Senin
pagi kemarin saya bangun dalam keadaan capek, mood jelek dan mager,
saya butuh setengah jam untuk mengumpulkan motivasi untuk mandi dan sarapan.
Tidak biasanya memang Senin pagi nggak mood seperti ini, mungkin tensi
sedang tinggi mengingat beberapa hari sebelumnya tensi saya sempat
mencapai 139/86, cukup tinggi untuk orang seusia saya. Di
tas seharusnya ada persediaan coklat dairy milk kecil-kecil untuk
memperbaiki mood, tapi ternyata coklat terakhir sudah saya makan dua minggu sebelumnya dan
lupa belum men-stock lagi.
“Yasudah-lah, nanti saja beli sambil jalan” pikir saya. Ternyata sampai
siang saya tidak sempat mampir ke minimarket, karena dikejar titipan dokumen
dari kantor Gresik ke kantor Surabaya. Baru ingat begitu masuk parkiran di
basement “Oiya tadi mau beli coklat” dan lagi-lagi saya menghela nafas “Yo
wis lah…”.
Saya masuk kantor dan bekerja seperti biasa,
biarpun masih agak “nggak mood”. Menjelang sore, seorang teman kantor
masuk ke ruangan membawa tas plastic besar, sambil mengatakan “ada oleh-oleh
dari boss, pulang dari Holy Land (Yerusalem/Baitul Maqdis)”. Dan apa oleh-oleh
itu? Ternyata coklat satu kantong besar.
Saya yakin tidak cuma saya yang pernah
mengalami kejadian semacam ini, dalam Bahasa Inggris disebut Serendipity
terjemahannya mungkin “kebetulan yang menyenangkan”. Tapi pernahkan kita
berpikir mengapa kebetulan semacam ini bisa benar-benar terjadi?
Di zaman yang serba modern ini, kita terbiasa
dengan hal-hal yang instan. Pengen makan mie, tinggal bikin mie instant,
cuma 5 menit, nggak pake lama. Cuma orang yang niat banget
mungkin yang beli terigu sama telur lalu dicampur kemudian membuat mie sendiri.
Apapun kini serba instan, mau makan apapun, kalo mager tinggal food delivery.
Hal yang serba instan inilah yang membuat mindset kita menginginkan apapun
serba cepat. Disadari atau tidak hal-hal instant mendidik kita untuk
berorientasi pada hasil akhir. Kita tidak mau tahu prosesnya, yang penting kita
tahu hasilnya.
Dulu waktu sekolah, kita pengen cepet
lulus lalu kuliah. Setelah kuliah, kita pengen cepet wisuda lalu kerja.
Begitu bekerja, kita pengen cepet naik gaji/naik jabatan. Ada juga
yang pengen cepet nikah. Setelah
menikah pengen cepet punya anak. Setelah punya anak, pengen cepet
anak gede biar bisa sekolah dan seterusnya. Kita mau semuanya pengen
cepet, bahkan baru hari Senin pun kita pengen cepet hari Jumat.
This is our society. Dan apa yang terjadi? Ketika sesuatu melambat
dan tidak sesuai dengan ekspektasi, yang datang adalah kekecewaan dan
frustasi.
Ada berapa banyak ibu rumah tangga muda
yang frustasi karena merasa tidak kunjung punya anak. Ada berapa banyak orang
kantoran di luar sana yang nglokro karena merasa tidak kunjung naik
gaji/naik jabatan. Ada berapa banyak pengusaha pemula yang banting setir
kanan banting setir kiri karena merasa tidak kunjung sukses. Padahal waktu
dan usaha yang dilakukan belum tentu sudah maksimal.
Enjoy the Process
Di saat ini banyak sekali orang yang mengeluhkan
betapa lambatnya perkembangan hidup mereka, rasanya hidup kok gini-gini aja
ya. Kok rasanya segala target dalam hidup ini jadi terlihat menjauh.
Sementara itu, masifnya social media membuat generasi ini makin tidak bisa
berhenti untuk membanding-bandingkan diri dengan orang lain, bahkan dengan
orang yang tidak mereka kenal sekalipun di Instagram/facebook.
Seolah-olah hidup ini haruslah seindah timeline
Instagram orang-orang itu. Padahal kita punya jalan hidup sendiri-sendiri yang
dikehendaki oleh Tuhan.
