Beberapa waktu yang lalu (16 Januari 2010) saya dan teman-teman kos berwisata ke Cemoro Sewu, Gunung Lawu yang berada di ketinggian 3265 meter di atas permukaan laut . Waktu itu kabut tebal dan angin kencang menyelimuti daerah Tawangmangu-Cemoro Lawang hingga ke Cemoro Sewu. Suasana sepi begitu terasa ketika kami sampai di pos pendakian Gunung Lawu di Cemoro Sewu, Pos ini ditutup karena cuaca yang tidak menentu. Restoran dan penginapan disekitar pos pun yang biasanya ramai, kini sepi dan suasananya cenderung mencekam. Hanya beberapa warga nampak berjaga di sekitar Jalan Raya Tawangmangu-Sarangan. Pos Cemoro Sewu ini merupakan salah satu pos awal jalur pendakian ke puncak Gunung Lawu selain melalui jalur Cemoro Lawang. Kedua jalur tersebut nantinya bertemu di titik Hargo Dalem, tempat yang dianggap misterius dan menjadi tempat upacara labuhan yang biasanya diselenggarakan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat, Solo. Saya teringat mengenai cerita kesakralan Gunung Lawu dalam pandangan spiritual masyarakat Jawa. Gunung ini dipercaya sebagai salah satu paku yang membuat pulau Jawa tetap pada tempatnya karena pada jaman dahulu dipercaya bahwa pulau Jawa adalah pulau yang terapung yang selalu diombang-ambingkan oleh ombak.
Gunung Lawu juga memiliki peranan penting dalam kesatuan kosmologis Kota Solo yang terletak sekitar 30 km di arah barat. Gunung Lawu dipercaya sebagai tempat muksa sekaligus kediaman Kanjeng Sunan Lawu (dipercaya sebagai salah satu putra Brawijaya V, Raja Majapahit). Kanjeng Sunan Lawu inilah yang kemudian mengadakan perjanjian dengan raja-raja Kerajaan Mataram Surakarta (beribukota di Solo) untuk menjaga negara dari berbagai bencana dan malapetaka yang berasal dari arah timur. Disisi lain, dengan hal yang sama raja-raja Mataram Surakarta juga mengadakan perjanjian dengan Bathari Kalayuwati yang berkedudukan di Hutan Krendawahana (sekitar 20 km utara Kota Solo) untuk menjaga Kota Solo dari arah utara. Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton dan Eyang Sapujagat di sebelah barat (Gunung Merapi) dan yang paling istimewa tentunya Kanjeng Ratu Kencanasari atau Kanjeng Ratu Kidul di sebelah selatan (Samudra Hindia).
Ksmologi Hindu
Kesatuan Kosmologis
Agaknya mungkin kesatuan kosmologis Jawa yang biasa disebut dengan keblat papat lima pancer merupakan adaptasi dari sistem kosmologis Hindu –agama masyarakat Jawa sebelum kedatangan Islam-, dalam agama Hindu dikenal dewa-dewa yang berjaga di empat penjuru mata angin yang disebut sebagai dewa-dewa lokapala. Dewa-dewa ini terdiri dari Shiva di tengah, Isvara di timur, Mahadeva di barat, Vishnu di utara dan Brahma di selatan.
Kosmologi China
Berbeda dengan agama Hindu yang berasal dari India, agama China kuno juga memiliki tata kesatuan kosmologis tersendiri. Secara kosmologis China dilindungi oleh lima kekuatan yang ada pada lima penjuru mata angin yang disebut Si Xiang.Lima kekuatan ini bukanlah berwujud dewa-dewa seperti dalam agama Hindu, melainkan berwujud makhluk-makhluk mitologis yang mewakili lima unsur kekuatan dunia. Naga Hijau di timur mewakili unsur kayu, Burung Merah di selatan mewakili unsur api, Harimau Putih di selatan mewakili unsur logam, Kura-kura Hitam di utara mewakili unsur air, dan yang terakhir adalah Naga Kuning di tengah yang mewakili unsur tanah. Kelima unsur ini memiliki pengaruh terhadap keharmonisan kehidupan manusia dan aspek-aspek dalam kehidupan tersebut, termasuk rejeki, kesehatan, jodoh, keharmonisan rumah tangga, kemakmuran pertanian, kekuatan kerajaan dan lain-lain.
