Hamengku Buwono X (1989 - sekarang) |
Pada
sekitaran tahun 1755 nampak jelas sekali hubungan kekeluargaan antara Keraton
Surakarta dan Ngayogyakarta adalah dekat sekali, dimana penguasa Kasunanan
Surakarta adalah cucu dari Amangkurat IV dan penguasa Kasultanan Ngayogyakarta
adalah anak dari Amangkurat IV dan 10 tahun berikutnya salah satu cucu dari
Amangkurat IV yang lain menjadi penguasa juga dengan gelar Mangkunagoro I. Pada
tahun 1810, cucu dari Amangkurat IV lain yang juga putra Sultan Hamengku Buwono
I menjadi penguasa juga dengan gelar Paku Alam I.
Sehingga
secara garis besar jika kita ingin lebih mudah mempelajari hubungan
keraton-keraton di Solo dan Jogja, maka yang dapat digunakan sebagai pancer atau tokoh sentral yaitu Susuhunan Amangkurat IV.
Perlu
diketahui bahwa silsilah raja-raja Jawa yang dimulai dari Kerajaan Mataram
hingga berbagai cabangnya saat ini tidaklah terlalu sulit jika dibandingkan
dengan silsilah raja-raja lain di luar Jawa atau bahkan di luar negeri
sekalipun.