“Kayanya ntar gw mau nikah pake adat Jawa
aja deh”
“Adat Jawanya, mau gaya Solo apa Jogja?”
“Loh… emang beda ya?”
Bagi masyarakat umum, Solo dan Jogja hanyalah sebuah perbedaan
geografis, tak ada yang berbeda, sama-sama suku Jawa, bahasanya sama,
makanannya sama, batiknya sama, sama-sama ada keraton, sama-sama kota budaya,
tarian, gamelan, wayang, pakaian adat, keris, tata kota hampir tidak ada
perbedaan, setidaknya anggapannya seperti itu. Kota Kembar – That’s
the stereotype.
Tapi bagi orang Solo dan Jogja sendiri, meskipun sama-sama Jawa namun
perbedaan itu adalah sebuah kebanggaan yang mencirikan karakter masing-masing
kota beserta masyarakatnya. Dan bagi mereka yang concern dalam bidang
budaya, perbedaan Solo dan Jogja tidak terlepas dari sejarah yang begitu
panjang dan kompleks selama ratusan tahun.
Emang Solo sama Jogja lebih tua mana sih? Orang Solo akan mengatakan lebih tua Solo,
sedangkan orang Jogja mengatakan Keraton Solo asalnya dari Jogja. Nah loh…
bingung kan?.
Secara historis, Keraton Solo (Kasunanan) mulai dibangun tahun 1745 oleh
Paku Buwono II, sedangkan Keraton Jogja (Kasultanan) mulai dibangun tahun 1755
oleh Hamengku Buwono I yang tidak lain adalah adik dari Paku Buwono II.
Pendirian Keraton Kasultanan Yogyakarta sendiri merupakan hasil dari perjanjian
Giyanti yang memecah Kerajaan Mataram yang ber ibukota di Solo menjadi dua. Karena
itulah orang Solo mengatakan bahwa Solo lebih tua daripada Jogja. Eits…
tunggu dulu Kerajaan Mataram yang beribukota di Solo waktu itu merupakan
kelanjutan dari Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati di
Kota Gedhe – Jogja tahun 1587, itulah yang mendasari orang Jogja mengatakan
bahwa Keraton Solo asalnya dari Jogja. It will be an endless discussion right?or
civil war maybe… lol.
Berbicara perbandingan, maka harus berbicara sudut pandang, jika dari
sudut pandang orang Solo maka mereka akan menonjolkan kotanya sendiri beserta
adat budayanya, begitu juga orang Jogja. Maka kita akan berbicara dari sudut
pandang orang luar Solo dan Jogja, tapi bukan dari sudut pandang orang luar
Jawa, karena mereka memiliki sense yang berbeda mengenai adat budaya
Jawa.
Dimulai dari bahasa, hampir tidak ada yang bisa dibedakan dari bahasa Jawa
gaya Solo dan Jogja, kecuali beberapa terminologi seperti kata “Nuwun sewu”
untuk orang Solo yang numpang lewat dan “Nderek langkung” untuk orang
Jogja yang numpang lewat, maknanya kurang lebih sama, sama-sama mohon
diperkenankan untuk melakukan sesuatu.
Pakaian adat, ada banyak perbedaan dalam cara dan gaya berpakaian gaya
Solo dan Jogja. Secara historis, pakaian Jogja lebih tua daripada Solo karena
yang dipakai orang Jogja merupakan busana asli orang Kerajaan Mataram jaman
dahulu, sedangkan pakaian gaya Solo merupakan gubahan Paku Buwono III dan
disempurnakan oleh Paku Buwono X supaya tidak terlihat sama dengan orang-orang
Jogja.
Keluarga Keraton Kasunanan Surakarta |
Batik Solo didominasi oleh warna-warna soga atau coklat muda dan
krem, sedangkan batik Jogja didominasi warna putih yang benar-benar putih. Untuk
motif batik Solo terkesan lebih halus dan rumit, sedangkan batik Jogja terkesan
lebih tegas dan gagah.
Batik Parang Jogja |
Batik Parang Solo |
Ketika mengenakan nyamping atau kain jarik, orang Solo menyembunyikan
bagian sered atau garis kain terluar ke dalam wiru (lipatan),
sedangkan orang Jogja malah sengaja menampakannya. Konon penggunaan wiru
sendiri dimulai oleh orang Solo dan orang Jogja baru mengikuti kemudian. Khusus
perempuan yang memakai jarik motif parang, perempuan Solo memakai motifnya menyerong
dari kanan atas – kiri bawah, sedangkan perempuan Jogja dari kiri atas kanan
bawah.
Pakaian Jawi Jangkep Solo |
Pakaian Jawi Jangkep Jogja |
Pemakaian Kain Parang Solo |
Pemakaian Kain Parang Jogja |
Pakaian pengantin sangat menyolok perbedaannya, mulai dari motif kain
yang dikenakan hingga perhiasan dan tata rias yang dipakai. Gaya Solo terlihat
lebih simple namun elegan sedangkan gaya Jogja terlihat lebih glamor dan semarak.
Pengantin Solo (Basahan) |
Pengantin Jogja (Paes Ageng) |
Keris (warangka/sarung keris) gaya Solo terlihat lebih mewah dan
anggun, sedangkan gaya Jogja lebih simple dan maskulin.
Warangka Keris Gayaman Solo (Kiri) & Jogja (Kanan) |
Warangka Keris Ladrang Solo (Kiri) & Jogja (Kanan) |
Wayang kulit gaya Solo selama ratusan tahun telah berevolusi dan terus
dimodifikasi hingga tercipta wayang kulit yang begitu mewah dan anggun.