Shi-Tenno
Agama Shinto di Jepang sedikit banyak mengadopsi tata kosmologis China, Jepang memiliki Shi-tenno Jikokuten atau empat raja yang melindungi Jepang dari roh-roh jahat pembawa malapetaka yang berasal dari empat penjuru mata angin. Keempat raja terdiri dari di timur, Zochoten di selatan, Komokuten di barat dan Tamonten di utara. Keempat raja ini dipimpin oleh satu raja yang berkedudukan di tengah yaitu Taishakuten. Keempat raja ini selalu dilambangkan dengan sosok lelaki yang berdiri menginjak Jyaki atau roh jahat.
Kota Solo Itu Unik….
Konsep kosmologis Kota Solo ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan konsep kosmologis kebudayaan China, Jepang bahkan Hindu sekalipun. Dalam kosmologis Jawa, kelima pelindung di kelima penjuru mata angin diwakili oleh roh-roh yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama Hindu. Bahkan Bethari Kalayuwati yang berjaga dari utara sekalipun, digambarkan secara berbeda dengan Dewi Durga istri Dewa Siwa. Bethari Kalayuwati digambarkan sebagai sosok roh bukan sosok dewi istri seorang dewa. Padahal selama ini Bethari Kalayuwati dikorelasikan dengan Dewi Durga istri Dewa Siwa.
Sunan Lawu yang bekedudukan di timur digambarkan sebagai manusia sakti yang mengalami muksa (meninggalkan dunia fana menuju keabadian bersama jasad manusiawinya). Begitu pula Kanjeng Ratu Kidul di selatan yang digambarkan sebagai seorang putri bangsa manusia yang menjadi ratu makhluk halus setelah bertapa selama bertahun-tahun. Sementara Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton yang berkedudukan di barat digambarkan secara misterius sebagai sosok yang sulit dilacak asal-usulnya. Semua penjaga diatas mengingatkan kembali akan kuatnya pengaruh budaya pra-hindu yaitu animisme –kepercayaan terhadap roh-.
Lantas siapa yang berkedudukan di tengah ? Dalam sistem kosmologis Kota Solo yang berperan sebagai pancer yang melengkapi sedulurpapat adalah Sang Raja atau yang beri gelar Sinuhun Pakubuwono (gelar resmi raja-raja Surakarta, Solo adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Pakoe Boewono Senopati Ing Alogo… dan seterusnya). Pancer atau raja ini memiliki peran sentral dalam membina keharmonisan hubungan antara dunia manusia dengan keempat penjaga yang berkedudukan di keempat arah mata angin. Karena itulah sang raja dianggap bertanggungjawab dalam hal mengadakan persembahan untuk menghormati hubungan harmonis yang dibina antara dunia manusia dengan dunia kasat mata. Mungkin tidak ada hubungannya, namun menarik jika disambungkan bahwa di China, Kaisar dianggap sebagai Sang Naga Kuning yang mewakili unsur bumi termasuk manusia.
Hutan Krendawahana
Samudra Hindia
Di Kota Solo sendiri, Keraton Surakarta Hadiningrat mengadakan sejumlah upacara yang bertujuan untuk menghormati hubungan baik antara dunia manusia dengan dunia kasat mata. Sesaji Mahesa Lawung yang diadakan setahun sekali misalnya, adalah sarana untuk memperingati perjanjian sakral antara Sinuhun Pakubuwono sebagai Pancer dengan Bethari Kalayuwati sebagai utara agar semua yang masuk dalam lingkup kosmologis Kota Solo terhindar dari bencana dan malapetaka. Begitu pula dengan arah mata angin yang lain yang diperingati dengan upacara-upacara labuhan. Kelima elemen kosmologis Jawa ini yaitu, Sunan Lawu, Bethari Kalayuwati, Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton, Kanjeng Ratu Kidul dan Sinuhun Paku Buwono memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga tercipta suasana kosmologis yang harmonis. Jika terjadi suatu bencana atau malapetaka maka dianggap telah terjadi ketidakseimbangan antara elemen-elemen di atas .
