Selasa, 31 Desember 2019
Sabtu, 30 November 2019
Minggu, 29 September 2019
Kamu Tidak Harus Memuaskan Semua Orang
Tepat
satu tahun yang lalu saya menulis mengenai mengapa tidak harus menjadi "Be
Yourself" melainkan "Be the Best Version of You", menjadi versi
terbaik dari dirimu sendiri. link di sini Be Yourself ! (Be Careful). Entah kenapa satu
tahun kemudian saya mendapatkan "sasmito" untuk menulis kembali
kelanjutan dari link tersebut, tapi dari sebuah sudut pandang yang berbeda.
Dalam
perjalanan menjadi manusia yang lebih baik, kita tidaklah boleh berhenti
belajar dan menerima masukan dari siapapun. Bagi seorang spiritualis, hal-hal
kecil yang terlihat di jalanan saja bisa disadari sebagai sebuah
"petunjuk" tergantung seberapa peka kita bisa menerima itu sebagai
sebuah hikmah/petunjuk/lessons/sasmito dari semesta kepada kita. Bahkan apa
yang dikatakan seseorang tak dikenal di depan kantor sekalipun bisa menjadi
sebuah masukan untuk kita menjadi lebih baik.
Namun
demikian, dalam perjalanan menjadi manusia yang baik itu tadi seringkali kita
tersesat dalam sebuah pemikiran bahwa manusia yang baik adalah manusia yang
disenangi oleh semua orang. Sehingga dalam melakukan tindakan kita menjadi
sangat hati-hati dan berusaha untuk menyenangkan semua orang. Kita berusaha
membuat orang tua kita senang, kakak kita senang, adik kita senang, paman kita
senang, bibi kita senang, pacar kita senang (kalau punya), teman kantor senang,
atasan kita senang, atasan kita di atasnya atasan kita senang, tetangga sebelah
kanan senang, tetangga sebelah kiri senang, pak RT senang, satpam kompleks
senang. Pokoknya semua orang yang kenal dengan kita harus senang kepada kita.
Disinilah
arah orientasi menjadi manusia yang lebih baik menjadi berubah, kita move
on tidak berusaha memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik, melainkan
kita move on untuk berusaha menyenangkan orang lain (semua
orang). Tapi memang sah-sah saja jika itu pilihan hidup yang kamu ambil, tapi
ada alasan bahwa apa yang kamu kerjakan untuk bisa menyenangkan semua orang
mungkin akan sia-sia.
Tidak semua orang punya pikiran
yang sama
Kamu harus ingat bahwa setiap orang
punya pikiran dan pandangan yang berbeda dalam menyikapi hidup, tergantung dari
seberapa luas wawasan dan seberapa banyak pengalaman hidup. Ayahmu
menginginkanmu menjadi tentara, ibumu menginginkanmu menjadi dokter, kakakmu
menginginkanmu menjadi atlet, pamanmu menginginkanmu menjadi pengusaha dan lain
lain. Jika kamu ingin menyenangkan hati semua orang, kamu akan menjadi dokter
tentara yang berprestasi dalam bidang olahraga yang juga sukses sebagai
pengusaha. Tapi tentu saja itu butuh perjuangan, dan itu baru hati 4 orang yang
kamu senangkan, belum yang lain.
2. Standart
kepuasan hidup setiap orang berbeda
Mungkin kamu sudah merasa cukup dengan memiliki rumah
sederhana tanpa harus kontrak rumah atau kos, tapi ada juga orang yang baru
merasa cukup jika memiliki rumah yang luas, berlantai 3, dan ada juga yang baru
merasa cukup jika tinggal di kastil dan bernyanyi dari balkon kastilnya setiap pagi.
Begitu juga jika kamu mau menuruti kepuasan mereka semua, maka perjuanganmu
tidak akan ada habisnya.
3.
Semua orang
bertanggung jawab atas hidupnya masing-masing
Tetanggamu sebelah kanan listriknya diputus karena
tidak mampu bayar listrik, semenjak dia di-PHK. Tetangga sebelah kirimu
terancam bercerai karena sering bertengkar mengenai orang ketiga. Teman
kantormu harus naik angkot setiap hari karena kendaraannya dicuri orang. Setiap
orang memiliki masalahnya masing-masing, dan setiap orang juga bertanggungjawab
atas hidupnya masing-masing. Jika kamu ingin menyenangkan semua orang, tentunya
kamu tidak akan membiarkan mereka semua dalam masalah. Tapi ingat, kamu bukan Superman,
atau juga bukan Al Masih yang menjadi juru selamat atas penderitaan
semua orang. Tuhan memberikan ujian kepada setiap individu yang tentu saja
sudah diukur sesuai kemampuan masing-masing. So, jangan bebani hidupmu dengan
permasalahan orang lain, jika kamu ingin membantu orang lain maka bantulah
sesuai kemampuanmu.
“Banyak” disini bersifat subjective, tergantung
seberapa baik lingkunganmu berada. Jika kamu berada dilingkungan kompetitif,
maka hukum rimba seolah berlaku disini, siapa yang kuat maka dia-lah yang akan
bertahan hidup, maka jangan heran jika ada saja orang yang menginginkan kamu
lemah dan jatuh. Kelemahanmu akan mereka jadikan pijakan untuk melebihimu.
5.
Banyak
pendapat yang hanya sekedar pendapat
Mungkin tidak semua, tetapi banyak sekali di dunia ini
orang yang memberi nasehat tapi tidak mengaplikasikan apa yang katakan untuk
dirinya sendiri. Seseorang mengatakan “Kamu itu jangan moody, ada orang kok
gampang emosi” tapi dia sendiri mengatakan itu dengan emosi dan nada tinggi.