John
Pemberton penemu Coca Cola, hingga usia 56 tahun belum
menemukan formula yang pas untuk minuman fenomenal ini. Colonel Sanders pendiri
KFC, hingga usia 65 tahun, masih belum menemukan restoran yang mau menerima ayam
gorengnya. Sementara itu Jack Ma, pengusaha terkaya nomer 3 di China, baru
mendapatkan kerja setelah lamarannya ditolak 33 kali. Di sudut pandang yang
lain, Nabi Zakariya, baru dikaruniai anak setelah istrinya berumur 98 tahun
Mungkin kamu tidak akan se-tua John Pemberton
atau Colonel Sanders untuk mencapai kesuksesan, karena kamu tidak memulai
sebagaimana mereka memulai. Atau kamu tidak perlu ditolak bekerja hingga 33
kali seperti Jack Ma karena saat inipun kamu sudah bekerja. Kamu yang
menginginkan punya anak juga tidak perlu menunggu hingga berumur 98 tahun
karena kamu bukan se-level nabi dalam menerima ujian Tuhan. So be present,
and enjoy the process.
Semakin kita menikmati setiap proses dalam
hidup, entah itu keberhasilan 1 langkah maupun kegagalan 1 langkah, maka kita
semakin bersyukur dengan perjalanan yang telah kita tempuh, dan kita semakin fokus
untuk menemukan jalan menuju apa yang kita tuju. Bukan malah mengutuki nasib
atau berputus asa karena Tuhan tak kunjung mengabulkan doa kita.
Waktumu tidak sama dengan Waktu-Nya
Ada banyak diantara kita yang merasa doanya
tidak kunjung dikabulkan Tuhan, baru berdoa tadi malam, tapi ingin dikabulkan
besok pagi. Kehidupan serba instant di zaman ini seolah membuat kita meminta
Tuhan untuk melakukan keajaiban-keajaiban secara instant juga, bahkan kadang
men-dikte Tuhan. Kita tidak ingin tahu prosesnya bagaimana, pokoknya pengen
cepet jadi.
Jika dikehendaki, bagi Tuhan mengabulkan doamu
adalah hal gampang. Kamu berdoa ingin kaya raya, dalam semalam Tuhan bisa
mengisi kolong ranjangmu dengan uang. Tapi bisa jadi Tuhan menunda mengabulkan
apa yang kamu inginkan karena memang kamu belum membutuhkannya. Atau
bisa jadi Tuhan merencanakan sesuatu yang besar daripada apa yang kamu mohonkan
kepada-Nya. Kita tidak pernah tahu waktunya Tuhan.
Kamu yang ingin membeli rumah karena sungkan hidup
ikut mertua, kamu tidak tahu mungkin saat ini pengembangnya sedang nego harga
dengan pemilik tanahnya. Atau kamu yang ingin pergi haji, kamu tidak tahu
mungkin pesawat yang membawamu ke sana sedang di rakit di suatu tempat di
Jerman sana saat ini. Kita tidak tahu apa yang sedang dikerjakan-Nya untuk
mengabulkan doamu.
Seperti coklat dari Yerusalem, Tidak ada
yang kebetulan di dunia ini, semua sudah direncanakan oleh Tuhan. Karena segala
sesuatu ada waktunya.
Surabaya, 21 Maret 2020
R. Shantika Wijayaningrat
Sumber Referensi
Byrne, Rhonda. 2006. The Secret. USA: Atria Book
Koch, Richard. (2019). The 80 / 20 Principle. London: MIC
Paksi, Yopi Jalu. 2010. 101 Tips Kilat Barpikir Positif dan Berjiwa Besar. Yogyakarta: Media Pressindo
Ranggawarsita, R.Ng. (1873) Serat Sabdajati. Karaton Surakarta Hadiningrat: Sasana Pustaka
Koch, Richard. (2019). The 80 / 20 Principle. London: MIC
Paksi, Yopi Jalu. 2010. 101 Tips Kilat Barpikir Positif dan Berjiwa Besar. Yogyakarta: Media Pressindo
Ranggawarsita, R.Ng. (1873) Serat Sabdajati. Karaton Surakarta Hadiningrat: Sasana Pustaka
Suseno, Franz Magnis. (1984) Etika Jawa: Sebuah analisis falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa, Jakarta: PT Gramedia