Gunung Lawu
Gunung Merapi
Pada masyarakat pedesaan di Lumajang, Jawa Timur –tempat nenek saya tinggal-, dikenal adanya sesajen pecok bakal dan jenang mancawarna yaitu makanan –tidak benar-benar bisa dimakan- yang dibuat sedemikian rupa dan biasanya diletakkan diperempatan jalan atau tempat yang dianggap keramat pada hari-hari tertentu (seperti selasa kliwon, jumat kliwon dan jumat legi). Yang unik adalah jenang mancawarna, yaitu bubur beras yang dibuat dengan lima warna yang mewakili lima arah mata angin, hitam di utara, putih di timur, merah di selatan, kuning di barat dan hijau di tengah. Dalam satu versi, kelima warna ini mewakili lima nafsu manusia yaitu amarah, aluamah dan lain-lain yang lebih mengarah kepada sufisme islam, sementara di versi yang lain kelima warna ini mewakili sedulur papat lima pancer , empat saudara dan yang kelima sebagai pusat. Sesaji ini dibuat dengan harapan agar desa tersebut selalu terhindar dari bencana dan malapetaka yang disebabkan oleh keempat saudara yang ada di keempat penjuru mata angin tersebut. Agaknya mungkin di pedesaan Jawa Timur yang jauh dari pengaruh Mataram Islam (Surakarta dan Ngayogyakarta) memiliki pandangan yang lebih dekat dengan Hindu Jawa – Hindu Bali bahwa sesaji diberikan kepada roh jahat yang membawa malapetaka supaya jangan lagi membawa bencana.
Anda yang tinggal di kota Solo dan sekitarnya harusnya merasa beruntung memiliki lima penjaga disetiap arah mata angin yang tidak kalah dengan para penjaga mitologis Kota Tokyo yang sudah terkenal dalam film-film kartun Jepang.
Saat ini, ketika kita memasuki kawasan Gapura Gladak, suasana rapi dan indah lebih terasa jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Dulu, Gapura Gladak yang terdiri dari tiga lapis ini nampak kusam dan angker, memang tak bisa dipungkiri bahwa gapura ini sudah berumur tua –dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwono X-. Kini gapura tersebut nampak indah dengan lampu-lampu hias dimalam hari, ditambah dengan lampu-lampu yang menyorot delapan pohon beringin tua dari bawah, menjadikan suasana terasa agung dan berwibawa.
Nampaknya Pemerintah Kota Solo semakin giat dalam menangani cagar-cagar budayanya, hal ini dilakukan semenjak Kota Solo dinobatkan sebagai salah satu World Heritage Cities –Kota Warisan Dunia- oleh UNESCO. Disamping itu, Kota Solo juga berusaha untuk menjadi ikon pariwisata Indonesia melalui kekayaan budaya dan sejarah yang dimilikinya.
Di sudut lain, di pusat Kota Solo, semak belukar dan pagar seng mengelilingi sebuah bangunan bersejarah yang mempunyai nilai tak terhingga, Benteng Vastenburg. Benteng ini didirikan oleh VOC pada abad ke 16. Kondisi benteng ini amat memprihatinkan, selain semak belukar yang tumbuh pada bangunannya, sebagian bangunan juga nampak hampir roboh.
Status kepemilikan benteng inipun juga tidak jelas, dikatakan ada enam orang yang mengklaim petak-petak lahan tempat benteng ini berdiri. Beberapa tahun yang lalu, investor asing berniat mendirikan sebuah hotel diatas lahan tempat benteng ini berdiri, niatan itu memunculkan kontroversi yang cukup ramai dibicarakan masyarakat Kota Solo. Akhirnya sampai sekarang rencana pendirian hotel tersebut tak ditahui kelanjutannya. Setidaknya investor asing tersebut telah menyadarkan kembali masyarakat Kota Solo akan keberadaan sebuah saksi sejarah yang tak ternilai harganya.
Foto Benteng Vastenburg awal abad 20
Hingga saat ini masalah Benteng Vastenburg masih ditangguhkan penyelesaiannya oleh Pemerintah Kota Solo. Pemkot telah berkoordinasi dengan berbagai pihak seperti Kementerian Budaya dan Pariwisata dan lain-lain untuk mendapatkan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah Benteng Vastenberg, bahkan Pemkot juga telah meminta pertimbangan Organization of World Heritage Cities (OWHC) sebuah organisasi yang berada dibawah UNESCO. Penangguhan penyelesaian sebenarnya semakin menambah buruk keadaan Benteng Vastenburg, tak ada satu pihakpun, baik pemerintah, ahli waris maupun LSM yang datang menyentuh benteng ini, setidaknya hanya untuk mencabuti semak yang tumbuh sekalipun.