Banyak juga yang memberi masukan kepadamu tapi juga sekedar masukan saja, dia
tidak terlalu peduli apakah kamu akan benar-benar mengerjakan masukan darinya
atau tidak.
6.
Orang bisa
membenci tanpa alasan
“Aku nggak suka kamu karena kamu sok ‘yes’ !” atau
bisa juga “aku nggak suka sama dia karena nggak suka aja” , “nggak
sukanya kenapa?”, “ya pokoknya nggak suka aja”
Well,
jangan dikira orang seperti itu tidak ada, setidaknya ada satu diantara 10. Sekeras
apapun kamu mencari simpati orang seperti ini, tetap saja akan ada yang kurang
dari mu di mata-nya. Lain lagi ceritanya kalau ada orang bilang “aku nggak
suka sama kamu karena mukamu ngeselin” So, there’s nothing you can do?
7.
Nabi saja
punya musuh
Sedih mah kalo inget banyak nabi-nabi terdahulu yang
baik-baik dan pasti masuk surga tapi dimusuhi oleh kaumnya sendiri. Nabi
Muhammad SAW saja sampai berpindah ke Madinah karena terus akan dibunuh oleh
penduduk kampung beliau sendiri di Mekkah. Bahkan Nabi Isa AS yang menyembuhkan
orang sakit dan menghidupkan orang mati saja diperbolehkan untuk dibunuh oleh
para alim ulama jaman itu (Yahudi). Apalagi kamu yang punya banyak
keterbatasan, lupa nyuci gelasmu sendiri saja, sudah bisa bikin OB (office boy)
kantor cemberut sama kamu.
Jika mau disebutkan lebih banyak, maka akan menjadi sebuah disertasi, tapi 7 alasan di atas sudah cukup untuk mewakili yang lain.
Ada banyak alasan mengapa kamu harus tetap focus memperbaiki diri, tapi tentu saja tidak termasuk supaya kamu disenangi semua orang. Semakin kamu berubah menjadi lebih baik, semakin mudah impian hidup kamu capai, dan semakin cepat kesialan hidup menghindarimu. Dan kabar baiknya efek dari perubahan hidupmu yang lebih baik, akan mendatangkan simpati orang di sekitar kepadamu. Setidaknya kamu tidak perlu memperhatikan satu orang yang membencimu jika kamu punya sembilan orang yang mencintaimu. Life is not that hard, isn’t it?
Surabaya, 30 September 2019
R. Shantika Wijayaningrat
Ada banyak alasan mengapa kamu harus tetap focus memperbaiki diri, tapi tentu saja tidak termasuk supaya kamu disenangi semua orang. Semakin kamu berubah menjadi lebih baik, semakin mudah impian hidup kamu capai, dan semakin cepat kesialan hidup menghindarimu. Dan kabar baiknya efek dari perubahan hidupmu yang lebih baik, akan mendatangkan simpati orang di sekitar kepadamu. Setidaknya kamu tidak perlu memperhatikan satu orang yang membencimu jika kamu punya sembilan orang yang mencintaimu. Life is not that hard, isn’t it?
Surabaya, 30 September 2019
R. Shantika Wijayaningrat
Sumber Referensi
Amalia, Farizza Nour (2018) Cara Mengubah Kebiasaan Buruk.
Jakarta: Anak Hebat
Indonesia
Edgerton, Franklin (1965) The
Panchatantra. Translated from the Sanskrit. London: George
Allen and Unwin Ltd.
Ranggawarsita, R.Ng. (1873) Serat
Sabdajati. Karaton Surakarta Hadiningrat: Sasana Pustaka
Suseno, Franz Magnis. (1984) Etika Jawa: Sebuah
analisis falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa,
Jakarta: PT Gramedia
Sabtu, 31 Agustus 2019
Kenapa Kamu Sering Sial?
Beberapa waktu yang lalu saya menerima
kunjungan teman lama, rasanya sudah lama sekali saya tidak bertemu dengannya,
mungkin tiga tahunan. Kami mengobrol banyak sekali, hingga saya menanyakan
bagaimana pekerjaannya, ekspresinya agak berubah seolah tidak ingin mendengar
pertanyaan itu dari saya. Sayapun sebetulnya juga tidak keberatan jika
pertanyaan saya tidak dijawab, tapi kemudian teman saya ini mulai menceritakan
usahanya yang diambang pailit, hutang membengkak, dan keluarganya pun mulai
renggang akibat tidak kuat dengan keadaan. Cerita semakin sedih ketika dia mengingat
masa lalunya yang juga penuh ujian. Di akhir cerita dia mengatakan bahwa
mungkin nasibnya ditakdirkan buruk, dipenuhi dengan ujian. Dia mengatakan
sering dapat musibah, dijatuhkan oleh saingan dan berbagai cerita kesialan
nasibnya. Bahkan dia menanyakan kepada saya apakah ada cara untuk mengusir
nasib buruk yang selalu menimpanya.
Meskipun saya orang Jawa, tapi saya tidak
mungkin langsung mengatakan bahwa mungkin dia orang yang sukerta atau
orang kotor yang hidupnya ditakdirkan penuh ujian. Dan cara mengatasi nasib
sial yang tiada henti adalah dengan cara di-ruwat yaitu serangkaian
upacara untuk melepaskan diri dari cengkeraman Bathara Kala atau
kesialan.
