Masyarakat Jawa dalam setiap siklus kehidupannya selalu menandainya dengan dengan ritual-ritual yang menghubungkan dirinya dengan Tuhan YME, sejak dirinya masih berada dalam kandungan hingga bertahun-tahun setelah ia meninggal.
Dimulai dari tiga bulanan, tujuh bulanan, kelahiran, sepasaran, selapanan, wetonan, supitan, tetesan, tarapan, pernikahan, tumbuk ageng, pemakaman, 3 harian, 7 harian, 40 harian, 100 harian, 1 tahunan, 2 tahunan hingga 1000 harian bahkan kol-kolan (haul). Belum lagi upacara-upacara khusus yang dilakukan untuk menandai sebuah moment yang tidak biasa seperti ruwatan, pindah rumah, membangun rumah, membuat tungku, membuat sumur, membeli kendaraan baru dan lain-lain.
Upacara-upacara tersebut menandakan bahwa dalam keyakinan masyarakat Jawa segala hal yang terjadi dalam kehidupan manusia merupakan sebuah proses berurutan yang tak pernah putus yang merupakan kehendak Tuhan YME.
Dalam upacara-upacara tersebut masyarakat Jawa selalu mempersiapkannya dengan baik dan membuat sesaji sesuai dengan momentumnya. Setiap upacara yang berbeda sesajinyapun juga berbeda. Bahkan saking pentingnya sesaji ini dalam masyarakat Jawa, hingga menganggap kesalahan dalam menyiapkan sesaji dapat berakibat proses kehidupan manusia tersebut akan terganggu, atau mendapatkan musibah. Sebetulnya apa yang membuat sesaji begitu signifikan dalam kehidupan masyarakat Jawa?
Sesaji atau sajen secara literal berarti “sesuatu yang disajikan atau dipersembahkan”, dalam variasi lain di Jawa Timur disebut juga sandingan yang berarti “yang mendampingi”. Dalam KBBI sajen didefinisikan sebagai makanan (bunga-bungaan dan sebagainya) yang disajikan kepada orang halus dan sebagainya. Saya secara pribadi kurang begitu sreg dengan definisi yang disebutkan oleh KBBI karena dalam definisi tersebut, sesaji identik dengan penyembahan makhluk halus dan klenik untuk tujuan yang bertentangan dengan agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat kita. Padahal tidak demikian.
Secara kontekstual sesaji dapat bermakna makanan, minuman, barang yang dipersembahkan kepada Tuhan dalam sebuah upacara ritual. Object dari persembahan ini adalah Tuhan, karena doa-doa yang diucapkan ditujukan kepada Tuhan. Akan lucu kiranya jika sesaji dikatakan dipersembahkan kepada makhluk halus tetapi doa yang dibaca memohonnya kepada Tuhan. Nggak nyambung.
Para ulama Keraton Surakarta mendoakan sesaji sebelum dibagi |
Pemberian persembahan atau sesaji dapat dikatakan sejak manusia mengenal bahwa alam semesta ini ada yang menciptakan. Dalam kitab-kitab suci agama samawi (Taurat, Injil & Alquran) menceritakan anak-anak Nabi Adam A.S. (Habil & Qabil) yang memberikan persembahan kepada Allah berupa binatang dan biji-bijian. Allah menerima persembahan Habil karena persembahannya merupakan yang terbaik yang bisa dia berikan. Sedangkan persembahan Qabil (Khain dalam versi Taurat & Bible) ditolak oleh Allah karena persembahan yang dia berikan asal-asalan, sedangkan yang terbaik Qabil makan sendiri. Cerita Habil-Qabil ini merupakan sebuah catatan kapan sesaji/sajen pertama kali dibuat
Hampir semua agama memilliki referensi persembahan kepada Tuhan. Agama Hindu mengatur tatacara persembahan dengan begitu detail dan kompleks dalam kitab Yajurweda dan Upanishad. Begitu pula dengan agama Konghucu dalam kitab Li Jing nya. Bagaimana dengan agama samawi? (Yahudi, Kristen & Islam). Jangan dikira agama samawi adalah agama yang bebas persembahan fisik atau sesajen. Dalam Taurat, Allah menyebutkan secara detail kepada Musa & Harun mengenai tatacara persembahan, mulai dari macam-macam binatang, buah-buahan, roti, biji-bijian, kemenyan dan minyak wangi yang harus dipersembahkan kepada Allah pada waktu upacara-upacara tertentu di Baitul Maqdis di Yerusalem (baca bagian Imamat & Ulangan).