Sedangkan wayang gaya Jogja masih tetap asli seperti wayang kulit zaman
Kerajaan Mataram yang terkesan sederhana dan sakral.
Jika kita melihat tarian gaya Solo dan Jogja maka kita akan merasakan
sebuah ekspresi yang berbeda walaupun jenis tarian dan gerakan yang ditarikan
adalah sama. Tema-tema tarian klasik Solo kebanyakan bertema romantik dan
ditarikan dengan sedikit cita rasa sensual yang elegan. Sedangkan tarian klasik
gaya Jogja kebanyakan bertema heroik dan memiliki sebuah alur cerita dimana
terdapat sebuah ekspresi konflik sebagai klimaksnya. Sama-sama menari srimpi,
namun ekspresi yang hasilkan akan berbeda. Untuk kostum jelas beda.
Srimpi Pandelori Keraton Yogyakarta (atas)
Srimpi Sangupati Keraton Surakarta (bawah)
Srimpi Pandelori Keraton Yogyakarta (atas)
Srimpi Sangupati Keraton Surakarta (bawah)
Pada dasarnya sangat sedikit sekali perbedaan dalam teknik memainkan
gamelan, namun perbedaan yang menonjol adalah sense atau ekpresi yang
dibangun oleh repertoar gending-gendingnya. Musik gamelan Solo lebih banyak
bersifat meditatif dan romantis terutama komposisi ladrang dan ketawang,
peran instrument bonang barung sangat menonjol sehingga kesan yang
ditimbulkan begitu halus dan kalem, irama seseg (tempo cepat) hanya
berfungsi sebagai klimaks. Sedangkan musik gamelan gaya Jogja lebih banyak
bersifat heroik, entertain dan menggugah semangat terutama komposisi lancaran
dan soran, peran instrument wilahan sangat menonjol untuk
menghasilkan kesan bersemangat dan heroik. Gending biasa dibuka dengan irama
seseg (tempo cepat) dan diakhiri dengan irama seseg juga, sedangkan irama
tamban (tempo lambat) hanya ada di tengah-tengah saja. Silahkan simak :
Ladrang Prabu Mataram dari Keraton Yogyakarta (atas)
Ladrang Bremara dari Keraton Surakarta (bawah
Ladrang Prabu Mataram dari Keraton Yogyakarta (atas)
Ladrang Bremara dari Keraton Surakarta (bawah
Untuk tampilan luar gamelannya juga cukup mencolok perbedaannya,
tampilan gamelan gaya Solo biasanya diberi ukiran tembus dua sisi (krawangan)
dengan ukiran naga di beberapa instrument. Sedangkan tampilan gamelan gaya
Jogja biasanya lebih sederhana dan ukiran hanya satu sisi, dengan ukiran manuk
beri (sejenis garuda) di beberapa instrument. Di luar itu, jenis –jenis instrument
yang dimainkan adalah sama kecuali penggunaan bedhug untuk gamelan-gamelan
yang berasal dari Keraton Jogja yang jarang ada di gamelan dari Keraton Solo.
Gamelan Jogja |
Gamelan Solo |
Sebetulnya masih banyak lagi hal-hal yang cukup menarik untuk
dibandingkan antara Solo dengan Jogja, termasuk bagian-bagian rumah, peletakan
kamar mandi dan sumur, tatacara upacara adat, sesajen, penggunaan payung, penggunaan
gelar keraton, bahkan sampai bentuk kijing (batu nisan) di makam
raja-raja Imogiri pun juga berbeda. (Sampai segitunya ya…?) Mungkin bisa kita
bahas di next article. Mungkin juga termasuk Mangkunegaran dengan
Paku Alaman.
Yang pasti perbedaan antara Solo dan
Jogja yang kita lihat saat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah persaingan antar
keraton selama berabad-abad. Jika kita membaca Babad Giyanti, Babad Prayut dan
Babad Mangkubumi maka nampak sekali selama berabad-abad rivalry
antar keraton dan antar raja sudah seperti perang dingin antara Amerika Serikat
dengan Uni Soviet. Namun demikian di setiap akhir perjalanan hidup para raja di
Solo maupun Jogja, pada akhirnya akan dikumpulkan di tempat peristirahatan yang
sama, di puncak bukit Imogiri.
Malang, 31 Oktober 2016
R. Shantika Wijayaningrat
Sumber Acuan:
Babad Tanah Jawi
Babad Giyanti
Babad Prayut
Babad Mangkubumi
Pictures by Google
Terimakasih, artikel anda ini sangat menarik, lengkap, dan tentu saja Bermanfaat. Terimakasih.
BalasHapusUntuk bangunan, Surakarta memiliki bangunan yang lebih pendek namun lebih luas, sementara Yogyakarta bangunannya lebih sempit tapi lebih tinggi.
BalasHapusYogyakarta pada dasarnya jarang menambahkan ventilasi di atas pintu dan jendela, kecuali bangunan yang direnovasi di era HB VIII.
Umpak (alas tiang) Surakarta polos, sedangkan Yogyakarta berpahat dengan tulisan ambigram MUHAMMAD. Yogyakarta juga menciptakan kontruksi lambang gantung untuk meminimalkan kerusakan akibat gempa bumi. Pilar Surakarta merupakan pilar beton, sementara pilar Yogyakarta terbuat dari kayu/logam.