Pada dasarnya kesialan dan keberuntungan
adalah sesuatu yang subjective menurut sudut pandang. Ketika adik saya
mengalami kecelakaan parah hingga koma dan operasi tempurung kepala yang
menghabiskan biaya bukan main-main, nenek saya mengatakan "alhamdulilah
isih diwenehi selamet, duwit iso digoleki, nyawa ora ono sing dodol"
yang artinya "alhamdulillah masih diberi keselamatan, uang bisa dicari,
tapi nyawa tidak ada yang jual". Sebuah pemikiran orang jawa ketika
musibah terjadi, maka yang dilihat adalah sisi terbaik dari musibah itu. Maka
tidak asing bagi orang jawa ketika diberi kesialan maka responnya mungkin
"untung ora...." atau "slamete isih.... "
Kembali lagi mengenai bad luck,
seringkali kita melihat itu semua sebagai ujian tanpa alasan dari Tuhan, ya
mungkin juga bisa jadi tanpa alas an, kan suka-suka Tuhan, Dia Yang Maha
Kuasa – kamu hanya sekedar makhluk yang menjalankan. Tapi saya meyakini bahwa
Tuhan tidak bermain dadu, tidak menciptakan segala sesuatu secara acak. Selalu
ada maksud dari segala sesuatu yang terjadi yang kadang baru kita sadari
setelah hal tersebut terjadi, mungkin baru disadari besoknya, atau bulan depan,
atau tahun depan, atau bertahun-tahun kemudian, atau bahkan tidak pernah kita
sadari karena kita tidak mampu membaca hikmah dibalik semua kejadian.
Selasa, 30 Juli 2019
Hidup Ini Ternyata Tidak Adil
"Dia mah dari lahir udah kaya, mau bikin usaha apa aja ada modalnya. Makin lama makin kaya. Kalo kita cuma punya ide, mau dijalanin gak ada modalnya. Ya gini hidup, harus banting tulang"
"Dia kan anak orang kaya, bisa kuliah, lulus gampang cari kerja yang gajinya gede. Kita boro2 kuliah, bisa SMA aja udah untung, gaji pas-pasan udah alhamdulillah"
"Dia kan cantik dari lahir mbak, mana anak orang kaya lagi, bisa perawatan mahal. Jelas kinclong lah, jodohnya merapat dari segala penjuru"
Rasanya keluh kesah semacam di atas bukan hal asing bagi kita. Ada saja di sekitar kita yang mengeluhkan sesuatu yang tidak bisa diubah. Jika memang kita lahir dari keluarga tidak mampu, apakah masih mungkin kita minta Tuhan me-reset ulang kita lahir dari keluarga kaya. Atau jika kita lahir dengan wajah atau penampilan yang tidak terlalu good looking, apakah kita bisa minta Tuhan melahirkan kita dengan wajah bule Perancis, sementara kedua orang tua kita berwajah njawani, yang ada malah kamu dikira anak hasil selingkuhan.
Saya memiliki seorang teman yang sering sekali mengeluh bahwa hidup ini tidak adil. Dia mengeluhkan orang tuanya yang miskin dan bercerai, sehingga kini hidupnya juga ikut miskin. Sementara bosnya yang lahir dari keluarga kaya, semakin kaya karena usahanya pesat dengan modal yang besar. Berkali-kali dia mengatakan bahwa dunia ini benar-benar tidak adil, tapi ketika saya tanyakan "terus yang adil bagaimana?" dia juga bingung harus menjawab.
"Dia kan anak orang kaya, bisa kuliah, lulus gampang cari kerja yang gajinya gede. Kita boro2 kuliah, bisa SMA aja udah untung, gaji pas-pasan udah alhamdulillah"
"Dia kan cantik dari lahir mbak, mana anak orang kaya lagi, bisa perawatan mahal. Jelas kinclong lah, jodohnya merapat dari segala penjuru"
Rasanya keluh kesah semacam di atas bukan hal asing bagi kita. Ada saja di sekitar kita yang mengeluhkan sesuatu yang tidak bisa diubah. Jika memang kita lahir dari keluarga tidak mampu, apakah masih mungkin kita minta Tuhan me-reset ulang kita lahir dari keluarga kaya. Atau jika kita lahir dengan wajah atau penampilan yang tidak terlalu good looking, apakah kita bisa minta Tuhan melahirkan kita dengan wajah bule Perancis, sementara kedua orang tua kita berwajah njawani, yang ada malah kamu dikira anak hasil selingkuhan.
Saya memiliki seorang teman yang sering sekali mengeluh bahwa hidup ini tidak adil. Dia mengeluhkan orang tuanya yang miskin dan bercerai, sehingga kini hidupnya juga ikut miskin. Sementara bosnya yang lahir dari keluarga kaya, semakin kaya karena usahanya pesat dengan modal yang besar. Berkali-kali dia mengatakan bahwa dunia ini benar-benar tidak adil, tapi ketika saya tanyakan "terus yang adil bagaimana?" dia juga bingung harus menjawab.
Minggu, 30 Juni 2019
Social Climber, Are You?
Mungkin masih segar di ingatan kita, kasus First Travel yang begitu menggemparkan masyarakat tanah air, dengan nilai kerugian mencapai ratusan milyar rupiah. Bahkan hampir setara dengan APBD sebuah kabupaten. Gila memang, ribuan konsumen harus kehilangan uang hasil jerih payahnya yang diniatkan untuk beribadah ke tanah suci, mengunjungi Rumah Allah. Kemana uang sebanyak itu lari? Tidak bisa dipastikan kemana saja dana ratusan milyar itu menguap begitu saja, hasil investigasi kepolisian juga menemukan banyak kejanggalan dalam pembukuan dan nilai dari berbagai aset yang dimiliki. Asumsi sementara, uang ratusan milyar tersebut habis dipakai untuk kepentingan konsumtif.
