(Sudut Pandang
Spiritual)
Baru-baru ini dinasti Mataram (The Royal House of Mataram) berduka karena kehilangan dua tokoh
yang cukup berpengaruh yaitu GRAy Nurul Suryosuyarso dari Puro Mangkunegaran (Solo)
dan KGPAA Paku Alam IX dari Puro Paku Alaman (Jogja). Khusus Puro Paku Alaman, untuk
melanjutkan suksesi pemangku pemerintahan sekaligus pejabat Wakil Gubernur DIY,
maka diangkatlah KBPH Prabu Suryodilogo sebagai pengganti dengan gelar KGPAA Paku Alam X pada 7 Januari 2016. Tidak
lama setelah penobatan KBPH Prabu
Suryodilogo sebagai KGPAA Paku Alam X, sebagian keluarga Paku Alaman pendukung
KGPAA Paku Alam IX Al Haj – Anglingkusumo (sang paman) mengeluarkan pernyataan
penolakan terhadap legalitas Paku Alam X. Rupanya aksi penolakan ini merupakan kelanjutan
konflik trah Paku Alaman yang belum berakhir semenjak tahun 1998 pasca wafatnya
KGPAA Paku Alam VIII.
Konflik keluarga
Paku Alaman ini menambah daftar panjang berbagai konflik yang mewarnai Dinasti
Mataram dalam satu dasawarsa terakhir. Publik tentu tidak akan lupa dengan konflik
keluarga Kasunanan Surakarta pasca wafatnya ISKS Paku Buwono XII yang sampai
sekarang masih belum jelas akhirnya. Kemudian keluarga Kasultanan Ngayogyakarta
yang selama ini terlihat adem ayem tiba-tiba
memanas pasca pengangkatan putri sulung Sultan Hamengku Buwono X
Penobatan Paku Alam X (source: www.beritasatu.com) |
Ngemu Sasmita – Membawa Pertanda
Bagi masyarakat
jawa, konflik di tiga pemangku adat ini bukanlah sekedar konflik suksesi,
seperti yang biasa terjadi selama ratusan tahun sejarah Dinasti Mataram.
Konflik kali ini terjadi secara bersamaan di dua keraton dan satu kadhipaten yang sama-sama berasal dari Dinasti
Mataram. Sungguh bukan hal yang biasa, mengingat dalam 200 tahun terakhir tidak
pernah terjadi hal-hal yang rumitnya bersamaan seperti ini. Bisa jadi masalah terakhir
yang dihadapi oleh Dinasti Mataram secara bersama-sama adalah Perang Diponegoro
dan penangkapan ISKS Paku Buwono VI pada tahun 1830an. Bagi masyarakat jawa
hal-hal seperti dianggap bukanlah suatu kebetulan, melainkan sebuah penanda
jaman.
Meskipun
diantara 2 keraton dan 2 kadhipaten hanya
Kasultanan Ngayogyakarta dan Puro Paku Alaman saja yang masih memiliki kekuatan
politik, namun Keraton Kasunanan Surakarta dan Puro Mangkunegaran masih
memiliki kekuatan budaya yang melekat di masyarakat Jawa, terutama yang
berhubungan dengan mistik dan spiritual. Segala konflik yang terjadi di keraton
diaggap sebagai sebuah pertanda awal konflik yang lebih besar yang terjadi di
masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
ISKS Pakubuwono XIII dan KGPH PA Tejowulan dihalangi masuk istana (source: www.solopos.com) |
Pada tahun 2013, secara tiba-tiba Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil seluruh putra-putri almarhum ISKS Paku Buwono XII di Istana Gedung Agung Yogyakarta, pemanggilan ini berhubungan dengan upaya pemerintah menjadi penengah rekonsiliasi antara Paku Buwono XIII – Hangabehi dengan Paku Buwono XIII – Tedjowulan. Menurut desas desus kalangan istana kepresidenan, turun tangannya presiden dalam masalah yang selama ini ditulis sebagai masalah internal keraton merupakan rekomendasi dari beberapa penasehat spiritual kepresidenan. Para penasehat spiritual kepresidenan melihat kegoncangan/ketidak-kokohan selama pemerintahan SBY selama ini disebabkan karena adanya ketidak-kokohan “Paku” yang menjadi penguat bangsa Indonesia dalam kacamata spiritual. “Paku” di sini diibaratkan sebagai paku yang tidak menempel kuat pada sebuah rumah, yang mengakibatkan rumah tersebut mudah goyah dan terancam runtuh jika ada goncangan besar. Secara lebih lanjut yang dimaksud “Paku” di sini adalah “Paku Buwono” yaitu gelar bagi raja-raja Keraton Kasunanan Surakarta. Mungkin nampak hanya kebetulan saja gelarnya ada Paku-nya, tapi bagi masyarakat Jawa hal tersebut bukanlah sekedar kebetulan, tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semuanya sudah diatur dan segala sesuatu ada maksudnya. Tidak mungkin Pangeran Puger (1704) tiba-tiba memakai gelar Sunan Paku Buwono I tanpa ada maksud tertentu, padahal para pendahulunya memakai gelar Sunan Amangkurat.
