Sebetulnya
saya tidak terlalu tertarik untuk menulis artikel gosip, tapi beberapa hari ini
timeline saya di sosmed banyak dihiasi mengenai kabar keputusan Rina Nose yang
melepaskan jilbab. Karena saya jarang nonton TV jadi saya tidak begitu tahu siapa Rina Nose, tapi jika melihat hal yang demikian saja bisa menjadi komoditas berita, berarti dia memiliki banyak penggemar. Ada yang memberi dukungan moral, ada yang kontra, ada yang sampai menghujat
sedemikian rupa, ada juga yang memposting artikel-artikel keagamaan yang
(semoga saya salah) bertujuan menyindir perempuan yang melepas jilbab. Saya tidak akan ikut-ikutan
mengomentari Rina Nose, saya malah lebih tertarik membahas mereka yang
berkomentar.
Sebetulnya
apa yang terjadi kepada Rina Nose tidaklah suatu hal baru dijaman sekarang ini,
beberapa tokoh masyarakat juga pernah mengalami hal serupa karena kasus serupa,
penyanyi senior Trie Utami misalnya. Saya ingat betul ketika saya masih duduk
di bangku SMA beberapa tahun yang lalu, ada salah seorang guru saya yang
awalnya berjilbab, tiba-tiba tampil tidak berjilbab di sekolah. Dan satu sekolah pun geger, jauh lebih
heboh daripada ketika sang guru tadi menang lomba bioteknologi internasional di
Taiwan.
Mungkin masyarakat kita memanglah terkenal
sebagai masyarakat yang begitu sosial, terkenal dengan gotong royongnya,
tenggang rasanya, ramah tamahnya dan berbagai identitas yang sudah lama
disematkan. Segala permasalahan sosial haruslah dipikirkan bersama, saking
banyaknya permasalahan sosial di masyarakat kita sampai kita kesulitan
membedakan mana permasalahan pribadi dan mana permasalahan bersama. Saking pedulinya terhadap orang lain, sampai
seolah apa yang kita lihat dan apa yang kita dengar haruslah ikut kita
pikirkan, ikut kita komentari dan ikut kita beri saran. Apalagi dengan
berkembangnya medsos yang begitu cepat, menjadikan kita begitu reaktif, kalo
nggak komentar kok gatel rasanya, kaya ada yang kurang….
Meskipun medsos memberikan banyak
sekali manfaat dalam kehidupan kita di era global ini. Namun sadar atau tidak
juga menjadikan kita menjadi generasi yang reaktif, kita begitu mudah bereaksi
terhadap segala sesuatu yang kita lihat meskipun apa yang kita lihat belum
tentu benar. Kita begitu mudah terjun terhadap sebuah kesimpulan hanya dengan
melihat suatu gambar, menonton suatu video atau membaca sebuah
artikel. Saya sengaja mem-bold kata suatu dan sebuah karena memang
kadang ya hanya satu dan hanya mewakili satu sudut pandang saja.
Suatu gambar yang kita lihat bisa
saja telah diedit, tapi kita tidak tahu, atau kalaupun tidak diedit kita kadang
juga tidak tahu latar belakang kejadian dalam gambar itu. Kita menonton sebuah
video yang bisa saja telah disetting atau dipotong tanpa tahu faktanya
secara holistic. Dan kita membaca sebuah artikel tanpa mencari artikel
pembanding yang mewakili sudut pandang yang berbeda. Tapi kita begitu mudah
percaya begitu saja dan langsung bereaksi di kolom komentar. Seperti yang
sering kita alami dalam grup WA, jika ada salah seorang yang langsung
berkomentar tanpa scroll dulu percakapan diatasnya. Antara nggak nyambung,
lucu dan ngeselin.