Minggu, 21 April 2019
Orang Jawa: Agama Sekedar Pakaian
Mungkin bagi yang memiliki pandangan keagamaan yang
super religius cenderung fanatik sempit, membaca judul “Agama Sekedar Pakaian”
sudah cukup untuk membuat tensi darah naik. Tapi bagi yang memiliki pemikiran terbuka,
judul di atas hanya cukup untuk membuat alis berkerut beberapa detik. Tapi
memang agama adalah pakaian merupakan baris terakhir tembang pangkur dari Serat Wedhatama karya Mangkunagara IV (1809 - 1881) yang bait
lengkapnya adalah
Mingkar mingkuring angkara
Mangkarana karenan mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinuba sinukarta
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhur
Kang tumrap ing tanah jawa
Agama
ageming aji
(Serat Wedhatama – Sri Paduka Mangkunegara
IV)
Mengapa Mangkunagara IV menyebut agama adalah
pakaian? Tentu saja berasal dari sudut pandang masyarakat jawa mengenai agama
itu sendiri. Jika dalam bahasa Indonesia predikat untuk objek agama adalah
“memeluk” contohnya memeluk agama islam, para pemeluk agama kristen, dll. Dalam
bahasa Jawa predikat untuk objek agama adalah “ngrasuk” yang berarti memakai pakaian, contohnya ngrasuk agami islam, jaman dereng ngrasuk
agami. dll. Kata kerja ngrasuk ini merupakan predikat yang juga selalu
mendahului objek busana, contohnya ngrasuk busana kaprabon, boten mbekta
rasukan, dereng gantos rasukan dll, rasukan
berarti pakaian.
Cukup menarik memang mengenai pandangan masyarakat
jawa perihal agama ini. Agama adalah pakaian, lalu bisa diganti dong? Ya bisa. Dalam sejarah jawa, masyarakat
jawa telah berganti-ganti agama selama ribuan tahun. Sebelum agama-agama impor
datang, masyarakat jawa sudah memiliki agamanya sendiri, mengenai pandangannya
terhadap siapa itu Sang Pencipta? Siapa itu yang Mengabulkan Doa? Bagaimana
cara menyembah Sang Pengabul Doa itu? Bagaimana mencari hari baik untuk berdoa,
bekerja, berpesta maupun berpuasa? Bagaimana watak orang yang lahir di hari
kamis kliwon? Mengapa hari samparwangke tidak
boleh dipakai untuk berpesta? Dan lain sebagainya. Masyarakat jawa sudah
memiliki semua itu.
Kemudian datanglah agama dari luar negeri yang
pertama yaitu Hindu dan Buddha. Nampaknya tidak terlalu sulit bagi para
brahmana dan biksu dari India untuk mensyiarkan agamanya kepada orang jawa. Hal
ini terbukti dengan prasasti-prasasti terbitan abad IV dan V yang dikeluarkan
oleh raja-raja yang sudah beragama Hindu maupun Buddha. Logikanya, kalau memang
sulit mengubah masyarakat jawa untuk memeluk agama Hindu – Buddha, pastinya
raja yang memiliki gengsi tinggi tidak akan memeluk agama yang dibawa orang
asing, tentu raja akan mempertahankan agama leluhurnya demi tetap dihormati
rakyat.
Yang unik disini adalah para pemeluk agama Hindu dan
Buddha di Jawa hidup rukun berdampingan, mereka beribadah di candi-nya
masing-masing yang kadang bersebelahan, dan memiliki menteri agamanya
masing-masing yang menjadi penasihat raja. Kontras sekali dengan para pemeluk
agama Hindu dan Buddha di negeri asalnya India, abad II SM – V Masehi adalah
masa-masa persaingan dan saling memerangi antara umat Hindu dan Buddha di India
yang berakibat agama Buddha tersingkir dari India, dan para biksu menyebarkan
agamanya di luar India termasuk ke Asia Tengah, Asia Tenggara dan Asia Timur.
Sementara di Jawa, Hindu dan Buddha rukun-rukun saja. Bahkan di era Kerajaan
Singhasari & Majapahit (abad XII-XV) terjadi sinkretisme agama Hindu dan
Buddha, dimana satu orang bisa beribadah dalam dua agama, ketika meninggal juga
bisa di makamkan dengan cara dua agama. Tentu ini tidak ada duanya di belahan
dunia manapun.
1.200 tahun memeluk agama Hindu – Buddha,
masyarakat jawa mulai kedatangan agama baru yang dibawa oleh para ulama dari
Yaman Selatan yang nyambi berdagang.
Berbeda dengan agama Hindu – Buddha yang langsung menargetkan raja dan
bangsawan sebagai pemeluk, agama Islam menargetkan masyarakat kelas bawah
terlebih dahulu, terutama di pesisir yang jauh dari pusat pemerintahan.
Menyebarkan agama baru inipun juga sepertinya tidak terlalu sulit, cukup
menarik perhatian masyarakat dengan apa yang mereka sukai, seni musik misalnya
(gamelan) atau seni pertunjukan (wayang). Tapi karena syariat Islam ini cukup
jauh berbeda dengan tatacara ibadah Hindu – Buddha, maka para juru dakwah (para wali) tidak langsung secara frontal
mengganti upacara-upacara yang sudah ada. Para wali secara halus hanya
mengganti esensinya saja, mau bikin sesajen terserah, mau bikin slametan
terserah, yang penting ketika selamatannya didoakan, doanya harus kepada Allah,
bukan lagi kepada dewa-dewi. Dan orang jawa secara perlahan mulai mengganti
sebutan Sang Hyang Widhi dengan
sebutan Gusti Allah, meskipun mereka sadar
antara Sang Hyang Widhi dengan Gusti Allah merujuk kepada satu subjek yang
sama, yaitu Subjek Yang Menciptakan Alam Semesta atau Subjek Yang Dituju ketika
memanjatkan doa.
