Mungkin bagi yang memiliki pandangan keagamaan yang
super religius cenderung fanatik sempit, membaca judul “Agama Sekedar Pakaian”
sudah cukup untuk membuat tensi darah naik. Tapi bagi yang memiliki pemikiran terbuka,
judul di atas hanya cukup untuk membuat alis berkerut beberapa detik. Tapi
memang agama adalah pakaian merupakan baris terakhir tembang pangkur dari Serat Wedhatama karya Mangkunagara IV (1809 - 1881) yang bait
lengkapnya adalah
Mingkar mingkuring angkara
Mangkarana karenan mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinuba sinukarta
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhur
Kang tumrap ing tanah jawa
Agama
ageming aji
(Serat Wedhatama – Sri Paduka Mangkunegara
IV)
Mengapa Mangkunagara IV menyebut agama adalah
pakaian? Tentu saja berasal dari sudut pandang masyarakat jawa mengenai agama
itu sendiri. Jika dalam bahasa Indonesia predikat untuk objek agama adalah
“memeluk” contohnya memeluk agama islam, para pemeluk agama kristen, dll. Dalam
bahasa Jawa predikat untuk objek agama adalah “ngrasuk” yang berarti memakai pakaian, contohnya ngrasuk agami islam, jaman dereng ngrasuk
agami. dll. Kata kerja ngrasuk ini merupakan predikat yang juga selalu
mendahului objek busana, contohnya ngrasuk busana kaprabon, boten mbekta
rasukan, dereng gantos rasukan dll, rasukan
berarti pakaian.
Cukup menarik memang mengenai pandangan masyarakat
jawa perihal agama ini. Agama adalah pakaian, lalu bisa diganti dong? Ya bisa. Dalam sejarah jawa, masyarakat
jawa telah berganti-ganti agama selama ribuan tahun. Sebelum agama-agama impor
datang, masyarakat jawa sudah memiliki agamanya sendiri, mengenai pandangannya
terhadap siapa itu Sang Pencipta? Siapa itu yang Mengabulkan Doa? Bagaimana
cara menyembah Sang Pengabul Doa itu? Bagaimana mencari hari baik untuk berdoa,
bekerja, berpesta maupun berpuasa? Bagaimana watak orang yang lahir di hari
kamis kliwon? Mengapa hari samparwangke tidak
boleh dipakai untuk berpesta? Dan lain sebagainya. Masyarakat jawa sudah
memiliki semua itu.
Kemudian datanglah agama dari luar negeri yang
pertama yaitu Hindu dan Buddha. Nampaknya tidak terlalu sulit bagi para
brahmana dan biksu dari India untuk mensyiarkan agamanya kepada orang jawa. Hal
ini terbukti dengan prasasti-prasasti terbitan abad IV dan V yang dikeluarkan
oleh raja-raja yang sudah beragama Hindu maupun Buddha. Logikanya, kalau memang
sulit mengubah masyarakat jawa untuk memeluk agama Hindu – Buddha, pastinya
raja yang memiliki gengsi tinggi tidak akan memeluk agama yang dibawa orang
asing, tentu raja akan mempertahankan agama leluhurnya demi tetap dihormati
rakyat.
Yang unik disini adalah para pemeluk agama Hindu dan
Buddha di Jawa hidup rukun berdampingan, mereka beribadah di candi-nya
masing-masing yang kadang bersebelahan, dan memiliki menteri agamanya
masing-masing yang menjadi penasihat raja. Kontras sekali dengan para pemeluk
agama Hindu dan Buddha di negeri asalnya India, abad II SM – V Masehi adalah
masa-masa persaingan dan saling memerangi antara umat Hindu dan Buddha di India
yang berakibat agama Buddha tersingkir dari India, dan para biksu menyebarkan
agamanya di luar India termasuk ke Asia Tengah, Asia Tenggara dan Asia Timur.
Sementara di Jawa, Hindu dan Buddha rukun-rukun saja. Bahkan di era Kerajaan
Singhasari & Majapahit (abad XII-XV) terjadi sinkretisme agama Hindu dan
Buddha, dimana satu orang bisa beribadah dalam dua agama, ketika meninggal juga
bisa di makamkan dengan cara dua agama. Tentu ini tidak ada duanya di belahan
dunia manapun.
1.200 tahun memeluk agama Hindu – Buddha,
masyarakat jawa mulai kedatangan agama baru yang dibawa oleh para ulama dari
Yaman Selatan yang nyambi berdagang.
Berbeda dengan agama Hindu – Buddha yang langsung menargetkan raja dan
bangsawan sebagai pemeluk, agama Islam menargetkan masyarakat kelas bawah
terlebih dahulu, terutama di pesisir yang jauh dari pusat pemerintahan.
