Dalam sebuah
kesempatan, saya berkenalan dan mengobrol dengan seorang pegawai Bank
Indonesia, bukan pegawai biasa tetapi sudah berpangkat pejabat eselon dan
pendapatnya selalu didengarkan di instansi tersebut. Kesederhanaan dan
keluwesan menjadikan beliau mudah bergaul dengan semua orang, semua umur dan
semua status sosial. Karena itu beliau menjadi orang yang sangat memahami
keadaan riil orang-orang di sekitarnya.
Banyak hal yang
kami bicarakan, mulai membahas Kota Solo, membahas pilgub Jakarta hingga
sharing mengenai pandangan hidup. Jujur saya banyak belajar dari beliau, pengalaman
hidup beliau selama lima puluh tahun cukup menginspirasi saya dalam menata
hidup supaya tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Karena setiap keputusan
menghasilkan sebuah konsekuensi, dan setiap keputusan menentukan arah hidup
kita ke masa depan, apakah itu menjadi baik atau buruk? Menjadi benar atau
salah? Menjadi mudah atau sulit?
Ada satu hal
yang cukup menarik untuk saya bagi, yaitu mengenai hidup yang sawang sinawang. Jujur saja saya
mengalami kesulitan dalam menerjemahkan sawang sinawang dalam Bahasa Indonesia,
apalagi Bahasa Inggris. Mungkin padanan yang agak nyerempet adalah “rumput
tetangga selalu terlihat lebih hijau”.
Kadang kala kita
sering iri melihat kehidupan orang lain, selalu ingin menjadi seperti mereka
dan selalu ingin memiliki kehidupan seperti mereka. Jutaan anak muda Indonesia
ingin menjadi seorang selebritis yang selalu menjadi sorotan media dan mereka rela
melakukan segala cara untuk mencapainya. Tidak aneh juga, siapa sih yang tidak
ingin bergaya hidup glamor, bergaul dengan orang-orang terkenal, pokoknya hidup
yang fine dining & wine tasting seperti
di televisi.
Sebagian besar
karyawan juga pasti ingin menempati posisi tertinggi di tempat mereka bekerja
dan menjadi bos karena melihat para bos dengan leluasa memerintah karyawannya, gajinya
lebih besar, fasilitas yang mewah dan kehidupan yang menyenangkan. Ya memang
sifat dasar manusia juga sih yang tidak ingin hidup susah. Sebagian besar
mahasiswa bercita-cita bekerja di sebuah kantor dan berstatus orang kantoran karena melihat orang
kantoran punya gaji yang memadai, selalu memakai pakaian yang enak dilihat,
bekerja didepan meja, di gedung yang megah dan bisa menyebutkan nama sebuah
instansi/perusahaan ketika orang bertanya “bekerja dimana?”
Sementara di
sebuah dimensi yang berkebalikan arah, para selebritis berjuang dengan darah
dan airmata supaya tetap bisa muncul di televisi dan jangan sampai publik
melupakannya demi menjaga gengsi dan gaya hidup, walaupun para selebritis itu
sadar betul bahwa banyak anak muda calon selebritis di luar sana yang sedang
bersiap-siap melengserkan popularitasnya. Ada juga para bos atau direktur yang
ingin segera pensiun atau bahkan mengundurkan diri karena tekanan pekerjaan dan
hal-hal yang sudah dikorbankan seperti kesehatan, keluarga dan kehidupan sosial
yang tidak bisa diganti dengan gaji yang besar dan fasilitas yang mewah. Sementara
itu, sejuta orang kantoran di dalam gedung-gedung ber-AC memalingkan wajahnya
dari komputer dan menatap jauh ke luar jendelanya berharap bisa bekerja bebas
di luar, melakukan hal-hal yang mereka suka tanpa terikat waktu dan tidak terkurung
di kantor.
Orang biasa
ingin menjadi selebritis yang terkenal dan selalu tampil di televisi, sementara
para selebritis berharap kembali mengulang waktu dan menjadi orang biasa yang
tidak kenal dengan namanya gengsi-gengsian.
Para karyawan ingin menjadi bos yang terhormat di saat para bos ingin bekerja
di rumah, dekat dengan keluarga dan bebas tekanan jabatan. Dan para mahasiswa berjuang
di kampus supaya nanti bisa menyebutkan nama sebuah instansi/perusahaan ketika
orang bertanya “bekerja dimana?” di waktu orang-orang kantoran ingin
berwiraswasta atau ber-freelancer,
bekerja bebas sesuai passion, tidak terikat jam kantor dan tidak terkurung di
gedung megah ber-CCTV.
Mungkin saat ini
hanya segelintir anak muda yang ingin menjadi petani yang tinggal pedesaan, mereka
memilih bercita-cita menjadi orang hits
di kota besar. Padahal di kota-kota besar, banyak sekali para bos dan pejabat
yang berharap mereka adalah petani sederhana di pedesaan yang begitu menikmati
menanam sayur dan memetik buah di kebun, dan menikmati udara segar tanpa
polusi.
Bapak pejabat Bank
Indonesia ini menceritakan bahwa selama bertahun-tahun menempati jabatan strategis
di Jakarta sudah berkali-kali beliau mengajukan mutasi ke kota Solo atau Jogja,
tapi karena tanggung jawabnya yang besar di kantor pusat manjadikan hal
tersebut tidak pernah terlaksana hingga mendekati masa pensiun. Pengajuan mutasi
ke kota Solo atau Jogja ini bukannya tanpa alasan, beliau menjelaskan bahwa dua
kota ini amatlah indah dan menyenangkan. Orang-orang mudah diajak bekerjasama
dan tidak gampang emosi, sehingga tekanan macam apapun akan terasa ringan dan
bisa dinikmati. Berbeda dengan Jakarta, orang-orangnya begitu self-centered sehingga semua tekanan
terasa semakin berat, karena itulah sebagian besar pejabat BI ingin dipindah ke
Solo atau Jogja. Namun demikian beliau juga tahu betul bahwa banyak orang Solo
yang ingin bekerja di Jakarta karena terlihat begitu keren dan high salary.
Semua cerita
beliau mengingatkan saya akan sebuah ayat Alquran, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan
boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah
mengetahui sedangkan kamu tidak” (Al Baqarah 216).
Kadangkala kita
melihat hidup orang lain begitu enak dan indah, karena ya memang yang enak
dan indah itulah yang terlihat oleh kita, hingga kita sendiri tidak sadar bahwa
kita juga dilihat orang lain memiliki hidup yang menyenangkan dan sempurna, hingga
orang lain ingin hidup seperti kita.
Itulah sawang sinawang, segala sesuatu yang terlihat sesungguhnya
hanyalah “kelihatannya”