Bersamaan dengan kolonialisme, para missionaris dan zending dari Eropa mulai menyebarkan agama nasrani kepada
masyarakat jawa. Syiar agama nasrani ini lebih sistematis, strategi yang
digunakan berbeda antara masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah,
meskipun tujuannya sama, yaitu menyatukan mereka dalam satu gereja. Dan sekali
lagi, orang jawa yang sudah kenal dengan Gusti Allah, dengan mudah menerima
agama nasrani, toh sama-sama menyembah
Gusti Allah.
Kembali lagi ke Agama Hanyalah Pakaian, melihat
sejarah agamanya orang jawa yang mudah berganti-ganti, bukanlah berarti orang
jawa adalah masyarakat bodoh yang mudah dipengaruhi. Orang Jawa memandang agama
sebagai cara untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, satu agama adalah satu
cara, sedangkan agama yang lain adalah cara yang lain. Tujuannya sama, yaitu
sama-sama menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, manunggaling kawula lan Gusti.
Jika agama adalah pakaian, lantas badan ini adalah
apa? Badan ya tetap sebagai orang
jawa, dengan falsafah hidup, etika, nilai dan norma Jawa. Karena itu falsafah
hidup, etika, nilai, norma Jawa tetap bertahan selama ribuan tahun melewati
agama Hindu – Buddha, Islam dan Kristen, karena semua itu bagian dari badan
yang tetap ada meskipun pakaiannya berganti-ganti, entah memakai baju merah,
kuning, hijau atau biru. Orang jawa tetap orang jawa meskipun beragama Islam,
Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, Konghuchu dll.
Namun demikian sesuai dengan yang dikatakan oleh Mangkunegara
IV bahwa agama ageming aji (agama
adalah pakaian kemuliaan). Ngrasuk agama berarti
menerima sebuah konsekuensi yang harus ditaati dan dijalankan (mikul duwur mendhem jero). Jika orang
jawa sudah menyatakan diri ngrasuk agama
Islam, maka konsekuensinya ya menjalankan
syariat agama Islam, mematuhi nabi, sudah tidak boleh lagi makan daging babi, tidak
minum minuman ber-alkohol, salat di masjid, berpuasa di bulan ramadhan dll.
Demikian juga yang ngrasuk agama kristen,
maka konsekuensinya ya menjalankan
syariat agama Kristen, beribadah ke gereja, dibaptis dll. Begitu juga jika
orang jawa ngrasuk agama-agama yang
lain.
Jika ada seseorang berbaju agama tapi munafik,
melakukan perbuatan tercela, mencuri, berzinah, membunuh, memfitnah, korupsi,
merusak lingkungan, memprovokasi dan lain-lain. Maka bisa dipastikan orang
tersebut telah merusak agama yang dipakainya. Karena itu seseorang yang telah
ngrasuk agama harus sadar sepenuhnya untuk menjaga kebersihan pikiran, ucapan
dan perbuatan.
Seperti sebelum memakai baju bagus, kita harus
memastikan badan kita bersih. Karena percuma memakai baju bagus tapi badan
kotor dan bau, yang ada malah kita mengotori baju yang bagus. Sama seperti jika
ada orang yang beragama tapi jahat, maka jangan salahkan agamanya, orang itu
hanya tidak siap untuk beragama.
Surabaya, 20 April 2019
R. Shantika Wijayaningrat.
Sumber Referensi
Mangkunegara IV. 1881. Serat Wedhatama.
Surakarta: Pura Mangkunegaran
Paku Buwono V. 1814. Serat
Centhini. Surakarta: Karaton Surakarta Hadiningrat
Sunan Bonang. 1607. Suluk Wujil.
Surakarta: Karaton Surakarta Hadiningrat
Suseno, Franz Magnis. 2013. Etika
Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Lombart, Denys. 2018. Nusa Jawa
Silang Budaya 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Senin, 25 Maret 2019
Hidup Itu Bukan Tentang Satu Hal
Beberapa waktu lalu saya melayat seorang senior sepuh di sebuah
organisasi yang meninggal karena komplikasi diabetes dan hypertensi. Sedih
rasanya mengingat beliau adalah orang yang semangat kerjanya patut dicontoh
semasa hidup, tapi lega juga mengingat beliau sekarang sudah tak merasakan
sakit lagi. Hanya doa yang bisa disampaikan semoga amal ibadah beliau diterima
di sisi-Nya.
Semasa hidup almarhum merupakan seseorang yang sangat keras dalam
bekerja, beliau membangun perusahaan furniture mulai dari nol hingga bisa
ekspor. Tapi sayang ketika usaha beliau sudah berkembang pesat, kesehatan
beliau malah menurun akibat pola kerja yang tidak mengenal waktu, pola makan
yang kacau, istirahat kurang, dan sedikit aktivitas fisik. Akibatnya di usia
hampir 60 beliau terindikasi penyakit jantung dan hypertensi. Kondisi semakin
menyedihkan mengingat anak-anak beliau yang tinggal jauh dan terlalu sibuk
dengan bisnisnya masing-masing untuk sekedar melihat kabar ayahnya, bahkan
ketika beliau terserang stroke sekalipun. Memang diakui beliau, sejak anak-anaknya masih kecil jarang berkomunikasi dengan karena kesibukan kerja, pulang larut
anak-anak sudah tidur.
Ketika beliau meninggalpun tak banyak orang yang melayat, meskipun
berbagai karangan bunga dari rekan-rekan bisnis berjajar di pagar rumah hingga
pagar rumah tetangga. Sepertinya para tetangga juga tidak terlalu dekat dengan
almarhum. Seperti ada satu hal yang kurang dibalik kesuksesan almarhum.
________________________
Paul J. Meyer seorang
triliuner yang menulis 24
Keys That Bring Complete Success mengatakan
dalam bukunya bahwa kesuksesan hidup itu haruslah diusahakan dalam segala aspek
kehidupan. Dia membagi kehidupan mencakup 6 aspek. Apa itu?
1. Keluarga (Family & Home)
2. Keuangan & Pekerjaan (Financial &
Carrier)
3. Kesehatan (Physical & Health)
4. Keagamaan & Spiritualitas (Spiritual
& Ethical)
5. Sikap Mental & Pengembangan Diri (Mental
& Educational)
6. Kehidupan Sosial (Social & Cultural)
Keenam aspek itu tadi haruslah berjalan beriringan dan saling melengkapi. Keenamnya diibaratkan sebagai jari-jari roda, yang mana jika salah satu diantara enam aspek tersebut kurang maka akan terjadi ketimpangan yang berakibat roda tidak berjalan dengan mulus. Jika semua jari-jari itu kecil, maka perjalanan hidup akan sangat lambat, bahkan tidak sampai tujuan.
Kamu sukses dalam pekerjaan, secara financial
berkecukupan tapi apa gunanya jika kamu tidak sehat, karena terlalu sibuk
hingga tidak sempat berolahraga. Makan makanan semahal apapun terasa tidak
enak, dan lama-lama harta yang kamu kumpulkan selama ini malah habis terpakai
untuk biaya berobat.
Kamu seseorang yang sangat religius, segala
macam ibadah yang diperintahkan agamamu kamu kerjakan. Tapi kamu tidak baik
dengan tetanggamu, kamu tidak mau menyapa ataupun mengobrol dengan tetangga
karena keagamaan mereka tidak sebaik keagamaanmu, bahkan datang melayat
tetangga yang meninggal saja kamu tidak mau. Tentu saja tetanggamu tidak akan
peduli kepadamu jika sewaktu-waktu kamu mendapat musibah atau ujian.
Kamu seseorang yang cerdas, berpendidikan tinggi, tapi kamu merasa
terlalu gengsi untuk bekerja kepada orang lain, tapi kamu juga terlalu malas
untuk memulai usahamu sendiri. Bekerja hanya akan membuat kamu kehilangan waktu
bebasmu dan merendahkan martabat keilmuan-mu. Dan apa yang terjadi kemudian,
kamu tidak punya penghasilan, hidupmu tidak berkembang dan ilmu yang kamu
miliki kemudian tidak bermanfaat.
___________________________________
Mungkin dalam hidup, kita memiliki prioritas masing-masing,
memiliki mimpi masing-masing dan cara masing-masing untuk meraihnya. Tapi kita
juga harus ingat bahwa kita tidaklah hidup sendiri, kita punya keluarga untuk
pulang, kita punya tetangga untuk hidup berdampingan, kita punya kehidupan
social untuk berbagi dan berkembang dan kita punya kehidupan spiritual sebagai
sarana control atas diri kita sendiri di dunia yang fana dan tak menentu.
Enam aspek dalam kehidupan yang di paparkan oleh Paul J. Meyer di
atas sangatlah baik dipakai sebagai sarana mengevaluasi diri atas kehidupan
yang kita jalani. Setidaknya jika setiap akhir tahun kehidupan kita dievaluasi
dengan cara di atas, maka di tahun berikutnya kita tahu bagian mana dalam hidup
ini yang perlu diperbaiki.
Sri Paduka Mangkunagara IV |
Jauh sebelum Paul J. Meyer membagi kehidupan dalam 6 bagian, Sri Paduka
Mangkunagara IV yang bertahta di Surakarta tahun 1853 – 1881 dalam Serat Wedhatama membagi
kehidupan ini ke dalam tiga bagian yaitu Wirya (versi lain
Daya), Arta dan Wasis.
Pembagian Mangkunagara IV nampak lebih sederhana, namun demikian sebetulnya
pembagian ini lebih mendalam.
Wirya atau Daya bermakna
kekuatan, kekuatan fisik (kesehatan) maupun kekuatan social (power). Kesehatan
menjadi bagian yang paling mendasar dalam kehidupan, karena itu upaya
memelihara kesehatan haruslah ditempatkan di nomor satu. Sedangkan kekuatan
sosial (power) bagian yang juga tidak boleh dilewatkan, kemampuan kita menyatu
dengan lingkungan sosial akan mempengaruhi kenyamanan dan keamanan kita dalam
menjalani kehidupan, secara lebih khusus keluarga.
Arta berarti uang, namun
demikian yang dimaksud arta disini sebetulnya adalah finansial dan karier.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sekuat apapun kita berusaha menjauhi sikap
materialistic, kita tetap membutuhkan keamanan finansial untuk menjalani hidup
dan bermanfaat bagi keluarga. Toh kalau kita tidak memiliki uang, kita malah
menjadi beban bagi keluarga maupun lingkungan kita.
Yang terakhir Wasis berarti
cerdas, seseorang haruslah selalu berusaha meng-update ilmu dan mengembangkan
diri secara mental dan spiritual termasuk di dalamnya agama. Karena di zaman
yang terus berkembang, bisa jadi ilmu yang kita dapatkan beberapa tahun yang
lalu sudah ketinggalan zaman, karena itu di zaman sekarang tidak ada jeda bagi
kita untuk berhenti belajar.
"Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering
ngaurip,
uripe tan
tri prakara, wirya, arta, tri winasis,
kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu,
telas tilasing janma,
aji godhong jati aking, temah papa papariman
ngulandara."
Celakalah bagi yang tidak berusaha mengerti akan landasan hidup.
Ada tiga hal dalam
hidup. Kekuatan, finansial, ketiga ilmu.