Menyebarkan agama baru inipun juga sepertinya tidak terlalu sulit, cukup
menarik perhatian masyarakat dengan apa yang mereka sukai, seni musik misalnya
(gamelan) atau seni pertunjukan (wayang). Tapi karena syariat Islam ini cukup
jauh berbeda dengan tatacara ibadah Hindu – Buddha, maka para juru dakwah (para wali) tidak langsung secara frontal
mengganti upacara-upacara yang sudah ada. Para wali secara halus hanya
mengganti esensinya saja, mau bikin sesajen terserah, mau bikin slametan
terserah, yang penting ketika selamatannya didoakan, doanya harus kepada Allah,
bukan lagi kepada dewa-dewi. Dan orang jawa secara perlahan mulai mengganti
sebutan Sang Hyang Widhi dengan
sebutan Gusti Allah, meskipun mereka sadar
antara Sang Hyang Widhi dengan Gusti Allah merujuk kepada satu subjek yang
sama, yaitu Subjek Yang Menciptakan Alam Semesta atau Subjek Yang Dituju ketika
memanjatkan doa.
Bersamaan dengan kolonialisme, para missionaris dan zending dari Eropa mulai menyebarkan agama nasrani kepada
masyarakat jawa. Syiar agama nasrani ini lebih sistematis, strategi yang
digunakan berbeda antara masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah,
meskipun tujuannya sama, yaitu menyatukan mereka dalam satu gereja. Dan sekali
lagi, orang jawa yang sudah kenal dengan Gusti Allah, dengan mudah menerima
agama nasrani, toh sama-sama menyembah
Gusti Allah.
Kembali lagi ke Agama Hanyalah Pakaian, melihat
sejarah agamanya orang jawa yang mudah berganti-ganti, bukanlah berarti orang
jawa adalah masyarakat bodoh yang mudah dipengaruhi. Orang Jawa memandang agama
sebagai cara untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, satu agama adalah satu
cara, sedangkan agama yang lain adalah cara yang lain. Tujuannya sama, yaitu
sama-sama menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, manunggaling kawula lan Gusti.
Jika agama adalah pakaian, lantas badan ini adalah
apa? Badan ya tetap sebagai orang
jawa, dengan falsafah hidup, etika, nilai dan norma Jawa. Karena itu falsafah
hidup, etika, nilai, norma Jawa tetap bertahan selama ribuan tahun melewati
agama Hindu – Buddha, Islam dan Kristen, karena semua itu bagian dari badan
yang tetap ada meskipun pakaiannya berganti-ganti, entah memakai baju merah,
kuning, hijau atau biru. Orang jawa tetap orang jawa meskipun beragama Islam,
Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, Konghuchu dll.
Namun demikian sesuai dengan yang dikatakan oleh Mangkunegara
IV bahwa agama ageming aji (agama
adalah pakaian kemuliaan). Ngrasuk agama berarti
menerima sebuah konsekuensi yang harus ditaati dan dijalankan (mikul duwur mendhem jero). Jika orang
jawa sudah menyatakan diri ngrasuk agama
Islam, maka konsekuensinya ya menjalankan
syariat agama Islam, mematuhi nabi, sudah tidak boleh lagi makan daging babi, tidak
minum minuman ber-alkohol, salat di masjid, berpuasa di bulan ramadhan dll.
Demikian juga yang ngrasuk agama kristen,
maka konsekuensinya ya menjalankan
syariat agama Kristen, beribadah ke gereja, dibaptis dll. Begitu juga jika
orang jawa ngrasuk agama-agama yang
lain.
Jika ada seseorang berbaju agama tapi munafik,
melakukan perbuatan tercela, mencuri, berzinah, membunuh, memfitnah, korupsi,
merusak lingkungan, memprovokasi dan lain-lain. Maka bisa dipastikan orang
tersebut telah merusak agama yang dipakainya. Karena itu seseorang yang telah
ngrasuk agama harus sadar sepenuhnya untuk menjaga kebersihan pikiran, ucapan
dan perbuatan.
Seperti sebelum memakai baju bagus, kita harus
memastikan badan kita bersih. Karena percuma memakai baju bagus tapi badan
kotor dan bau, yang ada malah kita mengotori baju yang bagus. Sama seperti jika
ada orang yang beragama tapi jahat, maka jangan salahkan agamanya, orang itu
hanya tidak siap untuk beragama.
Surabaya, 20 April 2019
R. Shantika Wijayaningrat.
Sumber Referensi
Mangkunegara IV. 1881. Serat Wedhatama.
Surakarta: Pura Mangkunegaran
Paku Buwono V. 1814. Serat
Centhini. Surakarta: Karaton Surakarta Hadiningrat
Sunan Bonang. 1607. Suluk Wujil.
Surakarta: Karaton Surakarta Hadiningrat
Suseno, Franz Magnis. 2013. Etika
Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Lombart, Denys. 2018. Nusa Jawa
Silang Budaya 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama