Walaupun saya tidak sedang patah
hati tapi artikel ini saya dedikasikan untuk teman-teman yang sedang patah hati
atau bahkan yang sering patah hati.
Saya ingat
ketika dulu SMP, saya sering dicari teman-teman yang baru saja ‘putus’ atau
‘nembak terus ditolak’ untuk sekedar curhat atau meminta masukan. Ada yang
curhatnya santai sambil minum fanta
di kantin, ada juga yang curhatnya sambil berurai air mata di ruang UKS. Pada
waktu itu kami masih sama-sama remaja, tapi entah mengapa teman-teman begitu
percaya kepada saya, untuk menjaga rahasia, untuk memberi masukan, bahkan untuk
memotivasi mereka untuk bangkit lagi. Dan itu terus berlanjut sampai SMA,
kuliah bahkan sampai sekarang dengan berbagai permasalahan mulai yang ringan
sampai yang super complicated. Mungkin
benar kata Bunda Febri (salah satu motivator terkenal dari Solo) bahwa
saya memiliki aura yang ‘mengundang’. A
healing aura that attract damaged people. #lol
Sumber Referensi
Kata orang,
pengalaman adalah guru yang paling baik (walaupun juga guru yang paling tanpa
ampun). Bagi orang yang baru pertama mengalami patah hati, mungkin sakitnya indescribable. Akan sulit untuk memulai
sebuah hubungan baru lagi, karena takut patah hati lagi. Tapi seiring
berjalannya waktu, luka yang lama perlahan sembuh dan muncul gairah untuk
memulai sebuah hubungan lagi. Meskipun kata orang yang melihat dari sudut
pandang biologis, cinta dan ketertarikan terhadap lawan jenis adalah
dipengaruhi oleh hormon. Namun tetap saja itu adalah sebuah kebutuhan yang
dirasakan oleh setiap individu.
Kembali ke
pengalaman, ketika kita belajar memasak pertama kali, awalnya mungkin kurang
asin, ditambah garam, ternyata jadi terlalu asin, ditambah air, rasanya jadi
agak hambar, tambah bumbu lagi, tambah ini-itu dan diperbaiki lagi sampai
semuanya terasa pas di lidah.
Cinta juga
seperti itu, ada yang langsung berjodoh (tapi jarang), ada juga yang harus
mengalami patah hati berkali-kali baru ketemu jodoh yang pas. Even though ada juga yang putus-nyambung
putus-nyambung baru terasa pas.
Patah hati akan
membuat kamu belajar banyak hal. Pertama, membuat kamu belajar bahwa tidak
semua hal di dunia sesuai dengan keinginanmu. Kedua, membuat kamu belajar bahwa
karakter manusia itu bermacam-macam. Semakin sering patah hati, kamu semakin
menyadari bahwa setiap orang itu memiliki keunikan yang ada pada diri mereka.
Kamu jadi tahu bagaimana menghadapi orang dengan berbagai karakter.
Mungkin mantan
pertama kamu adalah orang yang super posesif, harus ngasih kabar sepanjang
waktu, dia harus tahu agenda kamu dan dengan siapa saja. Mantan selanjutnya
super manja, kalau nggak diingetin makan, dia nggak makan, kalau nggak dijemput
dia nggak berangkat. Berikutnya mantan super sensitive, sedikit-sedikit
ngambek, sedikit-sedikit marah, masalah sepele bisa jadi perang. Lalu mantan
super cuek, punya pacar serasa jomblo, kalau nggak ditanya duluan dia nggak ada
kabar.
Jika ternyata
kamu pernah menghadapi mantan-mantan semacam itu, maka kamu layak mendapat
gelar Master. Kamu sudah cukup matang untuk memulai sebuah hubungan yang lebih
dewasa, karena kamu sudah berpengalaman menghadapi banyak masalah dan tahu cara
mengatasinya. Dan tidak perlu ragu untuk melangkah ke jenjang berikutnya.
Perkara kamu
dicap orang rapuh karena sering patah hati, tidak masalah. Daripada kamu
telanjur berkomitment dan kemudian menyesal di belakang. Toh orang hanya
penonton, tidak merasakan apa yang kamu rasakan.
Lalu bagaimana
dengan yang patah hati berkali-kali dengan orang yang sama? I have to say, it’s wasting time.
Berarti keduanya tidak belajar dari kesalahan yang sama. Lalu bagaimana dengan
yang takut memulai hubungan karena takut patah hati? Artinya dia tidak percaya
Tuhan, seolah-olah Tuhan akan meninggalkan dia begitu saja di tengah jalan.
Bagaimana mau belajar nyetir kalau dari awal pikirannya sudah masuk jurang,
nabrak tebing, mobil mogok, tertimpa pohon tumbang, terseret lahar dingin tanpa
membayangkan tujuan yang dicapai dalam perjalanan.
Pada akhirnya,
generasi patah hati adalah generasi yang sedang dididik oleh semesta, bahwa
tidak semua jalan yang kita lalui selalu mulus dan lancar, mungkin kita akan
melewati tanjakan, turunan dan tikungan tajam. Entah itu berulang-ulang atau
tidak, tergantung seberapa cepat kita belajar. Tapi setidaknya mereka yang
mengambil langkah, jauh lebih baik daripada mereka yang takut untuk mencoba.
Surabaya, 24 Juni 2018
R. Shantika Wijayaningrat
R. Shantika Wijayaningrat
Sumber Referensi
http://shantikawijaya.blogspot.com/2016/05/life-is-sawang-sinawang.html
Mangkunegara IV. Serat Wedhatama. Reksa Pustaka Mangkunegaran
Pradiansyah, Arvan. 7 Laws of Happiness. 2015. Jakarta : PT Integritas Lestari Manajemen
Susanto, Dedy. Pemulihan Jiwa. 2012. Jakarta: Transmedia Pustaka