Bila tak satu pun dapat diraih dari ketiga hal itu, maka habis lah harga
diri.
Tidak lebih berharga dari daun jati kering, akhirnya mendapat
derita,
menyusahkan dan tak tahu arah.
- Serat Wedhatama -
menyusahkan dan tak tahu arah.
- Serat Wedhatama -
Surabaya, 25
Maret 2019
R. Shantika
Wijayaningrat
Sumber Referensi
Dipokusumo, KGPH Adipati. (2017). Sakti di era Globalisasi. Surakarta
Dipokusumo, R. Ay. Febri. Wheel of Life of FHD Motivation. Surakarta
Mangkunagara IV. Serat Wedhatama. Surakarta
Meyer, Paul J. ISBN 0882701088
Kamis, 28 Februari 2019
Kuliah Seribu SKS Ala Mbok Jum
“Mbok aku wis, piro?” (mbok saya sudah, berapa?)
“Lahlah, kowe arep
mbayar iki opo nduwe duwit?” (halah, kamu mau
bayar memangnya punya uang?)
“Yo sing penting
diitung sek mbok” (Ya yang penting dihitung dulu mbok)
Itulah
salah satu percakapan yang saya ingat antara seorang mahasiswa dengan ibu
kantin di kampus 11 tahun yang lalu, bukan saya mahasiswa itu, kebetulan saya
duduk persis di depan si ibu kantin, jadi saya bisa mendengar dengan jelas
percakapan antara mbok Jum si ibu kantin dengan para mahasiswa yang jadi
pelangganya.
Mungkin
sebelumnya nama Mbok Jum tidaklah banyak dikenal oleh orang luar UNS, tapi
berita kematiannya beberapa waktu yang lalu menjadi berita duka yang disorot
oleh banyak media online dalam negeri. Cukup unik memang mengingat mbok
Jum bukanlah seorang Walikota atau pejabat yang memiliki satyalencana atau
bintang jasa yang banyak, tapi kematiannya cukup untuk menjadi pemberitaan dan
ucapan bela sungkawapun mengalir di media sosial.
Mbok Jum
hanyalah seorang ibu kantin yang sederhana, kantinnya pun bukan kantin yang
spektakuler dengan berbagai menu mewah seperti lobster, shark fin atau medalion steak.
Hanya ada pecel, nasi gudeg, sayur lodeh dan berbagai gorengan. Kantinnya pun
hanya bangunan semi permanen dengan atap asbes. Tapi karena berada di
lingkungan Fakultas Sastra dan Seni Rupa (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) kantin
ini jadi terlihat agak eksentrik dengan berbagai lukisan dan grafity hasil
karya mahasiswa seni rupa yang membutuhkan tempat berekspresi.
Lantas apa
yang membuat kantin mbok Jum begitu termasyur diantara puluhan kantin yang
tersebar di UNS? Harganya paling murah? masakannya paling enak? Tempatnya
paling unik? Pelayanannya paling bagus?
Kalau harga mungkin memang
paling murah diantara yang lain, nasi pecel dengan es teh gorengan 2 saja waktu
itu cuma Rp. 5.000,- (tahun 2007). Kalau paling enak, relatif sih tergantung
selera. Tempat dan pelayanan juga relatif (subjective). Tapi
ada satu hal yang mungkin tidak didapat di tempat lain, makan disini boleh ngutang (tentunya
jika benar-benar nggak punya uang). Tentu saja itu menjadi daya tarik bagi
mahasiswa UNS yang didominasi anak-anak kos-kosan dari luar kota Solo.
Karena itu
setiap tanggal tua, jam makan siang. Kantin mbok Jum dipadati mahasiswa dari
semua fakultas yang sedang missqueen untuk makan
siang murah atau malah makan siang bayar bulan depan. Beda dengan tanggal muda
dimana mahasiswa masih bisa berfoya-foya makan di restoran-restoran depan
kampus yang mahal, kantin mbok Jum tidak sepadat di tanggal tua. Mbok Jum
seperti juru selamat-nya mahasiswa di tanggal tua.
Meskipun
kantin-kantin lain sudah menaikan harga makanan karena harga-harga kebutuhan
pokok yang naik, mbok Jum tetap keukeuh bertahan
dengan harga biasanya dengan alasan dikasih harga murah saja mahasiswa masih
banyak yang ngutang, apalagi dikasih harga mahal. Lagian mbok Jum juga suka
kasihan dengan mahasiswa yang tidak bisa makan karena tidak punya uang.
(detik.com 10/7/2018)
Tapi kemurah hatian mbok Jum kemudian banyak dimanfaatkan
oleh mahasiswa nakal ketika membayar tidak menyebutkan semua yang sudah
dimakan. Ada yang mengambil gorengan 5 tapi bilang cuma ambil 2, ambil kerupuk
atau pisang tapi tidak disebut. Kalau yang melakukan satu atau dua orang
mungkin simbok tidak terpengaruh, tapi kalau yang melakukannya banyak, simbok
bisa rugi. Bukannya mbok Jum tidak tahu, tapi mbok Jum memilih membiarkan saja,
ikhlas. Inilah yang membuat kantin Mbok Jum melegenda, sejak berdiri 40 tahun
yang lalu, kantin mbok Jum menjadi tongkrongan mahasiswa UNS yang sekarang
sudah menjadi orang-orang besar, pengusaha sukses, pejabat, bupati bahkan
menteri.
Pernah ada seseorang yang datang ke kantinnya lalu memberi
uang jutaan rupiah, orang tersebut mengatakan bahwa itu untuk membayar utangnya
puluhan tahun yang lalu ketika masih menjadi mahasiswa perantauan.
