Di tahun 2009,
pada musim liburan kampus saya merencanakan pulang ke Malang dengan naik bis
malam seperti biasanya, saya biasa naik bus agak malam sekitar jam 10an agar
sampai di Surabaya subuh dan sampai di Malang pagi sudah terang, jadi mau naik
kendaraan umum apa saja gampang.
Saya berangkat
dari kos di Jalan Mendung pukul 09.30 untuk mencegat bus di halte depan kampus
UNS, biasanya bus lewat tiap 10 menit sekali entah itu Eka, Mira atau Sumber
Kencono (Sumber Selamat). Saya biasanya lebih memilih Eka atau Mira yang lebih
nyaman, saya menghindari naik Sumber Kencono karena reputasinya yang buruk
sering ugal ugalan.
Cukup lama saya
menunggu hampir satu jam tidak ada bis umum Jogja – Surabaya yang lewat, keadaan
semakin sepi tinggal saya sendiri yang duduk di halte, perasaan mulai tidak
enak. Sampai sekitar pukul 10.30 ada bis Mira melaju kencang ke arah Surabaya,
dengan cepat saya berdiri dan melambaikan tangan, tapi sopir tidak mau menghentikan
bisnya padahal kernet sudah melihat saya, tapi tetap saja bis Mira tersebut
melaju kencang. Dengan kesal dan setengah marah-marah saya kembali duduk di halte
dan berharap segera mendapatkan kendaraan.
Sampai satu jam kemudian,
tidak ada bis umum Jogja-Surabaya yang lewat, perasaan saya jadi semakin kesal,
sampai-sampai dalam hati saya mengatakan “coba tadi Mira mau berhenti, sekarang
sudah bisa tidur tenang di bus”, “Ya Allah pengen pulang aja kok susah banget
sih”.
Lewat tengah
malam baru terlihat ada bus yang mengklakson saya, segera saja saya berdiri dan
melambaikan tangan. Bus pun berhenti dan ternyata itu Sumber Kencono yang
selama ini saya hindari. Karena sudah capek menunggu dan busnya sudah terlanjur
berhenti, mau tidak mau naik saja. Ternyata busnya agak penuh dan saya harus
duduk di kursi belakang, padahal biasanya saya paling senang duduk kursi depan.
Karena sudah
mengantuk saya tertidur pulas, sampai saya sadar bisnya berhenti karena macet. Saya
lihat tulisan di toko-toko tepi jalan, ternyata baru sampai Ngawi. Macet
lumayan lama dan penumpang mulai berisik, tidak biasanya jalan raya tengah
malam begini macet, pasti kalau bukan perbaikan jalan berarti ada kecelakaan.
Perlahan – lahan bis bergerak , bergantian dengan kendaraan yang berlawanan
arah.
Ternyata memang
ada kecelakaan, dan polisi sudah mengamankan lokasi. Jantung saya rasanya mau
copot begitu tahu penyebab kemacetan, bus Mira yang tadi tidak mau berhenti sudah
terguling di tepi jalan. Saya pastikan bis Mira yang naas tersebut adalah bis
Mira yang tadi melewati saya, karena saya ingat mereka memakai screen penahan
silau bergambar bendera Juventus (club bola). Semakin ngeri lagi melihat kaca
depan pecah semua. Tapi sepertinya semua penumpang sudah diberi pertolongan,
karena tidak terlihat ada kepanikan di sekitar bus.
Dan saya-pun
tidak bisa tidur hingga sampai rumah di pagi hari, membayangkan jika bus Mira
tersebut jadi mengangkut saya ketika saya panggil. Apalagi saya suka duduk
depan, makin tidak karuan lagi pikiran saya.
Kejadian mengerikan
itu tidak akan pernah saya lupakan. Meskipun saya tidak termasuk orang yang
celaka, tapi itu membuka mata hati saya bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah diatur sedemikian rupa oleh Yang Maha
Kuasa. Seolah Tuhan mengatakan kepada saya bahwa saya ini tidak tahu
apa-apa, makanya nggak usah ngeyel.
Mungkin dalam
hidup, ketika sesuatu tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan, kita lebih
banyak kecewa, marah, dongkol, bahkan sampai mempertanyakan mengapa semua ini
terjadi kepada Tuhan. Kadang kita tidak benar-benar meyakini bahwa segala
sesuatu yang terjadi adalah karena ijin Tuhan.
Kita banyak
merencanakan ini itu dengan ekspektasi yang kita buat sendiri seolah tidak
mungkin tidak berhasil, kita lupa dengan pepatah “manusia boleh berusaha, Tuhan
yang menentukan”. Begitu sesuatu yang kita rencanakan tidak sesuai ekspektasi,
kita langsung jatuh, sedih bahkan putus asa.
Hidup memang
kadang penuh kejutan, skenarionya tidak pernah diketahui oleh manusia. Hanya
Tuhan yang tahu mengapa begini dan mengapa begitu. Tapi menerima kenyataan
berbeda dengan menyerah kepada keadaan. Ketika kamu sakit kamu tidak bisa
menyerah begitu saja menunggu sembuh dengan sendirinya, padahal kamu bisa
menerima kenyataan bahwa sakitmu tersebut bisa disembuhkan dengan obat.
Ketika dulu saya
belajar menari klasik gaya Surakarta, filosofi menari klasik gaya keraton adalah
“ambanyu mili” atau mengalir bagaikan
air. Setiap gerakan begitu tersambung dan mengalir, pacak gulu, besut, ulap-ulap, tawing dan gerakan – gerakan lain seolah
tidak boleh dipaksakan. Semakin ada gerakan yang dipaksakan maka semakin tubuh
kita cepat lelah bahkan bisa kesleo. Seluruh tubuh digerakan mengikuti irama
dan perasaan, seolah-oleh kita bermeditasi sambil bergerak.
Dalam hidup ini
semakin kita berkonfrontasi dengan kenyataan yang tak bisa diubah, semakin kita
lelah untuk melanjutkan perjuangan, seolah halangan semakin banyak dan semakin
berat. Mengikuti filosofi “ambanyu mili”
tadi mengapa kita tidak “accept things we
cannot change” saja kemudian melanjutkan perjuangan dengan menyesuaikan
keadaan yang sudah terjadi (fleksibel). Dengan begitu kita akan terus bersemangat
untuk terus berusaha semaksimal yang kita bisa. Toh energy itu kekal, tidak akan ada sesuatu yang sia-sia. Kita
kadang hanya terlalu tidak sabaran untuk melihat hasil, padahal Tuhan ingin
memberi kita sebuah hikmah terlebih dahulu.
Surakarta, 30 Juli 2017
Shantika Wijayaningrat
“Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
Mengetahui.” (QS Al Baqarah: 216)
Sumber Referensi
Alquran
Serat Wedhatama (Mangkunagara IV)
Serat Wulangreh (Paku Buwono IV)
Image by Google