Benteng Vastenburg bisa dikatakan berada di jantung Kota Solo, benteng ini menghadap ke barat ke arah Jalan Sudirman dan dikelilingi oleh tiga jalan utama lain di Kota Solo. Beberapa bangunan penting seperti bank-bank, kantor pos, kantor telekomunikasi, pusat-pusat perbelanjaan dan gereja menghadap ke benteng ini.
Halaman sekitar benteng sangat luas, hampir 1000 meter persegi dan bangunan benteng hanya menempati sekitar 50 persen dari halamannya. Halamannya yang luas tersebut dikelilingi oleh empat jalan utama Kota Solo tanpa dihalangi bangunan lain kecuali Bank Danamon, satu-satunya bangunan baru yang berdiri membelakangi benteng di halaman benteng. Mungkin karena itulah mengapa benteng ini menjadi perebutan antara pemerintah dengan ahli waris mengingat lokasinya yang super strategis.
Benteng Vastenburg bagusnya diapain sih…
Aneh mungkin, atau mungkin kurang kerjaan, setiap kali saya melintas di salah satu jalan yang menghadap ke Benteng Vastenburg saya mempunyai khayalan mengenai seperti apa Benteng ini nantinya, Enaknya dijadiin apa sih?, bagusnya dibangun kaya gimana sih?. Bahkan saya pernah berkeliling benteng ini beberapa kali melalui jalan-jalan yang mengelilinginya hanya untuk menguatkan khayalan saya mengenai benteng ini di masa depan, saya kadang-kadang melakukan hal-hal konyol memang.
Kastil Windor dengan taman rumputnya
Saya mempunyai pemikiran bahwa halaman Benteng Vastenburg ini akan bagus sekali jika dijadikan sebuah taman rumput yang sangat luas (seperti halaman kastil-kastil di Eropa), tanahnya perlu diratakan dengan peralatan berat agar rumput yang tumbuh nantinya nampak halus. Bangunan Bank Niaga sudah seharusnya dipindah menjauhi benteng (mungkin bisa tukar tambah dengan lahan kosong milik Pemkot di Jln .Slamet Riyadi sebelah barat Hotel Best Western).
Sebuah Pedestrian di Eropa
Beberapa pohon yang sudah ada, seperti cemara, kenari dan flamboyant perlu dipertahankan walaupun sudah tua, tak perlu kiranya menambah pohon lagi karena akan membuat suasana nampak suram. Di tepi Jalan Sudirman dan tiga jalan lain yang mengelilingi halaman benteng, dibuat pedestrian yang cukup luas untuk pejalan kaki, seenggak-enggaknya mirip city walk Slamet Riyadi lah.
Tidak perlu dibuat pagar yang membatasi pedestrian dengan halaman taman rumput benteng, jika memang perlu melindungi rumput dari kebiasaan buruk warga kota seperti berjualan di sembarang tempat, maka cukup dibuat patok-patok beton setinggi satu meter (tentunya harus berbentuk se-artistik mungkin) yang antara satu patok dengan patok lain berjarak 2 meter dan dihubungkan oleh rantai baja besar (rantai kapal). Setiap dua atau empat patok beton, rantai baja akan terhubung dengan lampu hias bergaya Victorian agar matching dengan bentengnya.
Patok-patok beton dengan rantai baja menghiasi Ludwigskirche,Jerman
Disetiap ruas pedestrian (4 ruas) diletakan satu plakat keterangan setinggi 1 meter yang terbuat dari stainless steel, yang dibentuk menyerupai podium untuk berpidato dengan ukuran kecil menghadap ke benteng, plakat tersebut berisi mengenai sejarah Benteng Vastenburg secara singkat. Plakat ini untuk membantu para pengunjung –bahkan para pejalan kaki yang tidak berniat mengunjungi benteng- untuk mengetahui sejarah benteng tanpa harus bingung mencari pemandu wisata dulu.