Saya meyakini apa yang dilakukan
Rina Nose pastilah sebuah keputusan berat yang dihasilkan dari sebuah pemikiran
dan pertimbangan yang matang, sebagaimana ketika dia memutuskan untuk memakai
jilbab. Tapi ya memang beginilah keadaan masyarakat kita tidak mau ambil pusing memahami dari sudut pandang lain, sehingga
dengan serta merta berkomentar pedas, menghujat, memaki, seolah-olah dia adalah
manusia paling berdosa dan sudah hakkul yakin pasti masuk neraka tidak bisa tidak. Medsos
menjadikan masyarakat kita polisi sosial yang mengadili tanpa pengadilan. Bahkan
mungkin ada yang merasa menjadi polisi Tuhan yang berhak menyatakan kamu
berdosa dan kamu sudah pasti masuk neraka.
Saya jadi teringat guru saya
waktu kecil Alm. Mbah Kyai Bakri karena memang saya dibesarkan di lingkungan
santri. Beliau bercerita di masjid, pada waktu pertengahan salat tarawih ada
makmum yang bertanya kepada teman sebelahnya, “ini rakaat ke berapa?”, teman
sebelahnya menjawab “ini rakaat ke 6”. Karena merasa terganggu, seorang teman
yang salat di shaf depannya menegur “ini sedang salat, kalian jangan bicara, kalau
nggak khusyuk salat kalian batal”. Diantara ketiga orang ini siapakah yang
salatnya batal? Tentu saja ketiga-tiganya batal karena ketiga-tiganya bicara saat salat. Tapi ternyata ada satu orang
lagi yang ikut batal salatnya, ternyata ada satu lagi satu teman yang salat dibelakang
ketiga orang ini, dia tidak ikut nimbrung waktu salat, tapi dalam hati dia bicara
sambil memperhatikan mereka “untung aku nggak ikut ngomong, kalo nggak
khusyuk kan salatnya batal” tanpa menyadari bahwa dia sendiri salatnya batal.
Mungkin kisahnya sangat sederhana,
tapi kisah ini membakas di hati para santri, bahwa mencampuri urusan
pribadi orang lain bukanlah hal yang benar jika dilakukan secara tidak tepat,
fokus terhadap urusan diri sendiri dan introspeksi jauh lebih baik dibandingkan
dengan mengoreksi orang lain. Kalau mbah kyai saya masih hidup mungkin beliau akan
bertanya dengan bahasa jawa timurannya “Apa memang susahnya setengah mati sih
menahan diri biar nggak komentar?”
Masih cerita dari guru saya. Waktu
Nabi Isa AS masuk ke Baitul Maqdis (Yerusalem), beliau bertemu kerumunan orang,
ternyata ada penggerebegan seorang pezinah (pelacur) padahal pezinah ini sudah
diketahui bertaubat, tapi masyarakat tidak percaya. Berdasarkan hukum Yahudi
kuno, maka seorang pezinah hukumannya adalah dilempari batu sampai mati (rajam), maka
begitu datang Nabi Isa, orang-orang Yahudi itupun bermaksud menguji beliau. “Wahai
nabi, apa yang harus dilakukan kepada seorang pezinah” Nabi Isa pun menjawab “Jika menurut hukum Taurat, maka dia
haruslah di lempari batu sampai mati”. Maka ketika semua orang di kerumunan itu
telah siap dengan batunya masing-masing Nabi Isa bersabda “Barangsiapa diantara
kalian tidak pernah melakukan kesalahan selama hidup, maka dialah yang berhak melempari
perempuan ini dengan batu pertama kali” Dan semua orangpun diam tidak ada yang
berani memulai hingga mereka meninggalkan tempat satu persatu.
Memang sangatlah mudah melihat
kekurangan orang lain, karena kekurangan mereka berada di depan mata kita, akan
lebih sulit melihat kekurangan diri sendiri, karena terletak dipunggung kita.
Yang pasti sibuk mengkomentari kekurangan orang lain tidaklah akan membuat kita
lebih baik darinya.