Kini simbok sudah tidak ada, tapi jasanya akan tetap dikenang
ribuan orang yang pernah merasakan lezatnya masakannya dan merasakan kebaikan
hatinya. Mungkin dia hanyalah seorang ibu kantin biasa yang sederhana, tapi
ketika dia tiada, banyak orang merasa kehilangan, banyak bela sungkawa yang
terucap, banyak media yang memberitakan dan banyak doa yang mengalir. Ketulusannya
akan menjadi inspirasi bagi semua orang, bukan cuma civitas akademika UNS saja.
Mungkin itulah kuliah 1.000 SKS yang diampu oleh mbok Jum, mata kuliah
ketulusan. Bahwa kebaikan-kebaikan kecil adalah awal bagi kita untuk melakukan
kebaikan-kebaikan yang lebih besar.
Selamat jalan mbok
Pinanggih malih mangke ing kalanggengan
Surabaya 15 Maret 2019
R. Shantika Wijaya
Sumber Referensi
Rabu, 30 Januari 2019
Budaya Jawa, Komoditas Film Horor Indonesia
Bunga kantil dan melati, sesajen dari berbagai makanan dan ayam
hidup, tembang macapat yang dimodifikasi, pohon beringin besar, mantra kuno
dalam bahasa jawa, keris, jumat kliwon, satu suro dan masih banyak hal-hal lain
yang sering kita temui sebagai elemen utama film-film horor Indonesia.
Sejak boomingnya film horor Indonesia di tahun 1970an,
elemen-elemen kehororan yang sering dimunculkan adalah elemen klenik dan
mistik. dan lebih khusus lagi, klenik dan mistik
yang bersumber pada budaya Jawa. Sejak tahun 1970an sampai sekarang sudah
berapa banyak film horor Indonesia yang mengekploitasi budaya jawa sebagai
komoditas horor. Film malam satu suro, ratu pantai selatan, ratu pengasihan
hingga yang terbaru lingsir wengi hampir semuanya mengadopsi budaya jawa
sebagai elemen utama ke-horor-an mereka.
Penggunaan budaya jawa dalam film horor secara
terus menerus telah menggiring persepsi masyarakat mengenai budaya mereka
sendiri.
Sebut saja dukun, pada masa dokter belum banyak
dan menjamah masyarakat terpencil di pedesaan, dukun adalah harapan bagi mereka
yang sakit dan memiliki permasalahan. Seorang dukun bukanlah seperti yang
digambarkan oleh film-film horor saat ini yang identik dengan pakaian serba
hitam, rambut gondrong, suara berat dan berbagai macam cincin akik yang melekat
di jari-jarinya. Dukun real di masa lalu adalah seseorang dekat dan sangat
dihormati masyarakat, dihormati karena kebijaksanaanya membantu permasalahan
orang lain dan juga pemahaman terhadap obat-obatan tradisional yang bisa
membantu menyembuhkan orang yang sakit. Penampilannya pun tak jauh berbeda
dengan trend mode masyarakat kebanyakan di masa itu.
Dukun sebagai pemuka agama suku tengger |
Tapi kini ketika kita mendengar kata dukun, maka
yang terlintas pastilah berhubungan dengan ilmu hitam, kekuatan supranatural
yang digunakan untuk hal-hal tidak baik, pakaian hitam, rambut gondrong,
memakai ikat kepala kain batik, cincin batu akik, dan juga sepotong berita
kriminal di media masa yang terkadang menjeratnya.
Persepsi seperti itu terbentuk akibat (salah
satu-nya) penggiringan persepsi lewat film horor kita yang dilakukan secara
terus menerus. Sehingga boleh dikatakan kata “dukun” itu saja sudah mengalami
peyorasi yang sangat keji. Yang awalnya profesi berhubungan dengan pengobatan
dan konsultan menjadi profesi berhubungan dengan penyembahan setan dan
kriminalitas.
Sesajen untuk upacara besar di Keraton Solo |
Sesajen, yang orang melihatnya saja sudah jijik
karena dianggap makanan setan. Padahal kami di keraton masih menggunakan
sesajen sebagai bagian penting dalam upacara-upacara adat dan tetap
mempertahankannya karena merupakan simbol-simbol doa dan harapan.
Ada lagi, legenda Kanjeng Ratu Kidul alias Ratu Pantai Selatan
yang difitnah secara keji oleh film-film horror kita, padahal dalam pandangan
orang jawa di masa lalu Kanjeng Ratu Kidul adalah tokoh legenda baik hati yang
merupakan leluhur para raja Jawa. Belum lagi keris, bunga tujuh rupa, hari
jumat kliwon, malam satu suro, bakar dupa yang semuanya dijatuhkan maknanya
oleh film-film horror kita.
Maka jangan banyak berharap generasi muda kita mau belajar tembang
mocopat jika terpatri dalam benak mereka tembang macapat adalah nyanyian
pemanggil kuntilanak.
Dewa Poseidon dan Setan |
Hermit (orang bijak) dan penyihir |
Jika kamu pernah membaca novel The Da Vinci Code -nya Dan Brown.
Disana pernah membahas mengenai defamation
atau penghancuran reputasi simbol-simbol budaya masyarakat Eropa asli oleh
oknum-oknum di masa lalu secara sistematis dan massif. Seperti misalnya di masa
kuno topi kerucut adalah simbol para cendikiawan, tapi kemudian dijatuhkan
sebagai topi yang biasa dipakai para penyihir jahat. Contoh lain adalah trisula
yang menjadi senjata dewa Poseidon yang bijaksana, pada perkembangannya turun menjadi
senjata pegangan setan. Bintang lima yang di masa lalu merupakan symbol
pencerahan spiritual, difitnah menjadi simbol ritual pemujaan setan.