Bunga kantil dan melati, sesajen dari berbagai makanan dan ayam
hidup, tembang macapat yang dimodifikasi, pohon beringin besar, mantra kuno
dalam bahasa jawa, keris, jumat kliwon, satu suro dan masih banyak hal-hal lain
yang sering kita temui sebagai elemen utama film-film horor Indonesia.
Sejak boomingnya film horor Indonesia di tahun 1970an,
elemen-elemen kehororan yang sering dimunculkan adalah elemen klenik dan
mistik. dan lebih khusus lagi, klenik dan mistik
yang bersumber pada budaya Jawa. Sejak tahun 1970an sampai sekarang sudah
berapa banyak film horor Indonesia yang mengekploitasi budaya jawa sebagai
komoditas horor. Film malam satu suro, ratu pantai selatan, ratu pengasihan
hingga yang terbaru lingsir wengi hampir semuanya mengadopsi budaya jawa
sebagai elemen utama ke-horor-an mereka.
Penggunaan budaya jawa dalam film horor secara
terus menerus telah menggiring persepsi masyarakat mengenai budaya mereka
sendiri.
Sebut saja dukun, pada masa dokter belum banyak
dan menjamah masyarakat terpencil di pedesaan, dukun adalah harapan bagi mereka
yang sakit dan memiliki permasalahan. Seorang dukun bukanlah seperti yang
digambarkan oleh film-film horor saat ini yang identik dengan pakaian serba
hitam, rambut gondrong, suara berat dan berbagai macam cincin akik yang melekat
di jari-jarinya. Dukun real di masa lalu adalah seseorang dekat dan sangat
dihormati masyarakat, dihormati karena kebijaksanaanya membantu permasalahan
orang lain dan juga pemahaman terhadap obat-obatan tradisional yang bisa
membantu menyembuhkan orang yang sakit. Penampilannya pun tak jauh berbeda
dengan trend mode masyarakat kebanyakan di masa itu.
Dukun sebagai pemuka agama suku tengger |
Tapi kini ketika kita mendengar kata dukun, maka
yang terlintas pastilah berhubungan dengan ilmu hitam, kekuatan supranatural
yang digunakan untuk hal-hal tidak baik, pakaian hitam, rambut gondrong,
memakai ikat kepala kain batik, cincin batu akik, dan juga sepotong berita
kriminal di media masa yang terkadang menjeratnya.
Persepsi seperti itu terbentuk akibat (salah
satu-nya) penggiringan persepsi lewat film horor kita yang dilakukan secara
terus menerus. Sehingga boleh dikatakan kata “dukun” itu saja sudah mengalami
peyorasi yang sangat keji. Yang awalnya profesi berhubungan dengan pengobatan
dan konsultan menjadi profesi berhubungan dengan penyembahan setan dan
kriminalitas.
Sesajen untuk upacara besar di Keraton Solo |
Sesajen, yang orang melihatnya saja sudah jijik
karena dianggap makanan setan. Padahal kami di keraton masih menggunakan
sesajen sebagai bagian penting dalam upacara-upacara adat dan tetap
mempertahankannya karena merupakan simbol-simbol doa dan harapan.
Ada lagi, legenda Kanjeng Ratu Kidul alias Ratu Pantai Selatan
yang difitnah secara keji oleh film-film horror kita, padahal dalam pandangan
orang jawa di masa lalu Kanjeng Ratu Kidul adalah tokoh legenda baik hati yang
merupakan leluhur para raja Jawa. Belum lagi keris, bunga tujuh rupa, hari
jumat kliwon, malam satu suro, bakar dupa yang semuanya dijatuhkan maknanya
oleh film-film horror kita.
Maka jangan banyak berharap generasi muda kita mau belajar tembang
mocopat jika terpatri dalam benak mereka tembang macapat adalah nyanyian
pemanggil kuntilanak.
Dewa Poseidon dan Setan |
Hermit (orang bijak) dan penyihir |
Jika kamu pernah membaca novel The Da Vinci Code -nya Dan Brown.
Disana pernah membahas mengenai defamation
atau penghancuran reputasi simbol-simbol budaya masyarakat Eropa asli oleh
oknum-oknum di masa lalu secara sistematis dan massif. Seperti misalnya di masa
kuno topi kerucut adalah simbol para cendikiawan, tapi kemudian dijatuhkan
sebagai topi yang biasa dipakai para penyihir jahat. Contoh lain adalah trisula
yang menjadi senjata dewa Poseidon yang bijaksana, pada perkembangannya turun menjadi
senjata pegangan setan. Bintang lima yang di masa lalu merupakan symbol
pencerahan spiritual, difitnah menjadi simbol ritual pemujaan setan.