Dika Tjakraningrat
Professional Intellectual Spiritual
Senin, 30 November 2020
Jumat, 30 Oktober 2020
Minggu, 16 Agustus 2020
Bertimbal Balik
6 bulan yang lalu, seorang tetangga meminta password Wi-Fi rumah kami. Saya pun memberikannya, karena toh meskipun kami membayar langganan setiap bulan, tapi jarang kami pakai karena kami jarang di rumah, jadi sering over kuota. Toh juga mereka tetangga yang baik, tidak ada salahnya berbagi.
Kemarin saat saya pulang, tetangga saya ini ada di depan rumahnya. Saya pun ngobrol beramah tamah seperti biasa, dan dengan gembira dia bercerita bahwa mereka sekarang berlangganan Netflix. Mendengar ceritanya sayapun ikut bergembira, sambil bercanda saya mengatakan "Wah kalo aku sih jarang di rumah ya, hampir nggak sempat nonton TV, tapi boleh lah ya kapan-kapan pinjem passwordnya, siapa tau ada yang mau ditonton". Tapi suara saya terpotong oleh oleh sebuah suara yang terdengar dari kejauhan, ternyata istrinya, yang duduk di dalam mobil yang menyala "Waduh gimana ya kayanya belum bisa, kami bayarnya lumayan mahal"
Dan suasana pun hening!
Suaminya berusaha mengalihkan pembicaraan, mungkin karena merasa tidak enak hati atas perkataan istrinya. Begitu istrinya masuk ke rumah, dia meminta maaf dan meminta jangan dimasukan ke hati. Saya katakan santai saja tidak perlu diperpanjang. Kami lanjut mengobrol lagi sampai saya pamit masuk ke dalam rumah. Tapi dia masih tetap di terasnya sambil menyiram tanaman.
Tak lama kemudian, istrinya keluar untuk memanggilnya, dia tampak kebingungan, mengatakan TV nya rusak, saya hanya melihat dari jendela. Setelah beberapa menit, dia dan istrinya mengetuk pintu rumah saya dan memberi tahu bahwa Wi-Fi tidak jalan, passwordnya tidak bisa masuk. Saya tersenyum melihat mereka dan berkata, "Passwordnya aku ganti, kami bayarnya lumayan mahal, jadi belum bisa bagi-bagi ".
Wajah istrinya memerah dan mencoba mengatakan sesuatu, tapi tak ada satu katapun yang keluar. Mereka pun berbalik dan pulang menutup pintu.
_______________________________
Cerita ini bukan cerita saya, tapi ada pelajaran yang saya ambil, bahwa hidup ini haruslah saling bertimbal balik. Kamu tidak bisa terus mengambil tanpa memberi, persahabatan haruslah saling bertimbal balik, cinta haruslah saling bertimbal balik, kasih sayang haruslah saling bertimbal balik.
Mungkin saja kamu bisa terus mengambil tanpa merasa harus memberi, tapi ingat semesta ini selalu menyeimbangkan, pasti akan ada saja yang diambilnya darimu, bahkan sesuatu yang kamu genggam erat, karena takut akan kehilangan.
Tetapi jika kamu terus memberi dengan harapan akan mendapatkan kembali, mungkin kamu akan sering kecewa, karena sumber kekecewaan terbesar umat manusia adalah ekspektasinya sendiri. Namun begitu semesta ini selalu menyeimbangkan, akan mengembalikan pemberian yang telah kamu lupakan.
Jika di tahun 2020 ini kamu banyak kehilangan, maka janganlah bersedih, karena bisa jadi itu adalah timbal balik dari apa yang telah kamu ambil di tahun-tahun sebelumnya. Tetapi jika di 2020 ini kamu mendapatkan lebih, sementara orang disekitarmu kekurangan, bisa jadi itu timbal balik atas apa yang kamu berikan di masa sebelumnya yang kamu sudah tidak ingat, dan jangan lupa untuk memberi yang kekurangan kemudian lupakan pemberianmu. Kita tidak pernah tahu kapan masa sulit akan datang lagi, bisa jadi pemberianmu yang akan menyelamatkanmu. Gusti mboten sare dan semesta ini akan terus menyeimbangkan.
Surabaya, 16 Agustus 2020
R. Shantika Wijayaningrat
Sabtu, 25 Juli 2020
Bahagia Kita Tidak Sama
"Kasihan ya, mereka udah nikah 5 tahun tapi belum punya anak"
"Itu lho yang yang belum nikah, padahal umurnya udah 40, kasihan""Owalah, kok nggak coba ikut CPNS aja?"
"Udah enak-enak kerja di situ, gaji 20 juta, malah resign. Bodoh namanya"
"Ngapain beli rumah jauh di sana, mbok ya nyari yang deket-deket sini aja"
Dan masih banyak lagi.....
Mungkin kamu pernah dihadapkan pada salah satu situasi di atas? Mungkin sebagian bisa menjawab, tapi sebagian yang lain bingung harus mengatakan apa.
"Kasihan ya, mereka udah nikah 5 tahun tapi belum punya anak"
Padahal mereka memang belum ingin punya anak, ingin fokus berkarir, atau bahkan memang mereka nggak pengen punya anak, ingin hidup bahagia berdua saja. Mereka tidak sedih dengan hal itu, dan tidak ingin dikasihani.
"Itu lho yang belum nikah, padahal umurnya udah 40, kasihan"
Padahal memang itu pilihan hidupnya sendiri, dia merasa bahagia dengan kesendiriannya. Karirnya bagus, hubungan dengan keluarganya juga baik, dia punya banyak saudara, keponakan dan sahabat. Tidak masuk klasifikasi harus dikasihani.
"Owalah, kok nggak coba ikut CPNS aja?"
Tidak semua orang di dunia ini ingin menjadi PNS, banyak anak muda yang lebih menginginkan karir yang dinamis, dengan dinamika yang lebih menantang, yang tidak mengkerdilkan kreatifitasnya. Atau bahkan tidak ingin terkekang oleh sesuatupun seperti menjadi orang kantoran.
"Udah enak-enak kerja di situ, gaji 20 juta, malah resign. Bodoh namanya"
Padahal dia berencana untuk berwirausaha, dengan modal dari tabungannya yang sudah cukup. Dia sudah punya rencana hidup yang diperhitungkan dengan matang. Dan dia bukan orang bodoh.
"Ngapain beli rumah jauh di sana, mbok ya nyari yang deket-deket sini aja"
Kemampuan finansial untuk membeli rumah setiap orang berbeda-beda, mungkin memang dia menginginkan rumah yang dekat dengan tempat bekerja, atau dengan dengan keluarga induk, tapi apa daya kemampuan finansialnya tidak memenuhi. Atau mungkin memang dia menginginkan rumah yang jauh dari hiruk pikuknya kota. Hanya yang memutuskan yang tahu.
Kita sering kali membandingkan semua hal dengan sudut pandang kita sendiri. Banyak yang asal bertanya atau berkomentar tanpa mengetahui alasan dibalik semua keputusan yang mereka ambil. Hanya karena kita merasakan bahagianya punya anak, bukan berarti kita bisa menilai mereka yang tidak punya anak hidupnya menderita.
Atau hanya karena kita merasa bahagia karena sudah menikah, bukan berarti kita bisa menilai mereka yang belum menikah hidupnya sengsara, atau nggak laku.
This is our society, banyak orang menggunakan standartnya untuk mengukur kebahagiaan hidup orang lain. Apa yang di luar ukuran kebahagiaanya, pastilah orang lain itu dianggap menderita dan perlu dikasihani. Begitu pula dengan keputusan hidup, jika seseorang membuat keputusan hidup yang berbeda dengan yang dia ambil, pastilah dianggap bodoh atau aneh.
Kita kadang terlalu sibuk untuk menilai dan mendikte orang lain untuk berbahagia menurut cara kita.
Padahal yang menjalani hidup ya orang lain, cara mereka bahagia hanya mereka yang tahu. Selama tidak melanggar hukum dan merugikan orang banyak mengapa kita harus mengasihaninya. Padahal sendiri tidak tahu akhir dari kehidupan kita sendiri. Bisa jadi di akhir hayat malah hidup kita jauh dari ketenteraman, karena kita selalu menghakimi dan menilai orang lain agar sama dengan ukuran kita.
Sabtu, 20 Juni 2020
Pohonmu Tidak Berbuah Hari Ini
Pada tahun 1750, Paku Buwono III, raja Keraton Surakarta menikahi seorang gadis desa anak penjual arang di Pasar Singosaren bernama Rara Beruk. Awalnya Rara Beruk dititipkan ayahnya untuk menjadi abdi di keputren, karena cantik dan cerdas, Rara Beruk kemudian dijadikan badhaya semacam korp penari di keraton. Dan siapakah ayah Rara Beruk ini? ternyata dia adalah keturunan dari Kyai Karanglo yang pernah menolong Kyai Pamanahan, leluhur Paku Buwana III hampir 200 tahun sebelumnya.
Sabtu, 09 Mei 2020
Selasa, 28 April 2020
Control Your Self
Bagi yang memahami betul hakikat berpuasa, berpuasa bukan sekedar berhenti makan dan minum di siang hari, tetapi juga kontrol terhadap diri sendiri sepenuhnya. Di hari biasa kalau kita haus, tinggal ambil air minum, kalau lapar ya tinggal makan, emosi ya tinggal meluapkannya dengan kemarahan. Tapi di bulan puasa ini, kita diwajibkan untuk mengontrol tindakan kita, ucapan kita, bahkan sekedar pikiran kita. Bayangkan siang-siang punya pikiran mesum saja sudah bisa membuat puasa jadi sia-sia.
Tapi kali ini kita tidak akan membahas mengenai puasa ramadhan dan amalan-amalan yang diyakini untuk dikerjakan. Tapi kita bahas mengenai pentingnya pengendalian pikiran dalam hidup.
Pangeran Siddharta pernah mengatakan "If you can control your mind, you can control your life". Ternyata apa yang selama ini terjadi dalam hidup berasal dari pikiran kita sendiri. Kita meyakini kebenaran hukum tabur-tuai, dimana jika kita menanam padi maka kita akan memanen padi, sementara jika kita menanam ilalang, maka yang kita panen adalah ilalang.
Ternyata begitupun dalam pikiran ini, jika kita dipenuhi pikiran positif, maka semesta akan merespon dengan mendatangkan hal-hal positif dalam hidup kita. Sementara jika kita dipenuhi pikiran negatif, maka hidup ini seolah ada-ada saja masalahnya, selesai masalah satu ganti masalah yang lain.
Bahkan Tuhan berfirman dalam sebuah haditz qudsi “Aku sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku. Aku bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku.” [HR. Muslim 4832, 4851; Tirmidzi 3527, Ahmad 7115]