Sekarang mengenai bangunan Benteng Vastenburg. Karena bangunan benteng termasuk bangunan cagar budaya, maka kita diharamkan merubah fisik bangunan, yang diperbolehkan adalah merubah fungsinya. Benteng Vastenburg dahulu merupakan benteng pertahanan milik VOC yang digunakan untuk melindungi diri jika diserang oleh musuh, benteng ini juga digunakan untuk mengawasi gerak-gerik Raja Susuhunan Pakobuwono. Karena di jaman sekarang pemerintah tidak memerlukan sebuah benteng tua menahan serangan musuh, dan raja di Keraton pun tak perlu di awasi, maka fungsi yang terpikirkan oleh saya adalah menjadikan Benteng Vastenburg sebagai open public space yang bebas dikunjungi oleh siapa saja seperti Taman Monas.
Di dalam benteng bisa diadakan pameran dan exhibition (diutamakan pameran yang agak berkelas) seperti pameran otomotif dan pameran properti. Selain itu benteng ini juga bisa digunakan untuk mengadakan konser (diutamakan konser yang juga agak berkelas) seperti SIPA (Solo International Performing Arts) dan SIEM (Solo International Etnic Music). Untuk kepentingan itulah maka bagian dalam benteng yang berupa halaman perlu di pasang lantai agar lebih performatif sebagai suatu tempat yang berkelas internasional. Menurut saya lantai yang cocok adalah terracotta, karena memiliki karakter yang cocok digunakan di ruang terbuka yang harus siap menampung panas dan air hujan. Warnanya yang cenderung merah kecoklatan akan nampak artistik jika dipadukan dengan dinding benteng yang berwarna putih kapur. Alernatif lain adalah lantai batu granit berwarna (seperti lantai lapangan St. Peter di Vatican City).
Lantai Terracotta
Lantai Lapangan St.Peter Vatican
Dinding benteng haruslah berwarna putih, sesuai dengan warna aslinya. Beberapa lapisan semen yang terkelupas hingga nampak bagian batu batanya tidak perlu ditambal, melainkan cukup dibiarkan saja karena akan semakin menambah kesan kuno dan bersejarah. Di atas pintu utama sebelah barat terdapat bangunan yang bisa difungsikan sebagai kantor pengelola benteng. Untuk memudahkan dalam mengawasi pengunjung, maka pintu yang dibuka adalah pintu bagian barat saja, sedangkan pintu yang ada di sebelah timur dibuka pada saat tertentu saja, misalnya untuk keluar masuk akomodasi dan panitia jika diadakan pameran atau konser.
Kamboja Jepang
Untuk mempercantik bagian dalam benteng, maka diletakan beberapa kursi taman dan pot-pot bunga besar yang bisa dipindahkan. Tanaman dalam pot adalah tanaman yang dapat tumbuh dalam ukuran besar tetapi tidak memiki batang yang berat, misalnya kamboja jepang, kemuning dan lain-lain. Fungsi tanaman besar ini adalah selain untuk memperindah benteng, juga sebagai peneduh bangku-bangku taman agar pengunjung tidak kepanasan saat siang hari, mengingat didalam benteng tidak ada pohon maupun bangunan permanen. Selain itu perlu juga diletakan patung-patung kontemporer yang diganti setiap bulan sekali untuk lebih mempercantik benteng.
Sebuah patung kontemporer
Di bagian luar Benteng Vastenberg terdapat parit yang mengelilingi benteng selebar satu meter. Pada jaman dulu parit ini berfungsi menghambat musuh yang menyerang benteng. Parit ini hendaknya diisi air dan diletakkan beberapa tanaman teratai di dalamnya, agar tidak menjadi sarang nyamuk maka ikan-ikan perlu dipelihara di dalam parit ini. Cukup Ikan Nila atau Mujaer yang dipelihara, selain mudah berkembang biak, ikan ini tidak terlalu diminati oleh pencuri ikan hias (entah dengan pencuri ikan lauk).