Penobatan Putri Mahkota GKR Mangkubumi (source: www.jpnn.com) |
Apa yang (menjadi keputusan Presiden SBY bukanlah suatu hal yang tanpa dasar, mengingat di tahun berikutnya yaitu 2014, Presiden SBY akan punya hajat besar yaitu Pemilu Legilatif dan Pemilu Presiden yang sangat berpotensi terjadi kegoncangan besar bahkan perpecahan bangsa (See now). Tentunya SBY tidak pernah mengakuinya, apalagi mengeluarkannya sebagai pernyataan resmi, akan sangat konyol seorang presiden membuat sebuah pernyataan resmi dengan menggunakan dasar sisi spiritual dan dalil paranormal, apalagi SBY adalah seorang Jenderal, Haji dan Doktor, lha wong Bu Ani Yodhoyono saja pernah cerita melihat hantu di Istana Merdeka langsung menjadi tertawaan publik dan bully-an di media sosial. Illogical and Irrational.
KGPAA Mangkunegoro IX (source: wikipedia.org) |
Pada tahun 1992, Presiden Soeharto yang juga seorang Jenderal Besar dan Haji turun tangan langsung untuk menyelesaikan masalah internal di Puro Mangkunegaran. Pada saat itu KGPAA Mangkunegoro IX melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan himpunan keluarga Mangkunegaran memberhentikan (memecat) Mangkunegoro IX dari kedudukannya sebagai Pengageng Puro. Peristiwa ini kemudian berlanjut pada penolakan Mangkunegoro IX pada pemecatan dan berlanjut kepada aksi saling pecat dari jabatan di istana dan saling usir dari tempat tinggalnya di istana. Nampaknya Puro Mangkunegaran – Trah Mataram memiliki arti sangat penting bagi seorang Presiden Soeharto meskipun Puro Mangkunegaran sudah tidak memiliki kekuatan politik apapun di Indonesia, bahkan di Surakarta sekalipun dan kekayaannya banyak diambil alih negara dan digerogoti oleh rakyatnya sendiri. Ibu Tien Soeharto yang masih merupakan kerabat Mangkunegaran tidak bisa secara otomatis ikut campur karena bukan termasuk golongan sentana dalem yang terlibat konflik. Tetapi sudah jelas bahwa Presiden Soeharto yang selalu dikelilingi dunia mistik dan spiritual pasti mengetahui sesuatu jika konflik trah Mataram ini tidak segera diselesaikan.
Nah kembali lagi kepada konflik Dinasti
Mataram paling aktual, kisruh di Keraton Kasunanan Surakarta (Solo), Keraton
Kasultanan Ngayogyakarta (Jogja) dan Puro Paku Alaman (Jogja) nampaknya menjadi
pertanda bahwa masyarakat Jawa (At least yang
tinggal di bekas wilayah Kerajaan Mataram) akan memasuki sebuah babak baru yang
saya sendiri belum tahu karena baru akan memasukinya.
R. Shantika Wijayaningrat - Surakarta
-ARTIKEL INI DITULIS DARI SUDUT PANDANG SPIRITUAL JAWA -