Alquran surah Almaidah ayat 27 juga menceritakan pertama kalinya manusia memberikan persembahan kepada Allah berupa binatang & biji-bijian, meskipun di masa kemudian Islam hanya mengenal onta, sapi & kambing sebagai kurban yang dipersembahkan kepada Allah SWT pada saat Idul Adha & Aqiqah.
Membakar bukhur (kemenyan) di depan Kaabah |
Beruntungnya kita tidak hidup di zaman Aztec di Mexico yang menjadikan nyawa dan tubuh manusia sebagai persembahan kepada dewa-dewa mereka.
Masyarakat jawa sendiri mengenal sajen sejak zaman purba sebelum mengenal agama Hindu. Hal ini terbukti dari ditemukannya berbagai macam benda & tulang binatang yang diletakan di dalam sarkofagus peti mati manusia purba. Kemudian ketika agama Hindu-Buddha masuk, sajen diatur dengan lebih detail mengikuti Weda & Upanishad yang disesuaikan dengan apa yang tersedia di sekitar masyarakat.
Memasuki zaman Islam, para wali tidak melihat sesaji adalah suatu hal yang harus dihilangkan sama sekali karena bertentangan dengan agama Islam. Jika seandainya dianggap bertentangan dengan Agama Islam pastilah hari ini kita tidak bisa melihat orang membuat sajen lagi karena sudah dimusnahkan oleh para wali 500 tahun yang lalu. Tapi kenyataannya tradisi membuat sesaji masih ada sampai saat ini, hal ini membuktikan bahwa sesaji termasuk hal yang tidak dilarang oleh para pemuka agama Islam di masa lalu. Berbeda dengan tradisi membuat candi & arca dewa yang sudah punah sejak zaman Kesultanan Demak, karena memang dilarang keras oleh para pemuka agama di masa itu.
Namun demikian, muatan yang terkandung dalam sesaji kemudian diubah oleh para wali. yang awalnya sesaji merupakan persembahan kepada dewa-dewi, kemudian berubah menjadi simbol-simbol permohonan kepada Allah SWT. Saya ambil contoh yang paling gampang misalnya adalah pangider-ider, sajen pangider-ider berwujud tumpeng nasi kecil-kecil atau kadang bubur yang diberi warna kuning, merah, putih, hitam dengan posisi empat arah mata angin tertentu. Dalam agama Hindu empat warna ini merupakan lambang dari dewa – dewa lokapala yang berkuasa menjaga alam semesta dari empat arah mata angin.
Putih = Iswara di timur,
merah = Brahma di selatan,
Pengider ider |
kuning = Mahadewa di barat,
hitam = Wisnu di utara
campuran warna = Siwa di tengah.
Ketika agama Islam mulai masuk, muatan pangider-ider ini diganti sebagai symbol nafsu manusia yang harus dikendalikan, dan pangider-ider menjadi symbol permohonan kepada Allah SWT agar kita diberi kekuatan untuk mengendalikan nafsu.
Putih = Nafsu Mutmainah
merah = Nafsu Amarah
kuning = Nafsu Aluamah (Alwamah)
hitam = Nafsu Mulkamah (Mulhamah)
campuran warna = Kamilah (Insan Kamil)
Tuwuhan |
Unsur-unsur dalam tuwuhan:
Pisang Raja
|
Bentuk sisiran
pisang yang melengkung ke atas seperti tangan yang menengadah melambangkan
permohonan doa kepada tamu yang hadir agar pengantin berdua memiliki
kehidupan tenteram dan bahagia
|
Tebu Wulung
|
Tebu = AnTEBing
kalBU melambangkan kemantaban hati untuk membina rumah tangga
|
Kelapa muda
|
Kelapa muda juga
disebut sebagai Cengkir = kenCENGing piKIR
melambangkan permohonan agar senantiasa diberi pikiran yang lurus
|
Padi
|
Melambangkan
permohonan supaya tidak kekurangan dalam hal apapun termasuk sandang pangan
|
Daun Beringin
|
Melambangkan
pengayoman keluarga dan keteduhan sebagaimana pohon beringin yang selalu menjadi
tempat berteduh
|
Daun Alang-alang
|
Melambangkan
permohonan supaya dijauhkan dari segala rintangan (Alangan)
|
Daun Apa-apa
|
Melambangkan
permohonan supaya dijaukan dari segala musibah (Ora ana apa-apa)
|
Daun Keluwih
|
Melambangkan
permohonan supaya kehidupan pengantin selalu berkelebihan (luwih-luwih)
|
Daun Girang
|
Melambangkan
permohonan supaya kehidupannya diberkahi dengan kebahagiaan (tansah girang)
|
Daun Andong
|
Pohon andong yang
selalu lurus dan biasa dipakai untuk pagar bermakna keluarga yang baru selalu
mendapatkan perlindunan dari segala fitnah dan musibah
|
Makna dari bunga 3 warna (Kembang Telon) yang selalu ada ketika ziarah ke makam, selamatan atau upacara-upacara lain.
Zaman Hindu
Bunga Merah
|
Brahma
|
Pencipta alam
|
Bunga Hijau
|
Wisnu
|
Pemelihara alam
|
Bunga Putih
|
Siwa
|
Penghancur alam
|
Zaman Islam
Bunga Merah
|
Tasbih
|
Subhanallah
|
Bunga Hijau
|
Tahmid
|
Alhamdulillah
|
Bunga Putih
|
Takbir
|
Allahu akbar
|
Dan masih banyak lagi jenis jenis sajen yang mungkin akan menjadi disertasi doctoral jika harus dijabarkan maknanya disini satu-persatu. Karena setidaknya ada 96 jenis jenang (bubur), 54 jenis tumpeng, belum lagi ratusan macam sesaji lainnya. Sangat sedih kiranya jika sajen diidentikan dengan penyembahan setan, pesugihan, mencari kesaktian apalagi makanan makhluk halus, toh makhluk halus juga tidak makan makanan semacam itu (they told me by themselves). Apalagi kalau mengingat sesajen itu enak dimakan bersama-sama setelah didoakan.
Sejujurnya saya sangat menyenangi melihat sesajen dan menangkap semua makna luhur dan kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya. Tak ada satupun dalam sajen itu yang memiliki makna buruk atau mengajak manusia untuk menjauhi Penciptanya. Sajen hanyalah simbol-simbol atau kata-kata sandi yang berisi permohonan kepada Allah untuk kebaikan manusia dan keharmonisan alam semesta.
Surabaya, 31 Maret 2018
R. Shantika Wijayaningrat
Artikel ini ditulis dengan menggunakan sudut pandang sejarah & budaya, BUKAN sudut pandang agama.
Artikel ini ditulis dengan menggunakan sudut pandang sejarah & budaya, BUKAN sudut pandang agama.
Sumber Referensi
Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa. 1984. Jakarta: PT Gramedia
Dipokusumo, KGPH. Dari Sesaji Menuju Makanan Siap Saji. 2017. Surakarta
Al Quran Al Karim (Kemenag RI 1999)
The Holy Bible (King James Version)
Tafsir Al Jalalain (Imam Jalaludin)
Tafsir Al Misbah (Prof. Dr. Quraish Shihab)
Ringkasan Fiqih (Imam Syafii)
Serat Centhini (Paku Buwono V)
Serat Bauwarna (R.Ng. Ranggawarsita)
Serat Tatatjara (Ki Padmasusastra)