Patung kontemporer lain
Di luar parit dibangun pula pedestrian yang jalurnya mengikuti parit dan dinding benteng. Di tepi bagian dalam (berdekatan dengan parit dan dinding benteng) diletakan patok-patok beton dengan rantai baja seperti yang ada pada pedestrian tepi jalan raya namun tanpa lampu, patok-patok ini berfungsi untuk mencegah pengunjung bermain air parit dan memancing. Sementara di tepi bagian luar (langsung ke taman rumput) ditanami tanaman pandan, agave, sansiviera atau tanaman lain yang memiliki daun yang kasar dan keras untuk mencegah pengunjung menginjak rumput, duduk di rumput atau bahkan tiduran (perlu tanda peringatan dilarang menginjak rumput).
Tanaman Agave
Pada jaman dulu, terdapat jembatan di depan pintu barat benteng yang melintasi parit. Jembatan ini memiliki tiang pengungkit yang menyebabkan badan jembatan bisa dinaikkan dan diturunkan (mirip Jembatan Tua Kota Intan di Jakarta), ketika musuh datang, badan jembatan dinaikkan sehingga jembatan tidak bisa dilewati. Jembatan yang serupa hendaknya diletakkan di tempat jembatan lama, cukup serupa saja walaupun tidak bisa dinaikkan dan diturunkan, namun akan lebih baik kalau diletakan jembatan yang benar-benar sesuai aslinya.
Jembatan Kota Intan di Jakarta
Benteng Vastenburg ditutup pada pukul 17.00. Pengunjung diminta meninggalkan area dalam benteng melalui pengeras suara yang dipasang di beberapa titik. Selain melalui kamera CCTV yang dipasang di beberapa titik di dalam dan diluar benteng, petugas keamanan juga berkeliling didalam benteng untuk memastikan tidak ada pengunjung yang tertinggal.
Suasana sebuah benteng di Spanyol saat malam hari
Saat malam hari, Benteng Vastenburg nampak indah dengan lampu-lampu yang menyoroti dinding benteng di setiap sudutnya. Lampu ini berwarna kuning keemasan untuk menampilkan kesan agung dan berwibawa.
Halaman timur benteng atau halaman belakang lebih luas jika dibandingkan dengan halaman depannya. Halaman ini langsung menghadap ke jalan Kapt. Mulyadi yang sering macet. Kemacetan ini terutama disebabkan oleh mobil-mobil yang diparkir hingga memenuhi badan jalan. Setidaknya separuh halaman belakang Benteng Vastenburg sebaiknya digunakan sebagai taman parkir, terutama bis-bis yang biasanya datang dari luar kota membawa wisatawan yang berkunjung ke kawasan Keraton dan sekitarnya.
Apa yang ada dibayangan anda ketika mendengar kata “Jakarta”?, saya yakin sebagian besar dari anda akan terbayang mengenai kota besar dengan gedung-gedung pencakar langit, jalanan yang macet, Tugu Monas, Istana Presiden dan orang-orang dengan logat Betawi “gue – loe”. Tidak bisa dipungkiri memang itulah yang selama ini tergambar mengenai Kota Jakarta, bahkan bagi orang yang hanya melihat Jakarta dari TV sekalipun. Sementara ketika anda mendengar kata “Presiden Suharto”, sebagian dari anda akan terbayang era orde baru, diktator, konglomerat keluarga, korupsi, logat ‘menanamken, mengamalken, mempertaruhken’ , dll.
Apapun yang paling menonjol dari contoh-contoh diatas, maka itulah yang akan paling melekat dan diingat orang lain.
Sekarang mengenai diri anda, apa yang mungkin teman-teman anda bayangkan ketika seseorang menyebut nama anda? ramah? perhatian? playboy? tampan atau cantik? atau bahkan galak, urakkan, suka bicara kotor, bau atau yang lainnya? Ini adalah mengenai apa identitas yang paling melekat dari diri anda dalam lingkungan anda. Sebenarnya bukan salah anda jika selama ini anda dikenal sebagai orang yang galak hanya karena anda suka bicara dengan volume yang keras dan dengan intonasi tinggi dan mudah tersulut emosi jika sedang ada masalah. Disisi lain, bukan suatu hal yang aneh jika teman anda dicap sebagai ‘orangnya asyik’ hanya karena dia suka menyapa orang, mudah bergaul dan enak diajak ngobrol. Disadari atau tidak, setiap orang memiliki cap atau identitas sendiri-sendiri yang dikenali oleh lingkungannya, dan yang ekstrim jika cap itu melekat erat pada nama seseorang seperti Pak SBY yang ganteng, Bu Indah yang ramah, Om Tino yang playboy dan Tante Sonya yang sok cantik.
Selama beberapa tahun belakangan, semakin banyak orang yang menyadari akan pentingnya personality branding atau pencitraan diri. Sebelumnya branding atau pencitraan hanya melekat pada perusahaan, merek, kota atau daerah. Kini masyarakat semakin menyadari bahwa apa yang ada pada diri secara pribadi telah diproyeksikan orang-orang disekitar kita sebagai penggambaran diri secara keseluruhan. Nah, sekarang yang menjadi masalah adalah, apakah selama ini kita telah mem-branding atau mencitrakan diri kita secara tepat? Dan apakah selama ini anggapan orang-orang disekitar kita telah sesuai dengan apa yang kita inginkan mengenai diri kita? Tentunya butuh survey untuk mengetahui mengenai pandangan orang lain mengenai diri kita. Tak perlulah kita disibukan diri untuk membuat penelitian mengenai pandangan orang lain mengenai diri kita, yang perlu lebih ditekankan disini adalah pandangan orang lain mengenai diri kita yang seperti apa sih, yang ingin kita buat? Inilah yang disebut sebagai pencitraan diri atau personality branding.
Banyak sekali manfaat yang dapat kita peroleh dari membuat pencitraan diri secara tepat. Kita akan lebih terarah dalam mengambil suatu sikap atau pendapat terhadap orang lain dan masalah-masalah yang kita hadapi. Pandangan orang lain terhadap kita juga dapat kita arahkan secara positif sesuai dengan keinginan kita, sehingga kita bisa mengontrol issue-issue, gossip atau bahkan fitnah yang tidak benar mengenai diri kita. Bayangkan saja, apakah masyarakat akan dengan mudahnya percaya dengan issue binaragawan Ade Rai meninggal karena sakit darah rendah? Padahal selama ini Ade Rai selalu mencitrakan dirinya sebagai sosok yang selalu sehat dan bugar, yang selalu menjaga kesehatannya melalui olahraga yang berat dengan pola makan yang teratur. Begitu pula orang-orang tidak akan percaya begitu mudahnya dengan issue yang menyatakan bahwa anda tengah putus dengan pasangan anda padahal anda selalu mencitrakan diri anda sebagai pasangan yang setia, selalu memuji pasangan anda, kemana-mana selalu nampak romantis.
Mengenal Diri Sendiri
Untuk membuat sebuah pencitraan diri, pertama-tama anda haruslah mengenal terlebih dahulu siapa diri anda dan bagaimana lingkungan anda. Akan sangat aneh jika anda mencitrakan diri anda sebagai seorang yang sibuk syuting dan bergaya hidup glamor bak seorang selebritis sementara anda tinggal disebuah lingkungan pedesaan yang terpencil. Sebenarnya yang akan ditekankan disini adalah sebuah pencitraan kepribadian, bukanlah sebuah pencitraan penampilan. Pada umumnya, pencitraan kepribadian tersebut nantinya akan secara otomatis mempengaruhi pencitraan penampilan seseorang. Kembali lagi mengenai mengenal diri sendiri, yang perlu dipahami disini adalah kesadaran akan keberadaan diri kita sendiri, siapakah saya? Bagaimana hubungan saya dengan lingkungan saya? Apakah saya punya banyak teman? Atau mungkin musuh saya lebih banyak daripada teman saya?. Disini kualitas hubungan kita dengan lingkungan sangat berpengaruh terhadap pencitraan diri yang ingin kita tampilkan. Jika kita mempunya hubungan yang baik dengan lingkungan kita, maka yang perlu kita lakukan adalah memoles pencitraan saja, namun jika kualitas hubungan kita dengan lingkungan kita kurang baik, maka yang perlu dilakukan adalah merubah pandangan lingkungan tersebut terhadap diri kita melalui pencitraan diri yang lebih berterima.
Saya Ingin Teman Saya Melihat Saya Sebagai Seseorang Yang…
Tidak perlu menjadi berpura-pura menjadi sosok orang lain agar disukai teman-teman dan lingkungan anda, cukup menjadi diri sendiri namun dipahami secara positif. Ada sebuah kasus seorang mahasisiwa yang introvert, tidak ramah dan tidak pedulian. Kemudian mahasiswa tadi berusaha disukai oleh teman-teman kampusnya, dia mulai menyapa teman-temannya dengan ramah setiap pagi, bersalaman dan selalu tersenyum ketika bertemu. Sebenarnya teman-temannya menerima dengan positif perubahannya, namun secara drastis beberapa bulan kemudian dia kembali menjadi orang yang tidak ramah, tidak pedulian dan introvert, alasannya sederhana, dia merasa tidak menjadi dirinya sendiri dan memutuskan untuk kembali menjadi dirinya sendiri.
Dalam kasus lain, seorang gadis yang tidak ramah, tidak pedulian dan introvert menyadari bahwa selama ini teman-temannya membuat jarak dengannya karena sikapnya, kemudian dia berusaha disukai oleh teman-teman kampusnya dengan cara menjadi orang yang lebih ramah, suka menyapa dan lebih peduli terhadap teman-temannya. Alhasil teman-temannya menerima perubahannya dengan hangat walaupun diawali dengan sedikit gunjingan. Apakah gadis yang introvert tadi telah menjadi orang lain? Jika iya, maka yang disebut sebagai diri sendiri adalah sifat introvertnya itu? Sebenarnya setelah gadis tadi berubah menjadi orang yang ramah dan mudah bergaul, maka yang menjadi diri sendiri sekarang adalah sikapnya yang ramah dan mudah bergaul tersebut. Seperti judul sebuah lagu “everybody’s changing”, semua orang bisa berubah. Kalau kita bisa merubah diri kita menjadi lebih positif, mengapa kita harus mempertahankan sisi negatif yang selama ini melekat.
Dari dua kasus diatas nampak jelas bahwa sebenarnya kita mampu dengan mudah mengarahkan pandangan orang lain terhadap diri kita dengan cara merubah diri kita sendiri. Yang sulit sebenarnya merubah diri kita sendiri, merubah kepribadian kita agar lebih disukai orang lain –jika anda memang benar-benar ingin orang lain menyukai anda tentunya- .
Sekarang apa yang anda inginkan dari pandangan orang lain mengenai diri anda? Anda ingin dilihat sebagai sosok yang bagaimana? ramah? profesional? senyuman mempesona? mudah bergaul? atau sosok yang selalu penuh semangat? anda bisa membuatnya! dengan tindakan nyata tentunya! Akan lebih mudah membentuk suatu pencitraan yang positif jika kita telah memiliki landasan hubungan baik dengan lingkungan kita termasuk orang tua, tetangga, teman-teman kantor, kampus atau yang lainnya. Sementara bagi yang sudah terlanjur tidak memiliki landasan hubungan yang baik dengan lingkungannya, maka cukup kuatkan niat anda dan berubahlah, yakini bahwa perubahan anda akan membawa pada pandangan yang positif mengenai anda dari lingkungan anda dan dengan itu maka hubungan anda dengan lingkungan anda akan membaik dengan sendirinya.
Jika anda ingin teman-teman anda melihat diri anda sebagai sosok yang ramah, maka yang menjadi pantangan anda adalah memasang wajah cemberut dan suka marah-marah, sebaliknya anda harus siap untuk selalu tersenyum dan menyapa teman-teman anda. Siapkan kepribadian seperti apa yang ingin anda tampilkan sebagai identitas diri anda sehingga lingkungan anda akan mengenal anda sebagai sosok yang anda inginkan.
Misalnya, Saya Dika, saya mencitrakan diri saya sebagai Fresh and Flexible, Segar dan Fleksibel. Maka yang menjadi pantangan saya adalah datang ke kampus atau tempat-tempat lain dalam keadaan kusut, nampak kelelahan dan tidak bersemangat. Sebaliknya saya harus selalu berusaha untuk tampil segar, penuh semangat dan antusias. Disisi flexible, saya harus berusaha untuk mudah bergaul dengan siapapun, mudah nyambung dengan topik obrolan apapun, tidak canggung ketika berbincang dengan kalangan agamis namun juga tetap bisa on ketika mengobrol dengan kalangan anak punk dan underground.
Sekarang bagaimana dengan anda? Anda ingin dipanggil sebagai si-siapa?